Mohon tunggu...
Sofa Nurdiyanti
Sofa Nurdiyanti Mohon Tunggu... Editor - Full time mom and dad of Kochi

Too good to be true

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Langit Pagi

3 Agustus 2011   06:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:08 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kali ini aku ingin bercerita soal sekolah tempat aku magang. SDN Langit Pagi, demikian aku memberinya nama. Merupakan salah satu SD yang terletak di Desa Gunung Batu, Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi. SD Langit Pagi, merupakan salah satu SD dengan standar nasional. Jika Anda berkunjung ke sekolah tempatku magang, maka yang akan Anda jumpai adalah bangunan sekolah yang cukup bagus. Bangunan terdiri dari tembok dan berlantaikan keramik. Bangunan kelas memanjang ke arah utara berderet dari kelas satu hingga kelas empat. Lalu kelas lima dan kelas enam berada di sisi barat bangunan utama. Ruang kantor kepala sekolah terletak di sebelah utara menghadap ke selatan. Lapangan upacara yang cukup luas menghampar di depan ruang kelas satu hingga kelas empat. Jika hujan turun, seringkali upacara ditiadakan karena lapangan yang terlalu becek, tak bisa digunakan.

Meski bangunan sekolah boleh dikata bagus, namun perawatan terlihat kurang sekali. Ruang kelas satu rusak, maka anak kelas satu dan anak kelas dua berbagi kelas. Jam pelajaran dalam sehari di ruang kelas dua dibagi menjadi dua bagian. Pagi, antara pukul 07.30—09.30 WIB merupakan jatah kelas satu. Setelahnya antara pukul 10.00—12.00 adalah jatah kelas dua menerima pelajaran. Meski sudah dijatah masuk siang, sedari pagi sudah banyak siswa kelas dua yang datang ke sekolah menunggu giliran masuk tiba. Mereka mengisi waktu dengan bermain bersama dengan teman-temannya.

Soal kebersihan, tampaknya belum jadi budaya yang melekat bagi mereka. Sebagai contoh, kewajiban melepas alas kaki ketika masuk ruang kelas sayangnya hanya diperuntukkan oleh murid. Para guru enggan melepas alas kaki dengan alasan ruang kelas yang kotor. Memang, ruang kelas akan semakin kotor jika hujan tiba. Biarpun murid-murid telah melepas alas kaki, maka sisa-sisa air hujan akan terbawa di dalam kelas. Menambah kotor dengan sisa tanah yang terbawa masuk kelas. Guru semakin acuh dengan melenggang masuk kelas memakai sepatu daripada bersama murid membersihkan kelas dan teras yang kotor. Rak sepatu pun terlihat rapuh, tak lagi tegak seperti awalnya. Karena kondisinya yang tak lagi kuat, rak sepatu yang cukup besar itu teronggok begitu saja di depan kelas. Hanya terlihat satu hingga tiga pasang sandal dan sepatu yang terlihat di atasnya.

Tiap ruang kelas penuh dengan display dan kalimat afirmasi. Dinding kelas terlihat penuh sekali, hampir bisa dikatakan tidak ada ruang kosong untuk menaruh display baru. Jika diamati dengan cermat, terlihat sekali display dan kalimat afirmasi yang ada terlihat usang, tak terawat, berdebu, dan tidak pernah diganti dengan yang baru. Apalagi kalau melihat ruang kantor guru yang menyatu dengan ruang kantor kepala sekolah. Bisa jadi Anda akan dibuat heran atau bahkan pusing melihat banyaknya kalimat afirmasi, program sekolah, visi-misi, silabus, kurikulum, dan entah apalagi. Semuanya penuh, mulai dari dinding bagian tengah hingga mencapai langit-langit, bahkan lemari pun penuh dengan kalimat warna-warni. Semuanya demi memenuhi standar sekolah nasional. Standar sekolah nasional, ya standar yang akan meningkatkan gengsi sekolah di antara sekolah lainnya.

Meskipun begitu, suasana sekolah tiap harinya dihiasi dengan pemandangan murid-murid yang terlantar di tengah jam pelajaran. Ini merupakan hal yang lumrah! Para guru terlihat lebih asyik untuk mengobrol bersama dengan guru lainnya sambil merokok atau bermain catur diselingi dengan minum kopi bersama. Asap rokok yang mengepul di ruangan kantor, aroma kopi instan yang khas, juga suara lagu yang diputar dari HP atau televisi semakin membuatku bertanya, benarkah ini ruang kantor di sekolah?

Lalu bagaimana dengan murid-murid yang ditinggalkan? Sebagian besar akan merasa senang dan terbebas dari pelajaran yang sulit mereka mengerti. Sepakbola, catur, tenis, kelereng, makan di kelas, adalah sebagian kecil hal yang dilakukan oleh murid-murid yang ditelantarkan. Anak yang tak senang bermain di lapangan, akan lebih asyik dengan aktivitas menggambar atau bermain tebak-tebakan dengan sebagian kecil anak yang tersisa. Yang membuat lega adalah masih ada satu-dua anak yang mau belajar membaca dan berhitung.

Meskipun mempunyai banyak guru, 13 orang termasuk kepala sekolah. Bahkan mulai dari kelas IV sampai dengan kelas VI bahkan guru yang mengajar dibagi menjadi guru bidang studi pun masih ada kelas kosong. Masalah yang sebenarnya tidak terletak pada jumlah guru maupun jumlah siswa yang banyak, tapi lebih pada komitmen para guru. Sering siswa ditinggal guru mengobrol, dan mengalihkan kewajibannya—memberi tugas untuk menghabiskan jam pelajaran—saat mengajar.

Ada sebuah kelas yang kondisinya memprihatinkan. Kelas mereka jarang diisi pelajaran oleh guru kecuali guru tertentu. Waktu mereka lebih banyak dihabiskan untuk bermain. Ketika aku mengajar di kelas tiga (yang bersebelahan dengan kelas tersebut) pun, sebagian dari mereka sering melongok dari pintu kelas atau dari dinding antar kelas yang berlubang. Ketika aku menyuruh mereka untuk diam di kelasnya dan belajar dengan gurunya, mereka hanya menggeleng dan berlari menjauh pergi.

“Ayo, ini jadwal pelajaran apa? Ayo ke kelas,” ujarku pada sekelompok anak yang berdiri di pintu kelas tiga.

“Enggak ada bu. Kelasnya kosong,” ujar salah seorang anak dengan raut muka kecewa.

“Kok kosong lagi? Gurunya ke mana?”

“Enggak tahu, bu. Kita diajar ibu aja ya? Daripada kosong terus. Kalau sama ibu kan enak ada mainnya.”

“Hemm…. Ibu kan enggak ada jadwal ngajar kalian hari ini. Lagian ibu sedang ngajar kelas tiga. Sekarang cari gurunya di kantor dulu, bilang kelas kalian kosong. Biar diganti ma guru yang lain. Kalau enggak ada guru juga nanti habis jam pelajaran ini ibu ke kelas kalian.”

“Yah, ibu. ”

Dadaku mendadak sesak ketika mengucapkan kalimat-kalimat itu. Bagaimana jadinya mereka nanti kalau setiap hari seperti ini? Ditinggalkan guru dan bermain sesuka mereka sepanjang hari. Duhai guru, masihkah ada cintamu untuk mereka, anak-anakmu yang membutuhkan bantuanmu? Mereka menantimu, penuh harap akan setetes ilmu yang kau punya.

27 April 2011

9:57

Note: Gusti…. Nelangsane dadi murid2q,hiksss..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun