Mohon tunggu...
Nurdin Al Ashari
Nurdin Al Ashari Mohon Tunggu... -

mohon kritik dan sarannya ^_^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Tak Akan Diam Lagi (part 2)

22 Juni 2013   13:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:36 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah mendengar nasihat dari Ibunya Jun sedikit berpikir. ‘Benar kata Ibu. Sampai kapan aku akan diem terus?’

Paska dinasehati oleh Ibunya, sekarang Jun lebih sering melamun di kelas. Semakin sedikit ekspresi kata yang dikeluarkan. Bahkan ketika Ibrahim mengajak istirahat di Kantin sekolah, Jun menolak. Dia lebih memilih diam di kelas atau hanya sekedar menitip jajanan pada Ibrahim.

Satu tahun berakhir. Kini tiba saatnya liburan kenaikan kelas. Jun beserta Ayah dan Ibunya berencana berkunjung ke Pakdhenya yang ada di Solo. Pakdhe ini memiliki satu anak yang seumuran dengan Jun, namanya Ilham. Karena silsilah keluarga, Jun memanggil Ilham dengan sebutan Mas.

“De, kalau aku titip Ilham di rumahmu boleh?” Tanya Pakdhe kepada adiknya.

“Kok dititipin mas?” Tanya Ayah singkat.

“Iya minggu depan aku ada urusan bisnis di Maluku, waktunya cukup lama. Jadi agak riskan kalau ninggalin Ilham sendirian di sini.”

“Boleh aja sih mas, cuma Ilhamnya mau ngga.”

“Aku sama Ilham udah bicarain ini sih semalem dan Ilham setuju.”

“Ya udah kalau gitu nanti berangkatnya bareng aja sama kami.” Ayah pun setuju.

***

Satu minggu berlibur di rumah Pakdhe banyak tempat yang dikunjungi. Tawangmangu, Keraton Solo, Balikambang, dan mampir di Pasar Klewer untuk membeli oleh-oleh. Setelah itu rombongan Jun plus Ilham kembali pulang.

Periode ajaran baru akan segera dimulai, Ilham didaftarkan di sekolahan yang sama dengan Jun. Di periode ajaran baru ini Jun memutuskan untuk melaksanakan nasihat Ibu, yaitu go to public. Jun memutuskan untuk mangikuti esktrakulikuler Palang Merah Remaja atau PMR. Eskul ini bisa dibilang kurang terkenal, karena menurut yang lain kegiatan PMR kurang menarik dan membosankan. Anak-anak lain lebih banyak memilih eskul basket, paskibra, atau pancak silat, karena eskul-eskul itu lebih keren di mata orang. Namun bagi Jun PMR adalah eskul yang cocok untuknya. Eskul yang diikuti oleh Jun beranggotakan sepuluh orang, delapan orang perempuan dan dua orang laki-laki. Dua orang laki-laki itu adalah Jun dan Ibrahim. Lagi-lagi Jun hanya berkutik dengan satu teman. Namun menurutnya, mengikuti eskul merupakan sesuatu yang baru baginya. Hari demi hari berlangsung seperti biasa, hanya sedikit perubahan dari kegiatan rutinnya. Kini Jun memiliki jadwal tetap untuk latihan PMR, yaitu seminggu sekali tepatnya hari selasa. Melihat hal itu Ibu pun merasa senang, akhirnya anak semata wayangnya itu bisa bersosialisasi juga. Namun anehnya perasaan senang itu tidak terjadi pada diri Jun. Jun merasa tidak ada yang berubah sama sekali. Sekarang ini Jun sudah kelas dua SMP dan tidak lagi satu kelas dengan Ibrahim, tetapi setiap istirahat Jun masih tetap bermain dengan Ibrahim. Sementara ketika di kelas, Jun tetap diam manis di tempat duduknya. Tidak berekspresi dan tidak bergabung dengan teman-temannya di Kelas. Bahkan lebih parah. Jun yang biasa hanya akrab dengan teman sebangkunya, kali ini tidak sama sekali. Lalu bagaimana dengan teman-teman eskulnya? Karena mereka perempuan (kecuali Ibrahim) Jun sedikit riskan untuk bermain dengan mereka, nanti disangka banci lagi. Bagaimana dengan senior PMR-nya? Dengan teman sebayanya saja tidak akrab, apalagi dengan senior.

Berbeda dengan sepupunya, Ilham. Dalam waktu 3 minggu saja, Ilham sudah memiliki segudang teman. Dalam seminggu saja bisa sampai dua atau tiga kali, teman-temannya bermain di rumah Jun. Pada dasarnya memang diperbolehkan oleh Ibu, toh rumah Jun rumah Ilham juga. Perasaan minder dan iri muncul pada diri Jun.  Selama hidupnya baru kali ini Jun merasa iri pada orang lain.

“Kenapa ya ngga ada temen yang dateng mencariku?” Batin Jun bergumam. Setiap teman Ilham datang ke rumah, Jun hanya bisa tersenyum dan mereka pun berbisik satu sama lain. Entah apa yang dibicarakan.

Keputusan mengikuti eskul ternyata membuat hati kecil Jun sedikit menyesal. Setiap perkumpulan PMR, khususnya ketika koordinasi dengan pembina, terlalu sering pendapat Jun dikesampingkan sementara yang lain didengar dengan baik. Padahal isi pendapatnya sama dengan isi pendapat yang Jun utarakan. Sebagai contoh ketika PMR sekolahnya diundang untuk menjaga peserta upacara pada saat upacara perayaan kemerdekaan.

“Bagaimana nih posisi anggota ketika upacara 17-an?” Pembina PMR bertanya pada anggotanya. Beberapa menit suasana hening. Tiba-tiba dengan takut-takut dan suara bergetar Jun mengajukan usulan. “Bagai..ma..na kalau yang la..ki-laki disimpan di sebelah kanan baris..an dan yang perem..puan disebelah kiri baris..an.”

Tak ada tanggapan sama sekali. Jun pun berpikir kalau mungkin usulannya itu kurang tepat. Namun selang beberapa menit salah seorang dari kakak kelas mengajukan usulan, “Bagaimana kalau perempuan diposisi kiri barisan dan laki-laki diposisi kanan barisan. Alasannya ketika waktu agak siang, cahaya matahari akan menyorot ke sebelah kanan jadi suasananya akan lebih panas dibandingkan di sebelah kiri. Makanya laki-laki lebih baik diposisikan di sebelah kanan.” Singkat cerita Pembina pun mengijinkan.

Jun yang tidak terima dengan hal tersebut berontak dalam hati, ‘Tadikan aku ngusulin gitu. Tapi kenapa semua pada diem?’ Kejadian itu tidak terjadi sekali atau dua kali tetapi sering terjadi. Tidak hanya terjadi ketika kumpul di PMR saja melainkan di kelas pun sering terjadi hal yang serupa. Itulah salah satu alasan kenapa Jun malas bergaul. Dia merasa tidak ada diantara mereka, padahal posisinya ada di sebelah mereka. Namun dilain pihak Jun ingin punya teman. Dia benar-benar ingin punya teman yang banyak, bukan hanya Ibrahim seorang. Capek rasanya sendiri. Ada perasaan tertekan dalam hatinya. ‘Apa yang harus aku lakukan?’

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun