Mohon tunggu...
Gulardi Nurbintoro
Gulardi Nurbintoro Mohon Tunggu... -

law school graduate in a state of law

Selanjutnya

Tutup

Catatan

"Penyelamatan" Mahkamah Konstitusi Harus Tetap Sesuai Hukum

6 Oktober 2013   13:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:55 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_283476" align="aligncenter" width="300" caption="Picture Courtesy of Risman Yansen"][/caption] Tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia oleh Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan salah satu episode kelam dari rangkaian cerita buruk peradilan di Indonesia. Terkejut, tidak percaya, kecewa, sedih, adalah hal yang dirasakan oleh masyarakat yang menaruh harapan begitu besar pada Mahkamah Konstitusi. Lembaga peradilan yang dibentuk sebagai hasil amandemen Undang-Undang Dasar 1945 ini berhasil mendapatkan kepercayaan publik yang tinggi jika dibandingkan dengan peradilan lain di Indonesia. Bebas korupsi, transparan, dan diisi oleh hakim-hakim yang kredibel, itulah sebagian dari persepsi masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi. Namun, semua itu hancur seketika seiring ditangkapnya Akil Mochtar oleh KPK beberapa hari yang lalu. Bangsa ini (untuk kesekian kali-nya) geger! Geger Maning…Geger Maning… Disusul kemudian dengan berbagai opini dan wacana “penyelamatan” MK, mulai dari pemberian hukuman mati bagi Ketua MK, meminta para Hakim Konstitusi mundur dari jabatannya, hingga yang ekstrem yakni pembubaran MK. Diantara seluruh wacana penyelamatan yang masih dalam tataran wajar adalah mengenai pengawasan eksternal bagi Hakim Konstitusi. Penerbitan Perppu Sebagaimana diberitakan, Presiden telah mengundang pimpinan lembaga negara untuk membahas langkah-langkah “penyelamatan” dimaksud. Presiden menyampaikan akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang akan memberikan wewenang kepada Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan terhadap Hakim Konstitusi. Selain itu Presiden berharap agar Perppu tersebut tidak di-judicial review. Tentu upaya Presiden untuk turut membenahi permasalahan ini patut diapresiasi, namun menarik pula untuk menilai dari sudut pandang hukum mengenai penerbitan Perppu ini kelak, sebagai berikut: 1. Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 memberikan wewenang bagi Presiden untuk menerbitkan Perppu dalam “hal ihwal kegentingan yang memaksa”. Apakah Perppu Pengawasan Komisi Yudisial memenuhi syarat tersebut? Bisa diperdebatkan. 2. Putusan MK Tahun 2006 : Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 005/PUU-IV/2006 tahun 2006 telah memutuskan bahwa pengawasan terhadap Hakim Konstitusi oleh Komisi Yudisial bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Putusan tersebut mengakibatkan Komisi Yudisial tidak berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap hakim-hakim MK. Sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Dasar, putusan MK adalah final, dan tentunya mengikat. Dengan demikian,  penerbitan Perppu yang memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial akan tetap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 mengingat Putusan MK tahun 2006 tetap berlaku selama tidak ada putusan MK lain yang menyatakan sebaliknya. Akan menimbulkan preseden buruk bagi perkembangan hukum di Indonesia apabila diterbitkan suatu UU/Perppu yang substansinya telah dinyatakan bertentangan dengan UUD. Menurut saya, adalah tidak tepat jika putusan MK dianggap hanya menganulir suatu Undang-Undang, lalu kemudian dapat “diakali” dengan menerbitkan Undang-Undang baru yg isinya sama dengan Undang-Undang sebelumnya dan UU baru tersebut dianggap konstitusional semata-mata hanya karena tidak diajukan judicial review terhadap UU baru tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. Bayangkan jika seluruh peraturan yang telah dicabut oleh MK kemudian diterbitkan ulang dalam UU baru. Artinya semua putusan MK, proses peradilan dan yang terkait dengannya, menjadi sia-sia belaka. Mahkamah Konstitusi menjadi tidak berarti sama sekali. Solusi Jalan keluar yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah kewenangan Komisi Yudisial menurut saya ada dua, yaitu: 1. Amandemen UUD 1945, yakni dengan menyisipkan ayat baru di Pasal 24C yang dengan tegas memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim konstitusi. 2. Jika ingin Perppu tetap diterbitkan, dijadikan Undang-Undang, maka harus segera kembali di-judicial review oleh Mahkamah Konstitusi ( berbeda dengan pandangan Presiden agar tidak di-judicial review). Lalu Mahkamah Konstitusi kali ini diharapkan dapat menyatakan bahwa pengawasan hakim konstitusi oleh Komisi Yudisial tidak bertentangan dengan UUD. Dengan demikian maka MK juga dapat turut berperan dalam “penyelamatan” dirinya sendiri. Sebagai kesimpulan, tentunya kita semua berharap agar perbaikan terhadap penegakan hukum dapat berlangsung dengan baik. Meskipun demikian, upaya perbaikan tersebut tetap harus sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku. Jangan sampai karena terlalu menggebu-gebu atau impulsif, niat untuk memperbaiki kesalahan justru dilakukan dengan cara yang salah pula. Jangan pernah lupa bahwa Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan Indonesia adalah Negara hukum. Salam, Charlottesville, Oktober 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun