Sebulan kemudian Win datang dengan membawa sebuah novel tebal. Dia masih cantik seperti biasanya.
“Semuanya ada di situ. Jika kurang tambahi sendiri. Sekarang aku sudah tidak tersiksa lagi dengan hubungan indah kita. “
“Jika kamu tersiksa kenapa kamu tidak bersamaku?”
Win diam. Mata beningnya menatapku lembut namun aku seperti tidak menangkap lagi getar itu. Win mengeluarkan 3 buah foto.
“Ini ayahmu, ini ibuku dan ini foto mereka berdua. Aku berharap ini cukup menjelaskan.”
Aku terdiam. Hanya diam. Semuanya serba mengejutkan.
“Novel itu aku buat biar kita menjadi orang lain. Memang bagi orang akan sama saja. Tapi bagiku itu seperti siluet. Seperti kita tapi bukan kita.”
Win tersenyum dan sekarang aku yang murung. Bagiku akan tetap sama saja. Rasanya juga masih sama. Win tidak sadar, itu tidak akan pernah menyelamatkan masa lalu. Juga tidak akan pernah bisa menghilangkan rasa masa lalu. Sekarang, aku hanya bisa memandangnya lekat-lekat. Mencoba menjadikannya orang lain, walau aku tahu itu tidak akan pernah bisa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H