"Kita tidak bisa memilih orang tua kita seperti apa, tetapi kita bisa memilih untuk menjadi orang tua seperti apa."
Semua orang tua tidak ada yang sempurna. Setiap orang tua mempunyai kekurangan masing-masing. Tidak ada orang tua yang bisa selalu menahan emosinya setiap waktu, terkadang mereka juga tidak bisa menahan emosi dan melampiaskannya dengan memarahi anak mereka. Hal tersebut tidak menandakan mereka menjadi "toxic parent" karena itu merupakan suatu hal yang wajar.Â
Akan tetapi, ada orang tua yang selalu memberi efek dan kebiasaan negatif pada anaknya, orang tua yang tidak memperlakukan mereka sebagai individu, orang tua yang tidak mampu untuk meminta maaf jika dirinya salah. hal-hal tersebut bisa menandakan mereka menjadi "toxic parent". tidak jarang dari anak-anak yang memiliki orang tua seperti itu mengalami trauma.Â
- Bagaimana perilaku pola asuh toxic parent?Â
Menurut Darlene (2018), ada beberapa pertanyaan yang bisa kita tanyakan pada diri sendiri tentang perilaku orang tua kita. Berikut adalah pertanyaannya : Apakah mereka cenderung bereaksi berlebihan atau membuat keributan? Apakah mereka menggunakan pemerasan emosional? Apakah mereka membuat permintaan yang sering atau tidak masuk akal? Apakah mereka mencoba mengendalikan Anda? Apakah mereka mengkritik atau membandingkan Anda? Apakah mereka memanipulasi, menggunakan rasa bersalah, atau mempermainkan korban? Apakah mereka menyalahkan atau menyerang Anda? Apakah mereka menghormati batasan fisik dan emosional Anda? Apakah mereka mengabaikan perasaan dan kebutuhan Anda? Apakah mereka iri atau bersaing dengan Anda? Jika perilaku tersebut terjadi terus menerus, orang tua seperti itu bisa dianggap sebagai toxic parents.
Menurut Deka (2020), memiliki ekspektasi yang berlebihan terhadap anak merupakan bentuk dari perilaku pola asuh toxic parent. Selain itu, orang tua yang memiliki sifat egois, kurang empati, dan suka mengatur juga merupakan bentuk dari perilaku pola asuh toxic parent.Â
Orang tua terkadang mematahkan semangat anak terhadap impiannya dan mengarahkan anak pada impian yang mereka inginkan. Orang tua juga mengatur semua kegiatan anak tanpa mengajak anak untuk melakukan kompromi, dan akhirnya membuat anak menjadi terkekang.Â
Orang tua yang mengumbar keburukan anak juga merupakan bentuk dari perilaku pola asuh toxic parent. Selain itu, orang tua yang selalu menyalahkan anak, tidak menghargai usahanya, dan mengungkit kesalahan anak  juga merupakan bentuk dari perilaku pola asuh toxic parent.Â
Bagaimana agar kita terhindar dari perilaku pola asuh toxic parents?
Komunikasi keluarga yang baik bisa mengatasi toxic parents. Â Komunikasi antara orang tua dan anak harus dibangun sedini mungkin. Komunikasi tidak hanya percakapan antara orang tua dan anak, tetapi juga perbuatan, seperti sentuhan, perhatian, kata-kata semangat, dan perbuatan positif lainnya. Perbuatan tersebut merupakan bentuk komunikasi secara tidak langsung.Â
Semua aturan yang dibuat orang tua harus dibicarakan dan disepakati bersama anak mereka. Orang tua juga harus bisa konsisten terhadap semua aturan tersebut. Jika kesepakatannya tidak boleh, orang tua pun tidak boleh melakukannya. Â Â
Menurut Putu Adi (2020), komunikasi yang berkualitas pada anak akan membuat mereka mampu mengenal dan membedakan benar salah, memudahkan dalam mengetahui akar persoalan, serta memberikan kepentingan yang terbaik untuk anak. Dengan begitu orang juga akan terhindar dari perilaku toxic parents.
Refrensi Â
Forward, S. (2009). Toxic parents: Overcoming their hurtful legacy and reclaiming your life. Bantam.
Lancer, D. (2018). 12 Clues a Relationship with a Parent is Toxic. Diakses pada 14 Desember 2020, https://www.psychologytoday.com/us/blog/toxic-relationships/201808/12-clues-relationship-parent-is-toxic
Noverma, D. (2020). Waspada ! Toxic Parent Bisa Berdampak Buruk pada Anak. Diakses pada 14 Desember 2020, https://mamapapa.id/waspada-toxic-parent/
Saskara, I. P. A., & Ulio, S. M. (2020). PERAN KOMUNIKASI KELUARGA DALAM MENGATASI "TOXIC PARENTS" BAGI KESEHATAN MENTAL ANAK. PRATAMA WIDYA: JURNAL PENDIDIKAN ANAK USIA DINI, 5(2), 125-134.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H