Mari kita ambil buku dan pena kita. Itu adalah senjata kita yang paling kuat. Satu anak, satu guru, satu pena dan satu buku bisa mengubah dunia. Pendidikan adalah satu-satunya solusi. (Malala).
Menulis merupakan kegiatan paling dahsyat, yang menggiring seluruh potensi manusia untuk menemukan eksistensi dirinya sebagai kekuatan tak tertandingi (ciptaan Tuhan paling mulia). Seorang penulis sejati (bukan sekedar menulis) mengajak pikiran dan emosinya menelusuri tiga mata rantai terpenting, yakni: Tuhan, manusia, dan alam. Goresan tangan si penulis membuka jalan-jalan inspiratif menuju kehidupan yang damai dan kesadaran total sebagai ciptaan paling sempurna di jagad ini.
Seni Kehidupan
Ambil sebuah buku kosong, lalu duduklah di pinggir jalan. Tulislah apa yang kamu lihat! Lain waktu duduklah di atas karang, pandangi lautan yang bersentuhan dengan langit biru kelam dan perbukitan hijau tropis. Tulislah apa yang kamu rasakan! Jangan lupa nikmati dendang burung dan petikan yang mengalir bersama air Grogojan Sewu pada saat engkau berada di tempat itu. Tulislah apa yang kamu dengar!
Di tempat-tempat itu ada ribuan gagasan yang tak tertampung dalam buku yang kita pegang. Seluruh rangkaian yang ada, yang dilihat, dirasakan, didengar, dan dialami hanya sanggup tersimpan dalam otak para penulis. Otak penulis adalah buku paling luas yang pernah ada, sebab hanya para penulis yang sanggup membumikan seluruh dimensi itu dalam karya nyata. Itulah sebabnya setiap orang meyakini kekuatan pengaruh para penulis.
Semua yang ditulis Sang Penulis telah ada di depan kita. Sebagai titisan Sang Penulis manusia harus belajar untuk menuliskan kembali tulisan-tulisan itu dalam bahasa yang mudah dipahami, dalam bahasa manusia.
Tulisan yang mencerahkan bahkan menjadi pelita yang membimbing manusia merasakan penyatuan diri dengan Sang Pencipta dan seluruh ciptaan-Nya. Persfektif ini menyebarkan orisinalitas gagasan emas yang menyatakan bahwa menulis merupakan jalan spiritual meraih penyatuan dengan Sang Penulis. Jika membaca menjadi kewajiban spiritual manusia, maka pertanyaan yang menggugah hadir bersamaan dengan perintah wajib itu, yakni: apa yang harus kita baca? Jawabannya adalah yang tertulis.
Dengan demikian, predikat penulis lebih utama ketimbang menjadi pembaca saja. Hal ini telah dinisbahkan pada berbagai literatur klasik bahwa tinta para penulis lebih utama daripada senjata dalam mengubah dunia.
Menulis merupakan sebuah jalan seni paling indah yang bisa dinikmati siapapun yang menginginkan jalan itu. Menulis bukan persoalan bakat, tetapi persoalan kemauan dan kebiasaan. Para filosof terabadikan namanya melalui tulisan yang dibuat oleh mereka atau orang lain, yang meyakini bahwa menulis merupakan jalan lempang meraih keabadian. Sebuah statement yang mencerahkan mematri kita memasuki jalan seni itu yang ditulis di China ribuan tahun lalu, bahwa dalam buku ada istana emas dan ribuan lonceng.
Seni Hidup Damai
Ideologi primitif, sebelum tulisan dikenal luas, menjadikan kekerasan sebagai jalan merubah tatanan. Kekerasan masih menjamah berbagai peradaban sepanjang kehidupan manusia. Hal itu disebabkan, menurut penulis, akibat tidak dihargainya tradisi tulis-menulis. Para aggresor bukan penulis, karena para penulis melawan sistem lewat tulisan. Para agresor membakar buku-buku, para penulis menghargainya meskipun gagasan dalam buku itu tidak sehati dengan hatinya.
Ideologi primitif ini ternyata masih bertahan hingga kini, bahkan memasuki dunia sekolah. Sekolah merupakan institusi pendidikan yang seharusnya membudayakan tradisi emas itu untuk membimbing peserta didik menghargai perbedaan. Tetapi kini yang tampak adalah kejadian-kejadian yang melukai pendidikan. Konsep karakter pun dihadirkan untuk memulai dari awal lagi. Dalam konsep itu ada esensi yang ditanamkan berupa pikiran ilmiah. Hal ini sebuah tanda bahwa selama ini dunia pendidikan nasional tidak mendidik secara ilmiah.
Berpikir ilmiah tidak selamanya mengarahkan manusia kepada tingkat kesadaran universal, karena keilmiahan terbukti menggiring David Hume menyerukan membakar buku-buku sastra (baca: Dunia Sophie, Jostein Gaarder halaman 290, terbitan Mizan). Pandangan sinis itu juga diyakini banyak orang. Dewasa ini keyakinan salah kaprah itu juga masih mewarnai dunia pendidikan. Seorang rekan penulis pernah mengatakan bahwa ayahnya melarang dia membeli buku-buku yang tidak berhubungan dengan kuliahnya. Beberapa siswa yang ada di sekolah tempat penulis mengajar juga pernah melaporkan bahwa ada beberapa guru tidak mengizinkan mereka membaca novel di asrama.
Fakta yang menunjukkan ketidakpedulian sekolah pada tulis-menulis adalah tidak adanya komunitas penulis di sekolah. Padahal organisasi semacam itu sangat dibutuhkan untuk menjadikan setiap siswa bisa menulis dengan baik. Perbedaaan antara orang terdidik dan yang tidak terdidik adalah kemampuan mereka menuliskan gagasan.
Tradisi bijak berupa toleransi dapat berkembang lewat kemampuan manusia berpikir mendalam atas perbedaan yang ada, yang terpampang nyata di hadapan kita. Kemampuan itu hanya bisa diciptakan oleh otak yang terlatih. Pelatihan otak terbaik adalah melalui kebiasaan menulis. Sementara pelatihan otak yang membangkitkan kepedulian diciptakan lewat kebiasaan menulis karya sastra.
Menulis adalah jalan mencerahkan untuk mengabadikan nama kita di bumi yang fana ini. Nama setiap penulis terekam dalam jiwa-jiwa yang jumlahnya tak terhitung pada setiap peradaban. Mereka, penulis-penulis hebat itu, seperti bintang yang tidak akan pernah mati bahkan sampai alam ini hancur. Jika ingin menjadi bintang (rasi), mulailah mencerahkan dunia bersama Rasibook http://www.rasibook.com/p/tentang-kami.html, penerbit berbintang.
Osella,
The Writer in Dark Sky
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H