“Saya pernah punya mahasiswa yang penelitian payung bareng saya, cewek, muslim juga tapi kabur pas susah ngerjain penelitian. Dia enggak pakai jilbab sih, sholatnya juga bolong-bolong. Saya lihat kamu pakai jilbab, sholatmu sudah tertib, saya yakin kamu bisa menyelesaikan penelitian bareng saya. Berapa tahun targetmu, kuliah?”
“Tiga setengah tahun Bu,” yakin kumenjawab.
“Bagus. Saya akan bantu,” tatap matamu menyakinkan bahwa aku bisa memenuhi targetku lulus 3,5 tahun.
Tiga setengah tahun merupakan sebuah target yang Ndoro Kakung berikan padaku sejak awal kuliah, target yang tampak mustahil bagi dosen pembimbing akademikku ketika melihatku di awal semester, dan target yang ditertawakan kakak angkatan saat aku menyatakan niat lulus tepat waktu.
“Ya ampun, Nur, kamu tuh masih semester dua. Masak sudah mikir lulus 3,5 tahun, sih? Nikmati aja kuliahmu. Aku yang udah semester empat aja belum mikir judul skripsi. Kok, kamu udah nanya cara lulus cepat, sih? Seingatku dulu ada satu anak psikologi yang lulus 3,5 tahun, IP-nya tinggi, tapi kuper banget. Hidupnya cuma kampus-kos-kampus doang. Apalagi Psikologi kan lulusannya di kenal paling lama dan paling susah skripsinya,” tutur seorang kakak angkatan ketika aku berbincang dengannya di suatu siang.
Awal semester dua setelah libur Natal panjang, dan kembali berlibur dari rumah Ndoro Kakung aku sudah diberi tugas cari judul skripsi. Sebuah tugas yang rasanya mustahil bagiku, apalagi aku masih merasa belum memahami apa itu psikologi. Tugas itu menjadi semakin berat oleh ucapan kakak angkatanku tapi berubah menjadi ringan ketika engkau menyakinkanku. Engkau percaya pada kemampuanku. Kepercayaanmu merupakan pendorong semangatku, Bunda. Terima kasih telah memberikan aku kepercayaan untuk pertama kalinya, menyalurkan energi positif yang membuatku merasa mampu melalui tugas sulit itu.
“Kalau gitu, kamu segera cari materi tentang bla…bla..bla… ya. Kamu cari jurnal dan pahami dulu masalah, teori, dan penelitian yang sudah ada terkait hal itu. Penelitian ini merupakan penelitian payung bersama Prof. Kimiaki Nishida. Pusatnya di Jepang, dan di Indonesia kita diberikan kepercayaan untuk meneliti wilayah Indonesia. Penelitian yang kamu jalani nanti langsung dijadikan skripsi saja. Biar sekalian, saya akan membimbing kamu biar targetmu tercapai, lulus 3,5 tahun.”
“Baik Bu,” anggukku semakin mantap dan segera melesat ke warnet. Hari-hariku kemudian dialiri semangat menyala untuk mendalami materi skripsiku, gerbang kesuksesan yang kuyakini akan mengantarku lulus 3,5 tahun.
“Kamu enggak takut, sama saya?”
“Saya takutnya sama Allah, Bu.”
“Bagus, kalau kamu enggak takut sama saya. Soalnya banyak yang bilang saya dosen galak, killer, jadi banyak yang takut bimbingan sama saya,” lanjutmu kemudian menutup perbincangan kita di siang itu yang sungguh begitu meringankan hatiku, mengangkat beban besar yang terasa mengganjal selama aku kuliah.