Penulis: Nur Elisya
Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia
Pendidikan di Salah Satu Sekolah Desa Terpencil
Pendidikan adalah hak dasar setiap individu, terlepas dari lokasi geografis atau status sosial ekonomi. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pemerataan pendidikan masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Sekolah-sekolah di desa terpencil kerap menghadapi keterbatasan dalam akses, fasilitas, dan tenaga pengajar, sehingga menciptakan kesenjangan yang signifikan dengan sekolah-sekolah di perkotaan. Sesuai dengan pengalaman penulis menjadi seorang guru di SMPN Satu Atap 3 Pulau Hanaut yang berlokasi di kecamatan kecil yang bernama Pulau Hanaut, Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah.
Keterbatasan Fasilitas
Â
Di SMPN Satu Atap 3 Pulau Hanaut yang bertempat di desa Bantian, sekolah masih terkendala oleh minimnya fasilitas dasar seperti bangunan sekolah yang kurang layak, kekurangan buku pelajaran, dan keterbatasan teknologi pendidikan adalah gambaran umum dari kondisi sekolah di daerah terpencil. Sekolah tempat penulis mengajar hanya memiliki 3 bangunan ruang kelas dan 1 ruangan untuk ruang guru dan kepala sekolah. Gambar di atas adalah potret ketika pelaksanaan Assesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) yang diselenggarakan Kemendikbud untuk siswa kelas VIII setiap tahunnya. Selain sekolah tidak memiliki laboratorium komputer, sekolah juga tidak memiliki kondisi jaringan internet yang memadai sehingga pelaksaan ANBK harus dilakukan di luar ruangan. Â Selain itu, kekurangan guru yang kompeten membuat proses pembelajaran menjadi kurang optimal. Guru-guru yang mengajar di sekolah tersebut tidak hanya guru di sekitar lokasi sekolah, akan tetapi guru-guru dari berbeda kecamatan yang harus mengajar di sekolah tersebut untuk pemenuhan kebutuhan guru.
Ketika menempuh perjalanan ke sekolah, guru-guru harus menyebrang sungai besar dengan menaiki feri kecil yang dapat membawa penumpang beserta kendaraan bermotor. Sekolah tidak memiliki rumah dinas yang cukup untuk guru-guru bertempat tinggal di lokasi dekat sekolah. Akibatnya, guru terkadang terlambat karena akses ke sekolah bergantung pada tepat waktunya feri berangkat dari lokasi penjemputan.
Â
Akses Jalan yang SulitÂ
Â
Sekolah tempat saya mengajar terletak di sebuah desa yang jauh dari pusat kota. Jalan menuju desa tersebut sebagian berupa tanah, sebagian berupa bebatuan besar, dan sebagian yang lain jalan semen dengan lebar kurang dari 3 meter. Untuk mencapai sekolah, sebagian guru yang berlokasi jauh dari sekolah harus menggunakan sepeda motor yang sering kali terjebak banjir akibat air laut naik. Tantangan ini tidak hanya dirasakan guru, tetapi juga dialami oleh sebagian siswa. Kondisi jalan yang rusak memiliki dampak signifikan terhadap proses belajar-mengajar. Pertama, siswa sering kali terlambat tiba di sekolah atau bahkan tidak hadir sama sekali. Siswa terpaksa absen saat hujan deras karena kondisi jalan yang terlalu berbahaya untuk dilewati. Hal ini membuat siswa ketinggalan pelajaran, yang pada akhirnya berpengaruh pada prestasi akademik siswa. Kedua, guru yang harus menghadapi perjalanan sulit setiap hari juga berisiko kehilangan semangat dan energi untuk mengajar dengan optimal. Selain itu, akses jalan yang buruk juga menghambat distribusi fasilitas pendidikan. Buku pelajaran, peralatan laboratorium, dan bantuan pendidikan lainnya sulit untuk dikirimkan ke sekolah. Hal ini membuat siswa di daerah terpencil tidak memiliki sumber belajar yang memadai dibandingkan dengan siswa di perkotaan.
Â
Membangun Pendidikan yang Merata
Untuk mencapai pendidikan yang merata, beberapa langkah strategis yang menurut penulis perlu dilakukan. Pertama, pemerintah harus fokus pada pembangunan infrastruktur dasar, seperti jalan yang memadai untuk mendukung akses ke sekolah di daerah terpencil. Jalan yang baik akan memudahkan mobilitas siswa, guru, dan distribusi fasilitas pendidikan.
Kedua, penyediaan fasilitas pendidikan yang memadai harus menjadi prioritas. Bangunan sekolah yang layak, buku pelajaran, laboratorium, dan akses internet harus tersedia di semua sekolah, termasuk yang berada di pelosok. Teknologi juga dapat menjadi jembatan untuk menghubungkan siswa di daerah terpencil dengan sumber belajar global.
Ketiga, peningkatan kompetensi guru di daerah terpencil harus dilakukan melalui program pelatihan yang berkelanjutan. Selain itu, fasilititas berupa rumah dinas atau tunjangan daerah terpencil juga perlu diberikan kepada guru yang bersedia mengajar khususnya daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) agar guru termotivasi untuk tinggal dan berkontribusi.
Â
Harapan bagi Masa Depan
Pendidikan yang merata bukan hanya soal menyediakan fasilitas, tetapi juga menciptakan kesempatan yang setara bagi semua anak untuk meraih mimpi mereka. Anak-anak di desa terpencil memiliki potensi yang sama besar dengan anak-anak di kota. Mereka hanya membutuhkan dukungan dan akses yang setara untuk berkembang.
Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sangat penting dalam mewujudkan pendidikan yang merata. Dengan bekerja sama, kita dapat memastikan bahwa setiap anak di Indonesia, di mana pun mereka berada, memiliki hak yang sama untuk belajar dan berkembang.
Pemerataan pendidikan adalah investasi jangka panjang bagi masa depan bangsa. Saat kita berkomitmen untuk menyediakan pendidikan yang inklusif dan berkualitas, kita tidak hanya menciptakan individu yang berdaya, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Sudah saatnya kita melangkah bersama untuk memastikan bahwa tidak ada anak yang tertinggal dalam perjalanan menuju masa depan yang cerah.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H