Mohon tunggu...
Nuraziz Widayanto
Nuraziz Widayanto Mohon Tunggu... lainnya -

belajar menulis apa saja sambil minum kopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Daya-daya (11 dari 13)

7 Desember 2011   05:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:43 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senyum dan anggukkan Bu Sri akhirnya terbawa hingga sampai rumah. Artinya ada sebuah afirmasi dalam diriku bahwa tulisan itu adalah hal nyata dan benar-benar terjadi. Aku seperti tak sampai hati untuk menganggap tulisan itu hanya rekaan atau karangan seorang Pramodya Wardhani. Entahlah, dalam diriku seperti menginginkan semua percakapan itu benar-benar ada. Seperti menginginkan klub bola kesayanganku merekrut pemain bintang atau seperti menginginkan seorang Bradd Pitt tak bercerai dengan Jenifer Aniston. Percakapan itu, entahlah, telah membuat berbagai hal dalam diriku jungkir balik. Satu hal yang aku rasakan, bahwa saat bicara dengan seseorang, mereka mengamati dan mungkin lebih jauh punya opini tentang diriku.

Hp-ku berbunyi. Nomor tak dikenal muncul di layar. Aku sedikit ragu untuk mengangkatnya.

“Halo?”
“Dengan mas Johan?”
“Iya saya, siapa nih?”
“Nonik mas, mantan karyawan taman baca, mo nanya, Aku kehilangan diary, tadi saya telpon Bu Sri katanya ada di mas johan”

Aku terdiam, berfikir. Bu Sri mengatakan diary itu sengaja ditinggal barangkali berguna untuk karyawan baru. Aku tak bertanya lebih lanjut karena memang diary itu penuh dengan catatan tentang rumah baca. Dan kali ini Nonik menanyakannya.

“Halo? Mas Johan?”
“Eh iya, ada di saya. Maaf saya baca-baca. Kata bu sri ..”

Aku tak meneruskan bicaraku.

“Iya mas, kata Bu Sri apa?”

Aku bingung, dengan menjawab jujur, aku takut Bu Sri akan mendapatkan masalah, tapi jika tidak aku ungkapkan, ada keganjilan dari pernyataan Bu Sri.

“mmm kata Bu Sri, memang sengaja mbak tinggal untuk dibaca karyawan baru”

Tak ada suara reaksi. Aku memutuskan untuk bicara apa adanya. Rasa penasaran akan keganjilan lebih mengemuka. Sampai beberapa detik tidak ada reaksi dari nonik.

“Oh gitu ya mas. Mmmm bisa ketemu malam ini?”
“Bisa! Dimana?”

Aku langsung mengiyakan. Kepalaku sudah terlanjur penuh dengan pertanyaan.

“Di angkringan belakang rumah baca ya mas”
“Sepuluh menit”
“Kabari saya jika sudah sampai”

Aku segera bergegas. Aku hanya akan bergegas untuk hal-hal yang aku anggap penting. Dan tulisan tentang percakapan itu adalah hal penting terutama tentang Semesta Wisnu. Apa yang diucapkannya dalam tulisan itu adalah apa yang aku ucapkan kala berbincang dengan kekasihku. Dan apa yang diucapkan pramodya wardhani adalah apa yang diucapkan oleh kekasihku yang pergi karena kekecewaan mendalam kepadaku. Dan semua percakapan itu tertuang dalam sebuah diary seorang Pramodya Wardhani. Aku tak kenal siapa dia, kecuali nama yang aku kenal sebagai istri seorang Rakai Pikatan, raja mataram kuno.

Aku sempat menebak-nebak bahwa Pramodya Wardhani adalah nama lain dari kekasihku yang telah pergi tapi segera aku tepis karena memang Pramodya Wardhani adalah orang yang benar-benar ada, setidaknya yang aku baca dari diary-nya.

Aku membiarkan rasa penasaranku memenuhi semua ruang perjalananku sampai ke angkringan di taman satu blok belakang Rumah Baca. Aku mencari-cari Nonik namun segera aku memaki kebodohanku, aku tak pernah melihat wajahnya, juga tidak janjian dengan referensi pakaian yang dia kenakan. Ah, segera aku mengambil Hp-ku namun sebelum dial nomor Nonik, seseorang menepukku dari belakang.

“Mas Johan?”

Aku berbalik dan seorang perempuan dengan wajah oriental, dengan rok panjang warna krem sudah tersenyum.

“Nonik?”

Dia mengangguk. Aku benar, Nonik bukanlah Kekasihku. Sekilas aku ingin bertanya, darimana dia tahu aku namun segera aku tepis karena diary coklat ini aku tenteng, Nonik pasti segera mengenaliku dari diary ini. Tanpa bicara nonik memberiku isyarat untuk mengikutinya. Kami menuju pojok taman yang sudah tergelar tikar. Disana ada seorang laki-laki. Kami bergabung duduk dengannya.

“Kenalkan, ini pacarku, Wisnu”

Aku tersenyum dalam penasaran. Aku segera mengulurkan tanganku yang segera dijabat dengan erat oleh Wisnu. Setelah memesan makanan dan sedikit basa-basi, Nonik langsung bertanya to the point.

“Mana diary-nya mas?”

Aku tidak tidak segera memberikannya. Aku memilih membukanya dulu di bagian cerita tentang theos, baru aku mengulurkannya.

“Maaf aku sudah baca hampir semuanya. Terutama bagian cerita theos aku sudah baca semuanya. Maaf”

Wajah Nonik tampak berkerut saat menerima diary yang terbuka di bagian kisah itu. Dia membaca, tampak heran.

“Bukan aku yang menulis ini Mas”
“Serius?!”

Aku tak bisa menyembunyikan kekagetanku. Tulisan tangan tak mudah untuk ditiru. Dan semua tulisan tangan yang ada dalam diary itu sama, tak ada yang berbeda.

Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun