“Tuhan memberikan manusia ujian untuk bersyukur atas apa yang hilang darinya agar semakin mampu mencintai-Nya dengan utuh.”
Aku mencintaimu dengan rasa syukurku, Bunda. Bersyukur atas banyak hal indah yang Tuhan berikan padaku karena sempat mengenalmu, dan menjadi ‘anakmu’ saat mencoba memahami hatimu. Aku bersyukur Tuhan berikan waktu untuk mengenalmu, meski sesaat dan tak utuh dalam tiap episode hidupmu. Meski demikian, semoga rasa syukurku menjadi salah satu penanda bahwa hidupmu telah menerbitkan cinta dan semangat hidup yang menggerakkan hidupku, dan pastinya banyak orang lain lainnya yang barangkali juga tak aku kenal.
Aku mengenalmu dalam kesan pertama yang begitu hidup, masih tertinggal hingga kini meski jiwamu telah menjauh dariku. Enerjik, tegas, penuh semangat juang, dan cerdas, itulah gambaran dirimu saat pertama kali aku melihatmu berdiri di depan kelas, perkenalan mata kuliah di awal semester. Tak dinyana interaksi di kelas itu berkembang lebih jauh saat kau memberikanku kesempatan untuk ikut dalam penelitianmu.
“Sofa, kamu mau ikut penelitian payung bersama saya, enggak?” tawarmu di suatu siang. “Nanti ke ruangan saya ya, setelah kuliah.”
Hanya anggukan yang kuberikan, tak percaya engkau berkata demikian padaku, yang dalam arti pandanganku sebagai mahasiswa biasa saja. Mahasiswa yang terbiasa melakukan hal aneh, di luar dugaan, konyol, kecerobohan yang merugikan, dan sama sekali tak terkesan “intelek” dalam memahami teori-teori yang berusaha kucerna dengan susah payah.
“Kamu rajin sholat, kan? Sholatmu lima waktu?” selidikmu padaku kemudian setelah aku menemuimu di ruangan dosen.
“Ya, Bu. Saya sudah sholat lima waktu,” jawabku kikuk.
“Bagus, saya lihat kamu sudah pakai jilbab, jadi saya yakin kamu sudah sholat lima waktu. Kalau sudah sholat tertib, pasti kamu bisa ikut penelitian bareng saya.”
Aku diam saja, tak mengerti antara korelasi sholat lima waktu dan penelitian payung yang sedang dibicarakan.
“Maksud saya begini, kalau kamu sudah sholat lima waktu, artinya kamu sudah menepati janji pada Tuhan. Berarti kamu bisa juga menepati janji pada saya, enggak kabur-kabur pas penelitian kalau lagi susah hehe…” senyummu mengembang manis sesaat setelahnya.
“Oh…” anggukku pelan dan aku berterima kasih atas keyakinanmu padaku.