Mohon tunggu...
R. Anis Nurdina
R. Anis Nurdina Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Pernah bekerja sebagai editor. Mulai belajar menulis dengan bergabung di beberapa komunitas. Saat ini bekerja sebagai freelencer dan mengelola bisnis batik online.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Menjaga Mental Anak, Dimulai dari Ayah (Refleksi Seminar Parenting)

13 Januari 2025   09:00 Diperbarui: 13 Januari 2025   09:00 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seminar Parenting MIM PK Kartasura yang digelar di Hotel Multazam, Komplek UMS. (Sumber: Dok. Pribadi)

Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, kesehatan mental anak menjadi perhatian utama bagi para orang tua. Hal ini pula yang mendasari sekolah MIM PK Kartasura, Sukoharjo, untuk menggelar seminar parenting rutin tahunan. Dengan tema 'Pentingnya Menjaga Mental Anak dan Orang Tua', seminar tahun ini memberikan perspektif baru, khususnya tentang peran ayah. 'Menjaga Mental Anak, Dimulai dari Ayah' menjadi inti sari dari kajian yang disampaikan oleh Ust. Ridho Febri, seorang pakar parenting sekaligus aktivis dakwah yang juga dikenal sebagai pemandu program di salah satu stasiun TV nasional.

Jika selama ini kita banyak mengadopsi parenting selain dari Islam, maka banyak hal baru yang disampaikan dalam seminar ini. Tentang parenting itu dimulai sejak sebelum menikah, yakni saat memilih pasangan, kita semua sudah tahu itu. Tetapi ketika sampai pada peran suami, peran istri, kemudian berkembang menjadi peran ayah-ibu, mungkin kita tidak benar-benar menyiapkan atau memahami hal ini.

Banyak suami atau ayah yang gagap ketika sudah sampai pada peran ini. Sebenarnya hal yang sama juga dialami oleh sebagian besar istri atau ibu. Seperti yang kita ketahui, stereotip yang berkembang di masyarakat seringkali menempatkan urusan rumah tangga dan anak sebagai ranah ibu. Akibatnya, peran ayah kadang terpinggirkan. Padahal, keterlibatan ayah yang aktif sama pentingnya dengan peran ibu, dalam konteks tumbuh kembang anak dan kesehatan mental keluarga. Itu sebabnya, Ust. Ridho dalam kajiannya ini, menitikberatkan pada peran suami, peran ayah di dalam rumah tangga. Karena jika suami mampu meredam tantrum istri, maka anak-anak juga akan selamat pula dari 'sansak' ibunya.

Dengan kehadiran ayah yang mampu mengelola emosinya dengan baik, anak-anak pun terlindungi. Kesehatan mental keluarga pun akan lebih terjaga. Tidak mudah memang bagi suami atau ayah memahami atau menyadari bahwa istri adalah 'adik kecil' dengan logika yang kadang-kadang selevel dengan anak-anak, dan yang cenderung mengingat detail kejadian-kejadian yang telah berlalu, khususnya jika itu menyangkut kesalahan pasangan. Suami/ayah dituntut tidak saja ada, tapi juga hadir bertanggungjawab terhadap kesehatan mental seluruh anggota keluarga.

Meski Ust. Ridho menekankan bahwa kesehatan mental keluarga memang berawal dari ayah, namun bukan berarti peran ibu menjadi tidak penting. Justru, keterlibatan ayah yang positif akan menciptakan lingkungan yang mendukung bagi ibu untuk menjalankan perannya dengan optimal. Kemitraan yang solid antara ayah dan ibu inilah yang menjadi fondasi bagi kesehatan mental seluruh anggota keluarga. Komunikasi yang efektif tidak hanya berarti menyampaikan kebutuhan diri sendiri, tetapi juga berusaha memahami kebutuhan dan perasaan pasangan. Sebuah kutipan berikut memberikan perspektif yang berharga tentang hal ini.


TERNYATA PRIA JUGA MERASAKAN SAKIT

Seorang wanita berkata kepadaku, 'Butuh waktu bertahun-tahun bagiku untuk benar-benar menyadari bahwa pria juga menangis. Aku menganggap suamiku sebagai manusia super. Aku melihatnya pergi meninggalkan rumah setiap hari dan kembali membawa nafkah untuk kami. Suatu hari ketika aku meninggalkan rumah dan dia ada di rumah, tiba-tiba aku teringat ada yang ketinggalan, aku berbalik dan kembali ke rumah. Saat aku sampai di rumah, aku mencoba masuk melalui pintu belakang yang lebih dekat ke jendela kamar kami. Aku mendengar suamiku menangis seperti bayi memohon kepada Tuhan untuk membantuku mendapatkan pekerjaan agar aku bisa membantunya menafkahi keluarga. Dia tidak pernah mengeluh kepadaku sebelumnya, tetapi hari itu, aku menangis tersedu-sedu menyadari bahwa suamiku telah memendam banyak rasa sakitnya sendirian.'

Di kisah lain...
Seorang wanita muda yang sudah menikah pergi ke ibunya dan mengeluh bahwa suaminya tidak selalu membelikan barang-barang yang diinginkannya. Ibunya bertanya kepadanya, 'Berapa banyak dari barang-barang itu yang telah kamu beli untuk dirimu sendiri?'. Dia terdiam dan berkata, 'Tapi dia kan suamiku?'. Ibunya menjawabnya, 'Pernahkah kamu mencari tahu hal-hal yang suamimu ingin kamu belikan untuknya?'.

Pria selalu berusaha menyembunyikan rasa sakit mereka.
Pria bisa bangkrut secara finansial dan berpura-pura memiliki segalanya.
Kebanyakan pria sudah menikah tetapi mereka memiliki kehidupan yang kesepian.
Terkadang, ajaklah suamimu keluar. Pria tidak selalu sesibuk yang dipikirkan wanita.
Kamu harus mengerti bahwa suamimu juga memiliki rasa sakit dan kebutuhan. Jangan menghakiminya berdasarkan hal-hal yang kamu inginkan darinya. Terkadang, suamimu tidak memiliki hal-hal yang kamu inginkan.
Pria juga memiliki kebutuhan dan masalah emosional.
Pria tetap menangis karena cintanya pada keluarganya.

-Diterjemahkan secara bebas dengan perubahan-
(Credit goes to the respective author)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun