Mohon tunggu...
Nura Sari
Nura Sari Mohon Tunggu... -

Pengagum novel Lampuki

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mendedah Tahta dan Wanita Tuan Beransyah

28 Juni 2014   21:15 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:23 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul buku      : Burung Terbang di Kelam Malam

Penulis             : Arafat Nur

Penerbit           : PT Bentang Pustaka

Cetakan           : Pertama, Februari 2014

Tebal buku      : xvi + 376 halaman

Oleh: Raras Indah F

DARI judul novel ini kita tidak akan menyangka akan digiring Arafat Nur menuju perjalanan seorang wartawan harian di Aceh bernama Fais yang penuh gejolak, gairah, serta sindiran sosial dan politik. ‘Tak ubah serupa burung yang terbang sendirian di kelam malam. Ke mana pun aku memandang, yang tampak adalah dunia gelap gulita, tidak ada sedikit pun titik terang.’

Meskipun Fais adalah seorang wartawan yang bisa diperhitungkan di kalangan para penguasa Aceh, ia terkenal bersih dari ‘uang saku’ pejabat. Ia menceritakan sisi kelam kehidupan para pekerja berita yang dipandang parasit terhadap para pejabat. Hatinya bertentangan dengan pekerjaan yang digelutinya. Hal ini lantaran ia melihat adanya berbagai ‘sandiwara buruk’ antara pejabat dengan wartawan. Pun dengan pemegang kantor berita tempatnya bekerja.

Di saat para wartawan mengejar Tuan Beransyah untuk sesuap nasi, ia malah ingin menguak kebusukan lelaki tambun itu. Beransyah adalah seorang pedagang emping melinjo yang mencalonkan diri sebagai calon walikota. Isu yang beredar, ia mengoleksi banyak gundik di Aceh, dan ternyata hal itu benar. Fais tidak terima jika kotanya harus dipimpin manusia macam Beransyah. Oleh karena itu, ia tidak segan-segan mendatangi para wanita yang telah dibuang oleh Beransyah itu. Pertemuannya dengan Aida, Haliza, Nana, Rahmah, Saudah, dan beberapa gundik Beransyah lainnya telah memunculkan babak permasalahan tersendiri.

Dari perkenalan dan pertemuan-pertemuan terlarangnya dengan para wanita tersebut, Fais mendapati mirisnya kehidupan beberapa perempuan di Aceh. Kebanyakan perempuan tersebut berasal dari kalangan orang tidak mampu. Karena keterbatasan penghasilan, dengan mudah mereka menerima pinangan Beransyah yang kemudian tanpa daya mau ditinggalkan begitu saja oleh lelaki yang diduga memiliki hubungan dengan sejumlah mafia ganja ini.

Jalan yang dilalui Fais tidaklah terang. Di sela-sela investigasinya terhadap kehidupan Beransyah, ia mengalami jatuh bangun dengan para wanita tersebut. Pun nasib pekerjaannya yang sering terkatung-katung. Klimaksnya terjadi saat artikelnya tentang kebusukan Beransyah dimuat di kantor beritanya. Alhasil, ia menjadi mangsa buruan Beransyah yang dicari-cari. Jika tanpa suatu keajaiban tertentu, ia mengira dirinya dengan mudah telah menjadi mayat yang terbuang di pematang sawah.

Fais adalah tokoh yang bisa menggelitik hati para perempuan tersebut. Bagaimana tidak? Ia lelaki polos nan pendiam yang berkelana begitu saja tanpa arah, bahkan ihwal perempuan. Ia menikmati dosa dan taubat secara kontinu. Namun, dari situlah akhirnya ia mendapatkan makna hidup yang sebenarnya, termasuk cinta sejatinya.

Arafat menuliskan kisah Fais dengan bahasa yang mudah dicerna tapi mampu menggelitik hati pembaca. Sindiran jenakanya sarat dengan kritikan sosial dan politik. Pemenang Sayembara Menulis Novel DKJ 2010 serta peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini menyoroti kehidupan orang-orang di Aceh pasca perang dan tsunami besar di sana, terutama para perempuan yang sebelumnya tidak kita duga itu akan terjadi di bumi ‘Serambi Makkah’. Kelakuan buruk para politikusnya juga bisa merefleksikan kotornya kehidupan para politikus di negeri ini.

Meskipun pemikiran Fais kuat dan tajam, namun ia belum memiliki kekuatan yang lebih ketika berinteraksi dengan Beransyah dan para gundiknya itu. Sebagaimana novel yang ditulis Fais, kiranya Arafat dengan sendirinya telah memaparkan hasil tulisan artikel Fais yang memuat mengenai gelagat buruk Beransyah. Karenanya pula, pembaca dapat menebak sendiri bagaimana bentuk artikel yang ditulis Fais itu tanpa perlu dihadirkan lagi secara khusus.

Novel ini mampu menyampaikan banyak pesan. Kita adalah manusia yang pasti memiliki pertentangan nurani dengan keadaan. Hal ini yang membuat manusia tidak bisa mengelak untuk bersalah dan kembali bertaubat. Namun, dari situlah ia akan lebih matang dalam memijajaki hidup ini. Begitulah sekiranya pesan yang ingin disampaikan oleh Arafat.

Cerita apa saja yang dilontarkan Fais soal buruknya kelakuan politikus di Aceh? Makna hidup apa yang ditemukan Fais setelahnya? Temukan jawabannya di buku ini. Selamat membaca![dikutip dan disesuaikan dari lpmhimmahuii.org]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun