Mohon tunggu...
Nurcholis Darmawan
Nurcholis Darmawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis, Filmmaker, Pegiat Seni dan Literasi

Nurcholis Darmawan, aktif menulis dan berjejaring dalam giat-giat literasi melalui Nemu Buku Palu, aktifitas lainnya dengan mengajar adik-adik Sikola Pomore (Sekolah Alam Berbasis Pengetahuan Lokal) di Kabupaten Donggala dan Kota Palu, terlibat sebagai sutradara dalam film dokumenter Hidup Dengan Bencana, "Timbul Tenggelam" produksi In-docs dan Sinekoci berkolaborasi dengan Sikola Pomore, saat ini rutin juga menulis sebagai jurnalis untuk topik-topik kebudayaan daerah melalui Yayasan Tadulakota.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Sakaya Dalam Gelombang Arus Balik

8 Oktober 2023   13:01 Diperbarui: 9 Oktober 2023   03:01 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Dokumentasi Pribadi Penulis: Kalamba, Lembah Behoa - Situs Watu Nongko)

(Dokumentasi Pribadi Penulis: Kalamba, Lembah Behoa - Situs Watu Nongko)
(Dokumentasi Pribadi Penulis: Kalamba, Lembah Behoa - Situs Watu Nongko)

Ada impresi serta pengalaman menonton yang sangat intim, setidaknya itu yang bisa saya rasakan. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benak saya tadi, perlahan menemukan benang merahnya; yakni antara kita yang hidup sekarang dengan leluhur yang hidup di masa lampau ternyata memiliki pengalaman yang berbeda atas ruang. Bencana geologis seperti gempa bumi besar pada masa lalu kemudian menyebabkan permukaan tanah di dasar laut terangkat, atau mengering, linear dengan beberapa versi dari arti penamaan Lembah Palu, bermuasal dari kata (To' Palu'e) yang bermakna - tanah yang terangkat, lalu kemudian berkembang menjadi tempat sebuah peradaban bahari yang tumbuh pesat akibat transformasi dari waktu ke waktu hingga akhirnya menjadi sebuah ibu kota di mana kami sekarang banyak bermukim.

Dugaan itu dapat dibuktikan dengan banyaknya penemuan fosil moluska bawah laut yang telah membatu, jenis batu-batu karang, bahkan terdapat jenis vegetasi semacam tumbuhan bakau yang harusnya tumbuh di daerah pesisir, namun justru ditemukan di sebuah wilayah yang sangat jauh dari bibir pantai, tepatnya di Desa Bangga, Kabupaten Sigi, sekitar 51,9 km ke arah selatan kota Palu.  

Lalu coba bayangkan lebih jauh, "sebenarnya ada di mana letak pantai pada masa itu?", apalagi jika waktu kita tarik mundur lebih jauh lagi ke belakang. Sejurus dengan lokasi tinggalan megalitik yang jaraknya masih lebih pelosok lagi - wilayah dataran tinggi. Sebagaimana muasal istilah dari arti Kaili sendiri yang juga diambil dari istilah "noili" (mengalir), serta perjalanan panjang migrasi masyarakat suku Kaili yang pada mulanya bermukim di wilayah dataran tinggi, turun menuju lembah hingga mencapai pesisir. Selayaknya air yang mengalir dari tempat yang tinggi menuju ke tempat yang lebih rendah.

Sekali lagi, jika Sakaya dan Kalamba diibaratkan sebagai perahu yang menjadi penghubung antara dunia manusia dan alam gaib, maka Kalamba sendiri saya bayangkan sebagai perahu yang maju mengikuti arus menuju dimensi arwah, sementara Sakaya malah sebaliknya, para arwah-arwah leluhur tersebut saya imajinasikan seolah tengah menumpangi perahu (mediator) dalam gelombang arus balik - melintasi alam baka dalam upaya mencapai dimensi manusia. 

Selanjutnya, dalam kosmologi maupun aspek spiritual suku Kaili, sebelum datangnya agama-agama besar, mereka mempercayai bawasanya entitas Tuhan bersemayam di beberapa tempat; Tanah, Langit, Sungai, dan Laut. Sehingga keempat elemen tersebut kemudian menjadi lokasi yang amat disakralkan.

 

(Dokumentasi Akun Instagram @onqibengga, Ritual Balia - Desa Sindue, Kab. Donggala)
(Dokumentasi Akun Instagram @onqibengga, Ritual Balia - Desa Sindue, Kab. Donggala)

Dalam sebuah ritual tradisional yang berfungsi sebagai metode penyembuhan (non medis), orang Kaili menyebutnya sebagai ritual Balia, salah satu bagian krusial dari metode penyembuhan ini adalah ketika orang-orang yang mengikuti kegiatan ini kemudian dirasuki oleh roh-roh leluhur, dalam kondisi trans mereka akan menari-menari sesuai karakter dan tokoh yang merasuki mereka, lantas setelahnya mereka kemudian menginjak-injakkan kakinya ke bara api yang sedang menyala sembari diiringi oleh tabuhan gimba (gendang khas Kaili) dan instrumen musik lainnya. Dipercaya metode penyembuhan tradisional ini dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, baik medis maupun non medis dan orang-orang yang menjadi partisipan sebagai mediator bagi roh leluhur tersebut, kemudian akrab disebut sebagai Sakaya.

(Dokumentasi Akun Instagram @onqibengga, Ritual Balia - Desa Sindue, Kab. Donggala)
(Dokumentasi Akun Instagram @onqibengga, Ritual Balia - Desa Sindue, Kab. Donggala)

Dari segi folklore atau cerita rakyat, potongan beberapa versi yang sangat fenomenal menyangkut Sakaya mempunyai kaitan erat dengan kedatangan tokoh legendaris - Sawerigading, seorang putra raja yang berasal dari kerajaan Luwu purba, Sulawesi Selatan, yang berlayar bersama perahunya, singgahnya Sawerigading di tanah Kaili, juga termaktub di dalam kitab Sureq I Lagaligo, dikisahkan ia berlabuh di sebuah desa bernama Bangga, Kabupaten Sigi. Dan anjingnya bernama La Bolong terlibat dalam perkelahian  dengan seekor belut raksasa bernama Lindu, dari pertarungan keduanya kemudian menyebabkan terjadinya sebuah bencana besar (gempa bumi), cerita rakyat yang dituturkan secara turun temurun tersebut juga seringkali dikait-kaitkan dengan asal muasal terbentuknya danau Lindu, sungai Palu, hingga Lembah Palu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun