Menjelang keberangkatanmu senja ini, masih terasa ada perasaan yang sudah terperas setahun ini. Wajah cantikmu masih menyisakan kedipan kepedihan sisa perasan kegembiraan setahun lalu. Kepergian ini tentang jendela-jendela tua yang tidak pernah terkunci dan menyisakan bunyi engsel karatan saksi berbagai perasan perasaan yang menjelma ke dalam rona-rona wajah dengan tatapan kosong dalam bingkai kayu-kayu kusam.
Setiap waktu terutama senja, wajahmu ada di tengah jendela. Kadang banyak kedipan-kedipan atau bahkan tidak berkedip sama sekali. Seribu rona wajahmu, jutaan kedipanmu satu arti, menanti. Terkadang penantian itu berbuah mangga di seberang jendela. Dan wajahmu terkadang mengernyit lucu merasakan manisnya.
Aku hanya rumput tua yang berumur 3 musim sejak hujan berkepanjangan menyegarkanku. Kesegaran yang membuat ujung daunku akhirnya menyentuh jendelamu. Dan wajahmu tak mengindahkanku. Tapi aku masih ingat ujung nafasmu yang menggoyang daunku. Dan dari hembusan nafasmu itu aku tahu, kau sedang menunggu.
Menjelang keberangkatanmu senja ini, akarku sudah terkulai tercabut, masih terasa ada perasaan yang sudah terperas setahun ini. Wajah cantikmu kini putih abu pucat mencari warna merah jingga rona yang hilang. Ujung daunku mulai pucat menjingga mencari hijau yang hilang. Kau menunggu, aku menunggu. Kau pergi, aku pergi. Kau hidup, aku mati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H