Mohon tunggu...
Nur Elma
Nur Elma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Nur Elma perbankan syariah IAIN Parepare

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pembunuhan nia Kurnia sari

7 Januari 2025   12:38 Diperbarui: 7 Januari 2025   12:38 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kekerasan merupakan masalah sosial yang masih kerap terjadi di tengah masyarakat. Tindakan kekerasan, khususnya kekerasan fisik, tidak hanya menimbulkan penderitaan secara fisik, tetapi juga meninggalkan dampak psikologis yang berat bagi korban maupun keluarganya. Dalam masyarakat yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan, upaya untuk menolak segala bentuk kekerasan menjadi hal yang sangat penting demi menciptakan lingkungan yang aman dan damai. Kasus kekerasan terhadap anak terus mengalami peningkatan di Indonesia. Data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menunjukkan bahwa pada tahun 2023 terdapat 3.547 kasus kekerasan anak, meningkat 30% dibandingkan tahun sebelumnya. Sebagian besar kasus ini, yaitu sekitar 35%, terjadi dalam lingkungan keluarga. Banyak penelitian juga menemukan bahwa kekerasan sering kali dilakukan oleh orang dewasa terdekat yang seharusnya melindungi anak, seperti orang tua, guru, pengasuh, atau bahkan oleh sesama anak.  

 

    Menurut Dr. Indria Laksmi Gamayanti, Psikolog Klinis dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM), kekerasan terhadap anak dapat dilakukan oleh siapa saja, tetapi mayoritas pelaku adalah individu yang berada di sekitar anak. Gamayanti mengidentifikasi tiga bentuk kekerasan terhadap anak: fisik, emosional, dan seksual. Kekerasan fisik dan seksual sering kali disertai dengan kekerasan emosional, seperti kemarahan, kebencian, penghinaan, atau bentuk verbal lainnya. Sayangnya, bentuk kekerasan emosional ini sering tidak disadari oleh pelaku.  

 

   Sebagian besar pelaku kekerasan adalah orang tua yang tidak matang secara emosional atau yang memiliki gangguan kesehatan mental. Faktor-faktor seperti kesiapan mental, kondisi ekonomi, dan pengalaman kekerasan di masa kecil dapat memicu perilaku kekerasan. Gamayanti menekankan bahwa orang yang mengalami kekerasan sewaktu kecil cenderung berpotensi menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari. Trauma masa lalu sering kali membentuk perilaku destruktif yang diteruskan kepada generasi berikutnya.  

 

   Salah satu contoh nyata dari dampak buruk kekerasan fisik adalah kasus tragis pembunuhan Nia Kurnia Sari. Peristiwa ini mengguncang masyarakat karena menunjukkan betapa berbahayanya kekerasan yang tidak ditangani dengan baik. Kasus ini juga menjadi pengingat bahwa kesadaran bersama untuk melawan kekerasan harus terus ditingkatkan, baik secara individu maupun kolektif.  

 

     Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2016, 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan atau orang lain selama hidupnya. Pada SNPHAR 2018, 2 dari 3 anak laki-laki dan perempuan berusia 13-17 tahun pernah mengalami salah satu kekerasal dalam hidupnya, baik itu kekerasan fisik, seksual, atau emosional.

   Pelakunya paling sering adalah laki-laki. Berdasarkan hubungan yang ada antara korban dan pelaku, hubungan tertinggi adalah sebagai suami atau istri, pacar atau teman, orangtua, keluarga atau saudara, jenis kelamin lainnya, tetangga, majikan, dan rekan kerja.

    Usaha untuk menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan masih menjadi tantangan besar yang membutuhkan perhatian serius dari semua pihak. Kekerasan fisik, salah satu bentuk kekerasan yang paling sering terjadi, memiliki dampak buruk yang luas, baik bagi korban secara individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Kasus pembunuhan Nia Kurnia Sari menjadi contoh nyata bagaimana kekerasan fisik dapat berujung pada tragedi yang merenggut nyawa dan meninggalkan luka mendalam bagi keluarga serta masyarakat yang turut merasakannya.  

 

     Dari analisis kasus Nia Kurnia Sari, diketahui bahwa kekerasan yang dibiarkan tanpa penanganan cenderung semakin parah. Kekerasan tersebut sering kali dipicu oleh berbagai faktor, seperti konflik dalam keluarga, tekanan emosional, atau Kurangnya pemahaman mengenai bahaya kekerasan. Kejadian ini juga menegaskan pentingnya penguatan perlindungan hukum dan layanan pendampingan bagi korban, agar kasus serupa dapat dicegah di masa depan.

