“Cerita, kisah atau dongeng secara ilmiah disebut naratif. Manusia adalah makhluk yang suka bercerita dan membangun hidupnya berdasarkan cerita yang dipercayainya. Kita menerima cerita dan menyampaikan cerita. Tanpa cerita hidup kita carut marut. Dengan cerita, kita menyusun dan menghimpun pernik-pernik hidup kita yang berserakan. Naratif, kata filsuf jerman dilthey, adalah pengorganisasian hidup (zusammenhang des lebens). Hidup yang tersusun secara naratif adalah bios, yang berbeda dengan sekadar hidup biologis saja, atau zoe. Hannah Arendt, pemikir besar abad kedua puluh, berkata, karakteristik utama kehidupan khas manusia .. ialah selalu penuh dengan peristiwa-peristiwa yang pada akhirnya bisa diungkapkan sebagai cerita … kehidupan seperti inilah, bios, sebagaimana dibedakan dari zoe, yang dimaksud oleh aristoteles sebagai ‘sejenis tindakan, praxis"
Paragraf di atas saya ambil dari kata pengantar Jalaludin Rahmat di buku Karen Amstrong Muhammad sang Nabi. Paragraf ini saya kutipkan ketika dalam inbox saya pagi ini ada beberapa link yang penuh hiruk pikuk tentang fiksi dan non fiksi. fiksi atau bukan fiksi problemnya bukan persoalan benar salah atau suka tidak suka melainkan sebuah penyampaian gagasan. mungkin jika Jules Verne tidak pernah menulis from earth to the moon, eksplorasi manusia untuk mendarat di bulan tidak pernah ada. banyak sekali fiksi yang sarat dengan gagasan, anda bisa menyimak betapa novel Pramudya ananta toer adalah novel yang menjadi bahan rujukan penelitian-penelitian tentang indonesia jaman kolonial. dalam novel pram memang menyajikan berbagai pernik realitas masyarakat jaman kolonial. Anda mungkin bisa mencari bukunya Seno Gumira Ajidarma, ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Buku itu mengetengahkan seorang seno yang harus 'menyembunyikan' fakta-fakta insiden dili ke dalam karyanya 'saksi mata'. Saat itu orde baru memang sangat sensitif terhadap pemberitaan. Buku kumpulan cerpen saksi mata menunjukan bagaimana sebuah fiksi bisa mengungkapkan fakta.
“Documentaries are about real life, but they are not real life. They are not even windows onto real life. They are portraits of real life, using real life as their raw materials, constructed by artist and technician who make myriad decisions about what story to tell to whom and what purpose.”
(Patricia Aufderheide, Documentary Film, A Very Shot Introduction)
saya kutipkan lagi sebuah paragraf, kali ini tentang dokumenter. Dokumenter seringkali dibilang sebagai non fiksi atau menceritakan fakta tapi jika melihat dari sisi produksi, dalam sebuah dokumenter telah terjadi proses-proses seleksi data, editing dan mixing suara, dan semuanya bisa disebut manipulasi. sama halnya dengan menulis, kita menyeleksi data dan tentu, harus sesuai dengan kepentingan kita. Ketika kita melakukan seleksi saat itulah fakta tidak hadir sepenuhnya. selengkapnya mungkin bisa anda baca di sini
Buat saya, mempersoalkan fiksi dan non fiksi seperti mempersoalkan cara kita bernafas. kita menyeleksi udara tapi sekaligus bisa mengurangi atau menambah apa yang kita hirup sesuai kebutuhan. Fakta kita seleksi sesuai kebutuhan untuk menjadi sebuah cerita atau narasi, fiksi atau non fiksi.
Selamat Pagi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H