“Bu!! jangan! Bangsat!”
Aku berteriak sambil lari menjauh ketika perempuan ini nekat menunjukan isi kresek. Jijik rasanya. Benar saja. Perutku sudah merasa sangat mual. Aku tidak menengok lagi. Aku lari sejadi-jadinya. Ketika aku melihat taksi tanpa pikir panjang aku langsung menghentikannya dan melaju menuju stasiun.
***
“Jenazah mutilasi halte bus akhirnya dikenali. Perempuan paruh baya ini dikenal bernama Sutirah ….”
Berita televisi di warung makan ini membuatku hampir pingsan. Aku baru tiba dari perjalanan 12 jam yang melelahkan. Sebelum sampai rumah aku putuskan untuk minum kopi dan mengisi perut di warung depan stasiun. Dan berita ini membuatku shock. Foto yang terpampang adalah foto perempuan paruh baya yang aku temui kemarin. Kan dia yang memutilasi? Kok dia jadi korban? Lalu kemarin siapa? Bangsat! Aku terus memaki ketika mendapati kepalaku semakin pusing.
***
“Mas! Bajingan! Kamu denger nggak?! Lepaskan! Aku nggak gila mas!”
Aku berteriak sekuatku pada sepupuku. Dia memandangiku dengan pandangan kasihan. Aku sekarang terikat di soko rumah joglo kakek. Aku berusaha sekuatku untuk keluar dari ikatan ini.
“Dia mungkin kesambet roh-roh kuburan.”
“bisa jadi iya. soalnya dia teriak-teriak ndak karuan di pemakaman kemarin. Saya takutnya ndak kesambet mas, saya takutnya dia gila”
Oh Gusti. Benarkah aku sudah gila? Samar-samar aku mendengarkan suara paman bercakap dengan seseorang. Aku memilih diam dan mengingat-ingat apa yang terjadi kemarin. Ya aku melihat Sutirah. Aku histeris. Dan disinilah aku sekarang. Terikat. Gara-gara Sutirah.
(mungkin bersambung)