 

Kekerasan Fisik: Ancaman Serius bagi Kehidupan

    Kekerasan fisik merupakan tindakan yang menyebabkan cedera atau kerugian pada tubuh seseorang, seperti melalui pemukulan, penyerangan, atau kontak fisik lainnya yang dilakukan dengan paksa. Dampak dari kekerasan fisik tidak hanya terlihat secara fisik, tetapi juga meninggalkan luka psikologis yang mendalam bagi korban. Pada tingkat masyarakat, kekerasan fisik menciptakan ketidaknyamanan, menimbulkan ketakutan, dan merusak harmoni sosial, bahkan sering kali memicu konflik yang lebih luas.  

     Di Indonesia, kekerasan fisik masih menjadi masalah serius. Berdasarkan laporan Komnas Perempuan, ribuan kasus kekerasan fisik dilaporkan setiap tahunnya, terutama yang dialami oleh perempuan dan anak-anak. Salah satu bentuk yang paling banyak terjadi adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), seperti yang tercatat dalam laporan tahun 2023. Selain itu, insiden penyerangan di ruang publik juga menunjukkan peningkatan, yang semakin menegaskan bahwa kekerasan fisik merupakan ancaman yang harus segera ditangani.  

 

    Akibat kekerasan fisik tidak hanya dialami langsung oleh korban, tetapi juga berdampak pada lingkungan sekitarnya. Korban sering kali menghadapi trauma yang berkepanjangan, kehilangan rasa aman, atau bahkan kematian. Oleh sebab itu, diperlukan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan individu untuk mencegah serta mengatasi kekerasan fisik demi menciptakan lingkungan yang lebih aman dan bebas dari kekerasan.  

 

Pentingnya Gerakan Anti-Kekerasan

   Kekerasan, dalam bentuk apa pun, harus dihentikan karena dampaknya yang merusak kehidupan individu dan tatanan sosial. Tindakan kekerasan tidak hanya mencederai korban secara fisik dan mental, tetapi juga menciptakan lingkungan yang penuh ketakutan dan ketidakadilan. Kekerasan dapat menghancurkan hubungan antar individu, memecah harmoni keluarga, dan merusak kepercayaan di dalam masyarakat. Oleh karena itu, gerakan anti-kekerasan menjadi sangat penting untuk membangun lingkungan yang lebih aman dan damai.  

 

  Pemerintah, masyarakat, dan individu memiliki peran besar dalam upaya mencegah kekerasan. Pemerintah harus memperkuat undang-undang yang melindungi korban, meningkatkan layanan bantuan bagi korban kekerasan, dan memberikan sanksi tegas kepada pelaku. Di sisi lain, masyarakat perlu proaktif dalam menciptakan budaya saling peduli, misalnya dengan mendukung korban, melaporkan tindakan kekerasan, atau berpartisipasi dalam kampanye kesadaran. Selain itu, setiap individu harus berperan dengan tidak menjadi pelaku kekerasan, mengendalikan emosi, dan menyebarkan nilai-nilai anti kekerasan kepada orang di sekitarnya.  

 

    Beberapa gerakan anti-kekerasan yang telah berhasil menjadi contoh inspirasi. Misalnya, kampanye "16 Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan," yang diadakan setiap tahun, berhasil meningkatkan kesadaran global akan pentingnya menghentikan kekerasan terhadap perempuan. Gerakan seperti ini membuktikan bahwa dengan kerja sama berbagai pihak, kekerasan dapat diminimalkan dan kehidupan yang lebih aman dapat tercapai.  

 

Tantangan dalam Penanganan Kekerasan Fisik

   Penanganan kekerasan fisik di masyarakat menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Meskipun kampanye anti-kekerasan terus digalakkan, masih banyak hambatan yang perlu diatasi agar kekerasan dapat diminimalkan, termasuk dalam kasus tragis seperti pembunuhan Nia Kurnia Sari.  

 

    Salah satu tantangan utama adalah rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya melaporkan kekerasan. Banyak korban memilih diam karena rasa takut, stigma sosial, atau Kurangnya dukungan dari lingkungan sekitar. Dalam kasus pembunuhan Nia Kurnia Sari, misalnya, konflik domestik yang berujung pada kekerasan fatal sering kali tidak terdeteksi lebih awal karena korban merasa terisolasi dan tidak tahu ke mana harus meminta bantuan. Tantangan lainnya adalah Kurangnya fasilitas dan layanan yang memadai untuk korban kekerasan. Tidak semua wilayah memiliki pusat layanan terpadu yang dapat membantu korban mendapatkan perlindungan, rehabilitasi, dan pendampingan hukum. Selain itu, aparat penegak hukum terkadang kurang responsif dalam menangani kasus kekerasan, yang membuat pelaku sering kali merasa tidak tersentuh hukum.  

 

    Faktor budaya juga menjadi penghambat dalam penanganan kekerasan fisik. Di beberapa komunitas, tindakan kekerasan, terutama dalam rumah tangga, masih dianggap sebagai urusan pribadi yang tidak perlu dicampuri orang luar. Pola pikir ini membuat kekerasan sering kali berlangsung tanpa intervensi hingga terjadi hal yang fatal, seperti pada kasus Nia Kurnia Sari.  

 

     Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pendekatan yang lebih menyeluruh. Pemerintah perlu memperkuat regulasi dan memastikan akses layanan bagi korban tersedia di seluruh wilayah. Edukasi masyarakat juga harus ditingkatkan untuk menghapus stigma terhadap korban dan mendorong pelaporan kasus kekerasan. Selain itu, partisipasi aktif masyarakat dalam mendukung gerakan anti-kekerasan sangat diperlukan agar lingkungan yang bebas kekerasan dapat terwujud. Kasus tragis Nia Kurnia Sari menjadi pengingat bahwa perjuangan melawan kekerasan adalah tanggung jawab bersama.

 

Pentingnya peran agama untuk menjaga kehidupan dan mencegah kerusakan di bumi sebagaimana yang di jelaskan pada Al-Qur'an Surah Al-Ma 'idah (5:32):

 

Min ajli dzlika katabn 'al ban isr'la annah mang qatala nafsam bighairi nafsin au fasdin fil-ardli fa ka'annam qatalan-nsa jam', wa man ayh fa ka'annam ayan-nsa jam', wa laqad j'at-hum rusulun bil-bayyinti tsumma inna katsram min-hum ba'da dzlika fil-ardli lamusrifn

Artinya:

Oleh karena itu, Kami menetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa siapa yang membunuh seseorang bukan karena (orang yang dibunuh itu) telah membunuh orang lain atau karena telah berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Sebaliknya, siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, dia seakan-akan telah memelihara kehidupan semua manusia. Sungguh, rasul-rasul Kami benar-benar telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Kemudian, sesungguhnya banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi.

Metodologi yang digunakan dalam artikel ini adalah pendekatan kualitatif deskriptif, di mana penulis menganalisis kasus pembunuhan Nia Kurnia Sari untuk mengeksplorasi penyebab dan dampak kekerasan fisik serta pentingnya gerakan anti-kekerasan. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan gambaran mendalam tentang kondisi sosial terkait kekerasan fisik dalam masyarakat, termasuk faktor-faktor yang mempengaruhinya, baik yang berasal dari masalah internal keluarga maupun Kurangnya gitu penanganan yang tepat. Secara keseluruhan, artikel ini mengadopsi analisis kasus untuk mengidentifikasi penyebab dan dampak kekerasan fisik, serta menawarkan solusi melalui kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan agama guna menciptakan lingkungan yang lebih aman dan bebas dari kekerasan.

 

   Kekerasan fisik merupakan masalah sosial yang sangat serius, dengan dampak yang tidak hanya dirasakan oleh korban, tetapi juga oleh masyarakat secara luas. Kasus tragis seperti pembunuhan Nia Kurnia Sari mengungkapkan betapa berbahayanya kekerasan yang dibiarkan tanpa penanganan yang tepat. Dalam kasus ini, kekerasan yang dimulai dari masalah internal keluarga berakhir dengan tragedi yang menghilangkan nyawa, menimbulkan trauma, dan meninggalkan luka mendalam pada keluarga korban serta masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk adanya kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan individu dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan fisik.

 

    Gerakan anti-kekerasan semakin ditekankan sebagai langkah untuk menciptakan lingkungan yang aman dan damai. Pemerintah perlu memperkuat sistem perlindungan hukum dan menyediakan layanan bagi korban, sementara masyarakat harus lebih peduli dan berpartisipasi dalam mendukung gerakan anti kekerasan. Selain itu, perubahan terhadap budaya yang menganggap kekerasan sebagai urusan pribadi harus dilakukan, dengan meningkatkan pendidikan masyarakat tentang hal ini.

 

    Agama juga memegang peranan penting dalam menjaga kehidupan, seperti yang tercantum dalam Al-Qur'an Surah Al-Ma 'idah (5:32), yang menjelaskan bahwa membunuh satu jiwa setara dengan membunuh seluruh umat manusia, dan menjaga kehidupan setara dengan menjaga seluruh umat manusia. Dalam konteks ini, tindakan kekerasan yang merusak kehidupan harus dihentikan, dan nilai-nilai kemanusiaan serta kedamaian perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun