Mohon tunggu...
Nurbing Asselayari
Nurbing Asselayari Mohon Tunggu... profesional -

PEN NAME, Osella. UNIVERSITY, Universitas Negeri Makassar. HOMETOWN, Benteng Selayar. BLOG, nurbingasselayari.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tragedi Demi Tragedi

1 Desember 2013   20:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:26 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Di tengah langit yang galau. Ketika awan mulai menutup. Sebuah panggilan menginginkan aku bergabung dalam diskusi bersama Kapolres, Kementerian P dan K, serta Wakil Bupati sore ini.

Diskusi itu tentang Perlindungan Anak. Inilah pertemuan yang paling kutunggu, karena masih terasa kejadian kemarin, kekerasan di sekolah yang dilakonkan seorang guru.

Kapolres Selayar hanya menyinggung berbagai kecelakaan yang menimpa anak-anak (sebelum berumur 18 tahun masih dikelompokkan sebagai anak-anak). Wakil Bupati memperluasnya, dan mempersilahkan peserta bertanya, mengkritik, dan mendebatnya.

Seorang peserta dari SMAN 1 Bontomatene bertanya sambil memaparkan pendapatnya. Siswi itu berhasil menjadi bintang sejenak ketika peserta lain memuji dan bertepuk tangan berkali-kali. Siswi ini sebagaimana yang lain masih terbawa pada arus yang dilakonkan oleh guru-guru dan orangtua mereka, bahwa memukul untuk mendidik perlu dilakukan.

Wakil Bupati juga masih mengeliminir pemukulan sebagai metode mendidik anak sebagaimana kata Nabi bahwa kalau anak tidak shalat sampai umur 9 tahun harus dipukul.

Pemukulan yang dimaksud adalah terhadap anak yang tidak shalat dalam keluarga, bukan anak orang lain, dan bukan dalam lingkungan sekolah. Pukulan dalam tafsiran lain adalah jalan terakhir yang tidak menyakiti, tidak berbahaya atau bukan di daerah sensitif seperti wajah, punggung, dan kepala. Keabsahan hadits itu perlu dipertanyakan, karena tidak didukung oleh Kitab Suci dan teladan (perilaku Nabi).

Pemukulan anak secara meluas dipopulerkan pada masa Dinasti Umayyah, yang dipraktekkan dalam lembaga pendidikan. Dinasti paling despotik dalam sejarah Islam ini malah mengutus tentara membunuh Asghar Ali (cucu Nabi) dan anak-anak lainnya serta menyiksa wanita pengikut Husein. Para tentara itu adalah hasil didikan kekerasan, yang membantai keluarga Nabinya sendiri.

Keluarga Nabi tidak pernah menerapkan metode mendidik seperti itu dalam keluarga mereka, apalagi dalam majelis ilmu (sekolah). Keturunan Nabi yang dididik dengan lembut dan keteladanan ini menghadapi banyak persoalan yang membuat mereka tampil sebagai Maha Bintang atau pemimpin-pemimpin dunia. Para pemimpin ini adalah hasil didikan keluarga Nabi, yang selalu menjadi teladan karena cintanya terhadap sesama.

Perjalanan hidup berliku namun indah yang melahirkan kepedulian dalam keluarga yang tidak memanja (melatih kedisiplinan tanpa kekerasan) memberi bukti yang tak terbantahkan. Itulah jejak para Nabi. Nabi Nuh pun membiarkan anaknya yang membangkang pergi bersama para pembangkang lainnya. Nabi Luth tidak menghajar para warga yang memamerkan amoralisasi, termasuk istrinya yang terlibat.

Ketegasan yang dibutuhkan. Memanjakan (menuruti semua keinginan anak) bukan jalan pendidikan. Anak memerlukan tantangan untuk membuat mereka kuat secara mental, tabah dan peduli, tetapi bukan kekerasan. Kekerasan akan mewariskan kekerasan pula. Kekerasan haram diwariskan.

Pendidikan dengan metode kekerasan (pukulan, pemaksaan, pelecehan) pasti melahirkan generasi-generasi penjajah, pembantai, dan teroris.

Siswa-siswi dimanapun memiliki kekuatan karena keberadaan mereka telah diagungkan oleh peraturan yang telah disepakati di seluruh pelosok negeri (dunia).

Dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang UU Perlindungan Anak pasal 54 menyebutkan: “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya”.

Kekerasan adalah jalan pintas yang sangat kejam yang diperankan oleh orang-orang yang tidak memahami hakikat pendidikan. Jalan yang diperluas oleh orang-orang yang berpikiran pendek (tidak kreatif) yang lebih menyukai pemaksaan.

Saatnya kita me-reinventing sistem pendidikan kita, cara kita mendidik di sekolah.

Langkah tersebut tidak hanya menjadi kewajiban di era kini yang semakin menuntut tegaknya tatanan kemanusiaan, tetapi lebih luas dari itu, kita berada dalam satu jaringan yang menyatu sehingga perlindungan terhadap anak sekolah menjadi sangat signifikan.

Pesona Regency, 27 November 2013.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun