Fragmen 1
“Secara gramatikal Kaili, “Tadu” artinya tumit atau pijakan. Sementara “Lako” bermakna pelaku atau langkah. Maka secara lengkap “Tadulako” kemudian dimaknai sebagai langkah kaki seorang pemimpin. Oleh karena itu, masyarakat sudah semestinya mengikuti setiap langkah dan aturan yang ditentukan oleh pemimpinnya...”
Gelaran Karya Komunitas Seni Tadulako yang berlangsung di Auditorium Universitas Tadulako pada Sabtu, 12 Agustus 2023, melalui besutan sutradara Edi Subianto yang kemudian berhasil membawa penonton untuk tenggelam ke dalam suasana gamang sekaligus magis. Dengan representasi teater tubuh dan gerak yang secara komposisi keaktoran banyak diperankan oleh orang-orang muda, naskah bertajuk “Tadulako Neolitikum Voice” tersebut ketika diterjemahkan secara harfiah sebagai “Suara Tadulako Periode Batu Muda”, tentu tidak serta dapat terburu-buru disimpulkan begitu saja, minimal silahkan bayangkan dirimu terlempar jauh menuju ruang dan waktu yang amat terasing dari kehidupan modern yang serba praktis seperti yang terjadi saat ini.
Fragmen 2
(Neolitikum)
Kemudian imajinasikan dirimu secara eksistensial hidup se-zaman dengan moyangmu pada periode awal Homo Sapiens, sebagai pelopor terjadinya revolusi kebudayaan manusia beserta lakuan-lakuan khas budaya agrarisnya, meskipun masih dalam level yang sederhana; sebuah peralihan kebiasaan paling mendasar, yakni ketika manusia yang masih dalam tahap meramu (food gathering) lalu kemudian beralih menuju (food producing) atau masa di mana mereka telah mampu memproduksi bahan makanannya sendiri.
Berdasarkan studi dalam berbagai literatur ilmiah, periode neolitikum dapat diidentifikasi melalui penggunaan alat-alat yang berfungsi dalam membantu manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya; pada umumnya, material dari berbagai alat manusia, seperti tombak, tungku, dan semcamnya pada zaman itu masih terbuat dari bebatuan yang telah dihaluskan. Sementara dari segi penggunaan pakaian, mereka mengenakan kain kulit kayu dalam melakukan aktivitas keseharian. Lalu pada ciri sosiologis, dapat ditandai melalui kehidupan masyarakatnya yang mulai mengembangkan budaya gotong-royong, membuat aturan hidup bersama, serta memiliki kepercayaan terhadap arwah-arwah.
Membayangkan saja memang butuh bekal referensi yang cukup, selain itu dalam setiap karya seni terdapat pendekatan yang sangat beragam untuk menginterpretasikannya, sehingga riskan untuk menarik sebuah kesimpulan sebelum terlebih dahulu mencermati dengan detail setiap simbolisme yang coba ditawarkan oleh penyaji kepada para penonton. Demi menghindari penafsiran secara tunggal, hadirnya tulisan ini tidak bertendesi untuk menganulir penafsiran penonton lain dalam menikmati sebuah karya seni berdasarkan pengalaman dan imajinasi yang tentu bisa terasa berbeda antara satu individu, dengan individu yang lainnya.