Mohon tunggu...
Nurcholis Darmawan
Nurcholis Darmawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis, Filmmaker, Pegiat Seni dan Literasi

Nurcholis Darmawan, aktif menulis dan berjejaring dalam giat-giat literasi melalui Nemu Buku Palu, aktifitas lainnya dengan mengajar adik-adik Sikola Pomore (Sekolah Alam Berbasis Pengetahuan Lokal) di Kabupaten Donggala dan Kota Palu, terlibat sebagai sutradara dalam film dokumenter Hidup Dengan Bencana, "Timbul Tenggelam" produksi In-docs dan Sinekoci berkolaborasi dengan Sikola Pomore, saat ini rutin juga menulis sebagai jurnalis untuk topik-topik kebudayaan daerah melalui Yayasan Tadulakota.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Sakaya Dalam Gelombang Arus Balik

8 Oktober 2023   13:01 Diperbarui: 9 Oktober 2023   03:01 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Dokumentasi Festival Bali Jani 2023 - Lentera Silolangi)

(Penulis: Nurcholis Darmawan)

"Untuk membayangkan jiwa-jiwa yang diibaratkan bagai pelaut, yang mengarungi lautan dengan tepian yang penuh rahasia. Sesekali mereka singgah untuk berteduh. Seringkali mereka lupa, bahwa persinggahan itu tidak-lah untuk selamanya..."

Pada Gelaran Festival Seni Bali Jani Ke - V yang berlangsung pada Kamis, 20 Juli 2023, bertempat di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali, salah satu penampil asal Sulawesi Tengah; Lentera Silolangi - kota Palu, terlibat dalam memeriahkan salah satu rangkaian pertunjukkan dari gelaran tersebut, melalui naskah teater bertajuk Sakaya; entitas perahu dalam khazanah kebudayaan komunitas masyarakat Kaili.

Sakaya sendiri umumnya melekat pada dua pemaknaan, secara wujud ia dianggap sebagai alat transportasi sejenis perahu yang menghubungkan antara wilayah daratan dan perairan. Sementara "Sakaya" dalam konteks nilai yang tumbuh di dalam kepercayaan masyarakat lokal; dimaknai sebagai perantara bagi manusia dengan sesuatu yang bersifat gaib, atau dengan kata lain, manusia menjadi medium penghubung antara masa lalu (leluhur) dan masa kini yang terpisah oleh wujud, waktu, dan ruang. Maka berangkat dari kedua metafora itu, karya ini kemudian terlahir.

(Dokumentasi Festival Bali Jani 2023 - Lentera Silolangi)
(Dokumentasi Festival Bali Jani 2023 - Lentera Silolangi)

Setidaknya seperti itulah spirit yang coba dibangun oleh narasi dari naskah ini, sebagaimana metafora yang telah lama eksis di lingkungan masyarakat Kaili, etnis terbesar yang mendiami Sulawesi Tengah, tentu sebuah tanggungjawab besar tengah diemban oleh penyaji, sekaligus terdapat sebuah tantangan tersendiri dalam meramu konsep untuk kemudian dibawakan ke dalam medium seni pertunjukkan, sebab memang ada cukup banyak versi dari Sakaya dalam khazanah kebudayaan Kaili, sehingga proses kreatif  tidak akan lepas dari diseminasi yang alot nan panjang, lintas penulis naskah - Adi Wira Admaja, bersama sutradaranya - Dili  Suwarno.

Secara intrinsik, pertunjukkan teater ini terbagi atas bentuk dan ragam disipliner, baik berdasarkan pendekatan budaya tradisional maupun kontemporer yang dijahit menjadi satu pertunjukkan yang utuh; misalnya pada bagian prolog, elemen pertama yang dengan  mudah dapat dinikmati oleh penonton adalah sebuah lantunan-lantunan Gane (mantera) yang sering dirapalkan dalam upacara adat maupun ritus-ritus, sekaligus merupakan salah satu diantara banyaknya jenis tradisi lisan yang dimiliki oleh masyarakat suku Kaili, Sulawesi Tengah.

Selanjutnya penonton akan disajikan dengan gerak-gerak teater ketubuhan, terlihat para aktor yang sedang mengenakan aksesoris melalui koreo yang syarat dengan aspek-aspek budaya pesisir dan budaya agraris yang seolah saling berbaur antara satu dengan yang lainnya, dan pada bagian ini pula di kepala saya kemudian timbul banyak sekali pertanyaan, misalnya, "Bagaimana mungkin budaya pesisir dan agraris dengan letak wilayah geografis yang berbeda dapat menyatu?", lalu secara tidak sadar, entah mengapa mata saya refleks terarah pada sisi lain pertunjukkan - sebuah artistik yang menjadi latar belakang dari pertunjukkan dari tersebut, terpampang  visual yang terasa familiar dengan simbol patung-patung megalitik yang tersebar di Kabupaten Sigi hingga Poso, tepatnya di daerah Napu, lembah Bada, dan Behoa.

(Dokumentasi Festival Bali Jani 2023 - Lentera Silolangi)
(Dokumentasi Festival Bali Jani 2023 - Lentera Silolangi)

Seketika saya kemudian membayangkan Sakaya ke dalam bentuk yang lain, kemungkinan dalam wujud yang lebih tua; Kalamba. Sebuah batu yang dibentuk sedemikian rupa oleh masyarakat pra-sejarah sehingga membentuk seperti sebuah tabung raksasa yang berfungsi sebagai tempat menyimpan jenazah (kuburan) manusia yang telah meninggal, dalam bahasa Behoa ia diartikan sebagai perahu dan tutupnya disebut tuatena.  Selain itu Kalamba yang juga dipercayai sebagai simbol perahu oleh para leluhur Austronesian tersebut kemudian diibaratkan juga sebagai simbolisasi dari wujud perahu yang bertugas untuk mengantar arwah-arwah yang telah mangkat menuju alam baka.

(Dokumentasi Pribadi Penulis: Kalamba, Lembah Behoa - Situs Watu Nongko)
(Dokumentasi Pribadi Penulis: Kalamba, Lembah Behoa - Situs Watu Nongko)

Ada impresi serta pengalaman menonton yang sangat intim, setidaknya itu yang bisa saya rasakan. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benak saya tadi, perlahan menemukan benang merahnya; yakni antara kita yang hidup sekarang dengan leluhur yang hidup di masa lampau ternyata memiliki pengalaman yang berbeda atas ruang. Bencana geologis seperti gempa bumi besar pada masa lalu kemudian menyebabkan permukaan tanah di dasar laut terangkat, atau mengering, linear dengan beberapa versi dari arti penamaan Lembah Palu, bermuasal dari kata (To' Palu'e) yang bermakna - tanah yang terangkat, lalu kemudian berkembang menjadi tempat sebuah peradaban bahari yang tumbuh pesat akibat transformasi dari waktu ke waktu hingga akhirnya menjadi sebuah ibu kota di mana kami sekarang banyak bermukim.

Dugaan itu dapat dibuktikan dengan banyaknya penemuan fosil moluska bawah laut yang telah membatu, jenis batu-batu karang, bahkan terdapat jenis vegetasi semacam tumbuhan bakau yang harusnya tumbuh di daerah pesisir, namun justru ditemukan di sebuah wilayah yang sangat jauh dari bibir pantai, tepatnya di Desa Bangga, Kabupaten Sigi, sekitar 51,9 km ke arah selatan kota Palu.  

Lalu coba bayangkan lebih jauh, "sebenarnya ada di mana letak pantai pada masa itu?", apalagi jika waktu kita tarik mundur lebih jauh lagi ke belakang. Sejurus dengan lokasi tinggalan megalitik yang jaraknya masih lebih pelosok lagi - wilayah dataran tinggi. Sebagaimana muasal istilah dari arti Kaili sendiri yang juga diambil dari istilah "noili" (mengalir), serta perjalanan panjang migrasi masyarakat suku Kaili yang pada mulanya bermukim di wilayah dataran tinggi, turun menuju lembah hingga mencapai pesisir. Selayaknya air yang mengalir dari tempat yang tinggi menuju ke tempat yang lebih rendah.

Sekali lagi, jika Sakaya dan Kalamba diibaratkan sebagai perahu yang menjadi penghubung antara dunia manusia dan alam gaib, maka Kalamba sendiri saya bayangkan sebagai perahu yang maju mengikuti arus menuju dimensi arwah, sementara Sakaya malah sebaliknya, para arwah-arwah leluhur tersebut saya imajinasikan seolah tengah menumpangi perahu (mediator) dalam gelombang arus balik - melintasi alam baka dalam upaya mencapai dimensi manusia. 

Selanjutnya, dalam kosmologi maupun aspek spiritual suku Kaili, sebelum datangnya agama-agama besar, mereka mempercayai bawasanya entitas Tuhan bersemayam di beberapa tempat; Tanah, Langit, Sungai, dan Laut. Sehingga keempat elemen tersebut kemudian menjadi lokasi yang amat disakralkan.

 

(Dokumentasi Akun Instagram @onqibengga, Ritual Balia - Desa Sindue, Kab. Donggala)
(Dokumentasi Akun Instagram @onqibengga, Ritual Balia - Desa Sindue, Kab. Donggala)

Dalam sebuah ritual tradisional yang berfungsi sebagai metode penyembuhan (non medis), orang Kaili menyebutnya sebagai ritual Balia, salah satu bagian krusial dari metode penyembuhan ini adalah ketika orang-orang yang mengikuti kegiatan ini kemudian dirasuki oleh roh-roh leluhur, dalam kondisi trans mereka akan menari-menari sesuai karakter dan tokoh yang merasuki mereka, lantas setelahnya mereka kemudian menginjak-injakkan kakinya ke bara api yang sedang menyala sembari diiringi oleh tabuhan gimba (gendang khas Kaili) dan instrumen musik lainnya. Dipercaya metode penyembuhan tradisional ini dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, baik medis maupun non medis dan orang-orang yang menjadi partisipan sebagai mediator bagi roh leluhur tersebut, kemudian akrab disebut sebagai Sakaya.

(Dokumentasi Akun Instagram @onqibengga, Ritual Balia - Desa Sindue, Kab. Donggala)
(Dokumentasi Akun Instagram @onqibengga, Ritual Balia - Desa Sindue, Kab. Donggala)

Dari segi folklore atau cerita rakyat, potongan beberapa versi yang sangat fenomenal menyangkut Sakaya mempunyai kaitan erat dengan kedatangan tokoh legendaris - Sawerigading, seorang putra raja yang berasal dari kerajaan Luwu purba, Sulawesi Selatan, yang berlayar bersama perahunya, singgahnya Sawerigading di tanah Kaili, juga termaktub di dalam kitab Sureq I Lagaligo, dikisahkan ia berlabuh di sebuah desa bernama Bangga, Kabupaten Sigi. Dan anjingnya bernama La Bolong terlibat dalam perkelahian  dengan seekor belut raksasa bernama Lindu, dari pertarungan keduanya kemudian menyebabkan terjadinya sebuah bencana besar (gempa bumi), cerita rakyat yang dituturkan secara turun temurun tersebut juga seringkali dikait-kaitkan dengan asal muasal terbentuknya danau Lindu, sungai Palu, hingga Lembah Palu.

Menurut legenda itu pula, kapal besar Sawerivadi (dalam aksen Kaili), dikisahkan juga terdampar di sebuah wilayah bernama Sambo (sekarang Kecamatan Dolo), sehingga di desa tersebut terdapat sebuah gunung yang bila dipandang dari kejauhan, akan terlihat menyerupai sebuah perahu, masyarakat setempat menyebutnya Bulu Sakaya (gunung perahu). Konon gunung itu merupakan sisa dari kapal kolosal Sawerigading, sementara layarnya konon terlempar ke sebelah timur lembah Palu, yang kini disebut sebagai Bulu Masomba yang berarti gunung yang menyerupai layar.

(Wikipedia: Ilustrasi Sawerigading dalam Sureq I Lagaligo)
(Wikipedia: Ilustrasi Sawerigading dalam Sureq I Lagaligo)

Sehubungan dengan pementasan Lentera Silolangi, layer-layer lain juga kontras terasa adalah sebuah pengalaman menonton yang reflektif - perasaan mengalami eksistensi diri sebagai manusia secara internal, sebuah siklus hidup yang dimulai dari proses kelahiran hingga kematian. Meskipun terkesan agak sureal, pendekatan dramaturgi dari pertunjukkan teater tersebut terletak pada durasi pertengahan, dengan memuculkan dialog-dialog dari sejumlah tokoh yang dimanifestasikan ke dalam sebuah potret percakapan anggota keluarga di atas sebuah meja makan.

Jika dicermati lebih kritis, kejadian demi kejadian yang dimunculkan di atas panggung pada bagian ini, memang marak terjadi di dalam lingkungan keluarga yang memiliki pola asuh yang buruk, toxic, dan penuh kemunafikan. Seolah  semua anggota keluarga di dalam setting cerita itu secara sengaja enggan memunculkan sisi buruk mereka antara satu sama lain demi menjaga sebuah keharmonisan semu yang hanya terlihat kokoh di permukaan, namun sebenarnya amat rapuh dari dalam.

(Dokumentasi Festival Bali Jani 2023 - Lentera Silolangi)
(Dokumentasi Festival Bali Jani 2023 - Lentera Silolangi)

Menurut pandangan saya, sebagai penonton, kami seolah dituntun untuk menyaksikan cerita pada bagian itu menggunakan sudut pandang orang ketiga. Saya menduga, ide dan gagasan penulis yang diejawantahkan oleh sutradara kemungkinan besar adalah bagian dari respon mereka terhadap kehidupan anggota keluarga zaman sekarang yang terasa kurang intim dengan relasi yang tertutup antara satu sama lain.  Serba individualis, bahkan terjadi pada yang ranah paling dekat dengan kita, yakni di dalam lingkungan keluarga.

(Dokumentasi Festival Bali Jani 2023 - Lentera Silolangi)
(Dokumentasi Festival Bali Jani 2023 - Lentera Silolangi)

Sementara pada bagian akhir pertunjukkan, penyaji juga mengadopsi sebuah potongan koreo dari gerakan-gerakan ritual Balia, oleh para aktor yang terlihat menutup mata mereka dengan menggunakan kain putih. Mereka kemudian terus menerus menari tanpa henti, diibaratkan sebagai cara mereka untuk menyucikan diri dari dosa-dosa duniawi sebelum akhirnya mereka semua berlayar dalam kematian yang kekal.

Dokumentasi Festival Bali Jani 2023 -- Lentera Silolangi)
Dokumentasi Festival Bali Jani 2023 -- Lentera Silolangi)

Kalian bisa menikmati pertunjukkan Sakaya dengan utuh, melalui :


PRODUKSI SAKAYA 

Pimpinan Produksi, Annisa Saskia Putri | Penulis, Adi Atmaja | Sutradara, Dili Swarno S.sn., M.Pd | Penata Musik, Moh. Zulfikar S.H | Koreografer, Sri Wulan Devi | Sekretaris, Adi Atmaja | Bendahara, Auliya Sari | Penata Artistik, Nazar | Ass. Artistik, Gilang Nusantara | Make up & Kostum, Risqykha Yudhiba B, Ayhu Oktavia, Leony Puspita Arini, Asyifatul Fatwa Aktor, Nisa, Budi Dum, Devi, Nazar, Moh. Ade Riski, Andre Herdiansyah, Az-Zahra Diva Celia, Rivaldi, Nur Rahmi,, Ryan Hidayat | Pemusik, Moh. Ikbal, Andrew Tibe, Adinda Delima Rahmeisyah, Renaldy Lomo, Moh. Ikro Fajar | Lighting, Fajrin | Tim Produksi, Geby Putri Pratiwi, Eka Purwarsih, Nadiah, Mauliana, Mauliani, Kartika Putri, Andini Intan Nurul S.A, Nurhertika Sari, Dini Amanih, Ramin Alhaddad, | Tim Artistik, Aifal Nur Iskandar, Vitto Indrawan, Rexy Rivaldo, Intje Karim, Okhy Sastiawan, Fahrur Roziq, Revido qais, Moh. Fajar, Angga Refki Saputra | Publikasi, Djumadil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun