Mohon tunggu...
Nurcholis Darmawan
Nurcholis Darmawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis, Filmmaker, Pegiat Seni dan Literasi

Nurcholis Darmawan, aktif menulis dan berjejaring dalam giat-giat literasi melalui Nemu Buku Palu, aktifitas lainnya dengan mengajar adik-adik Sikola Pomore (Sekolah Alam Berbasis Pengetahuan Lokal) di Kabupaten Donggala dan Kota Palu, terlibat sebagai sutradara dalam film dokumenter Hidup Dengan Bencana, "Timbul Tenggelam" produksi In-docs dan Sinekoci berkolaborasi dengan Sikola Pomore, saat ini rutin juga menulis sebagai jurnalis untuk topik-topik kebudayaan daerah melalui Yayasan Tadulakota.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Seni Menjahit Fragmen-Fragmen Tadulako

15 September 2023   20:39 Diperbarui: 15 September 2023   20:46 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi zaman neolitikum (libcom)

 

Sebagaimana kata “Tadu” dan “Lako” yang bermakna langkah kaki, melalui pertunjukkan tersebut, terlihat pula para aktor yang menghentak-hentakkan kakinya ke lantai, gerak ketubuhan yang berupaya untuk meresonansikan suara langkah seorang pemimpin yang dirindukan banyak orang, pemimpin yang tegas, adil, dan mengayomi. Kerinduan itu pula yang kemudian diartikulasikan lagi menjadi sebuah syair kepemimpinan. Oleh Komunitas Seni Tadulako, syair itu terus ditradisikan dalam berbagai berbagai peristiwa kebudayaan, seperti pentas-pentas, festival seni, dan pertunjukkan.

Sementara dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Sulawesi Tengah sangat lekat dengan budaya tutur atau tradisi lisan, beberapa bentuk produk budaya yang berkembang diantaranya; Gane, Ndate, Dadendate, Kayori, dan Vaino. Mereka juga sering melantunkan nyanyian-nyanyian sembari duduk-duduk santai di rumah, sawah, atau bersama keluarga, kerabat, dan tetangga bahkan di dalam upacara keadatan atau ritus. Syair kepemipinan yang termaktub di atas merupakan bagian dari ekspresi kerinduan mereka terhadap sosok Tadulako yang pernah mereka dengar dari cerita-cerita leluhur pada masa lampau.

Dalam pertunjukannya, syair kepemimpinan ini dilantunkan dengan diiringi Gimba (gendang), kacapi, dan lalove (seruling panjang Kaili), yang dimainkan oleh topo lalove dan topo kacapi dengan merdu atau dalam alunan yang terdengar menyayat. Bagi mereka yang memahami arti serta menyukai musik tradisi, suasana sakral dan spiritual secara organik dapat dengan mudah terasa. Iramanya beragam, dari yang semula pelan hingga berangsur rancak sesuai ritmenya. Semua itu memiliki simbol tersendiri sehubungan dengan pola kepemimpinan yang ingin disuarakan oleh sosok Tadulako.

Syair kepemimpinan yang dilantunkan dari dataran tinggi, lembah, hingga ke pesisir menjadi simbol bahwa sosok Tadulako memiliki kepekaan dan mau turun ke bawah menemui dan menanyakan kesulitan rakyatnya. Tadulako juga mengayomi rakyatnya yang majemuk dengan disimbolkan oleh beragam alunan musik. Tadulako juga pemimpin yang tegas, keras, serius, dan kuat pendirian dengan disimbolkan oleh teriakan-teriakan para topo (pemain) dan suara gimba yang rancak itu, keras dan menghentak. Meski demikian, Tadulako juga haruslah tetap rendah hati yang disimbolkan oleh suara-suara alunan lalove yang lembut.

Menurut cerita rakyat suku Kaili, dahulu syair-syair kepemimpinan ini dilantunkan dengan vokal raego, sebuah seni tradisi yang disuarakan dari atas dataran tinggi menuju lembah hingga ke pesisir, sambil diselingi teriakan-teriakan yang khas. Teriakan itu bertujuan untuk memanggil saudara-saudara mereka untuk berkumpul, bernyanyi dan menari bersama, salah satunya untuk mengagungkan pemimpin mereka. Ketika bangsa ini masih mengalami krisis kepemimpinan, maka tidak ada salahnya jika kita kembali belajar mengenai kepemimpinan tradisional Kaili; Tadulako.

Fragmen 6

(Dokumentasi Gelar Karya Komunitas Seni Tadulako 2023)
(Dokumentasi Gelar Karya Komunitas Seni Tadulako 2023)

(Vunja)

Seperti yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, gelaran ini lekat dengan nuansa kebudayaan agraris atau pertanian, hal itu tercermin melalui kehadiran Vunja yang ditempatkan di tengah, dikelilingi oleh para penonton. Berkaitan dengan kebudayaan masyarakat Lore, Napu, dan Bada yang juga merupakan bagian dari rumpun bangsa Austronesia yang bermukim di dataran tinggi, lokasi dimana sebuah permulaan dari kebudayaan agraris itu berkembang.  

Masyarakat di daerah tersebut memiliki dua nilai pokok yang sampai sekarang masih dipegang teguh, yakni Hintuvua dan Katuvua. Hintuvua merupakan nilai-nilai moral dalam membangun relasi antar sesama manusia dengan berlandaskan cinta kasih, penghargaan, solidaritas, dan musyawarah. Sedangkan, Katuvua adalah nilai-nilai ideal tentang pola hubungan antara manusia dengan lingkungannya yang didasari pada keselarasan pola hidup manusia dengan alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun