Mohon tunggu...
Nur Arviyanto Himawan
Nur Arviyanto Himawan Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pembelajar

Seorang pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengapa Menjadi Seorang Guru?

25 November 2019   14:10 Diperbarui: 26 November 2019   07:28 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru Mengajar sumber: republika.co.id

Guru, mendengar kata tersebut mengingatkan kita pada kenangan saat bersekolah dulu. Berkat beliau lah anak-anak Indonesia tumbuh menjadi anak yang cerdas. Di Indonesia, profesi guru saat ini memiliki peminat yang cukup banyak. Hal ini terlihat dari tingginya passing grade jurusan kependidikan baik di PTN maupun PTS seluruh Indonesia. 

Bagi sebagian orang, menjadi guru merupakan impian besar dalam hidup mereka. Mereka menganggap menjadi guru merupakan jalan hidup yang mulia. Bahkan mereka berpikir bahwa menjadi seorang guru merupakan sebuah kehormatan yang tinggi. Ya, karena mereka akan "digugu lan ditiru". Pikiran mereka akan menjadi pikiran anak didiknya, ucapan mereka akan menjadi ucapan muridnya, dan perbuatan mereka akan menjadi perbuatan siswanya. 

Kemauan yang kuat untuk "mencerdaskan kehidupan berbangsa" menjadi "modal awal" mereka. "Modal awal" tersebut ditambah dengan motivasi oleh orang-orang terdekat mereka seperti orang tua, teman, ataupun inspirasi yang diperoleh dari guru-guru mereka dulu. 

Mirisnya keadaan bangsa Indonesia yang jauh dari harapan para The Founding Father kita juga merupakan sebuah "panggilan" bagi mereka untuk ikut serta memperbaikinya. Banyak jalan untuk memperbaiki Indonesia, tetapi mereka memilih "mencerdaskan kehidupan berbangsa" sebagai jalan perjuangan mereka dalam membangun negeri tercinta ini. Itu kiranya jawaban ideal dari tanya, "Mengapa menjadi seorang guru ?".

Mendikbud, Nadiem Makarim, dalam pidatornya menyatakan bahwa "Semua berawal dan berakhir dari guru". Pernyataan tersebut memberikan gambaran bahwa kualitas generasi bangsa bergantung pada guru. Guru harus menyiapkan generasi yang berkualitas, namun juga harus siap jadi pesakitan karena dipersalahkan. 

Mereka sadar, menjadi seorang guru artinya mendapatkan tangggungjawab besar dalam membangun bangsa. Pendidikan yang baik dibangun oleh guru yang berkompeten.  Dari tangan-tangan guru tersebut akan tercipta generasi yang benar untuk bangsa yang besar. Dari tangan "lembut" dan "kasar" para guru ini tercipta para menteri tapi bukan untuk berkorupsi, tercipta pejabat tapi bukan untuk menjilat, tercipta anggota DPR tapi bukan hanya untuk membuat geger.

Bukan, bukan itu yang para guru inginkan. Para guru mempersiapkan muridnya untuk menjadi menteri, pejabat, anggota DPR, dll adalah untuk meneruskan perjuangannya dalam membangun bangsa. Jangan tanyakan apa konsekuensi mereka menjadi seorang guru. Cacian dan makian dari murid, orang tua murid, teman sejawat ataupun dari atasannya adalah hal yang biasa mereka peroleh. Kualitas kehidupan yang jauh dari layak menjadi kesehariannya. 

Mungkin ada yang menyanggah, "Bukankah sudah ada sertifikasi ?". Kalau boleh balik bertanya, "Memangnya berapa persen kah dari total guru yang sudah mendapatkan uang tunjangan sertifikasi?". Belum lagi urusan administrasi pembelajaran yang menumpuk, desakan dari pemangku kepentingan dan lain sebagainya.

Tetapi beban hidup mereka terasa hilang ketika menemukan obat mujarab. Ya, obat mujarab itu adalah murid mereka. Melihat senyum indah yang terlukis diwajah manis  para muridnya hingga berbagi keluh kesah kehidupan. Tawa canda muridnya terasa angin segar bagi mereka, dan saat muridnya berteriak, "Oh.....", adalah salah satu nada terindah yang didengarnya.

Biarlah caci maki engkau dapati, tapi engkau tetap dihargai. Biarpun banyak uji menghampiri, namun engkau tetap berbakti untuk negeri. Biarpun mendung menutupi mentari, namun engkau sabar menunggu muridmu setiap pagi. Terima kasih guruku tersayang, guruku tercinta. Tanpamu apa jadinya aku. Salam hormat dari muridmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun