Saya tiba di bandara siang hari. Saat itu tanggal 22 Agustus 2017. Berangkat dari Makassar dengan menggunakan pesawat Lion air. Dari atas pesawat, saya berharap bisa melihat Jakarta. Tapi apa boleh bikin, Jakarta sudah tertutup awan.
Awalnya saya kira mendung. Dan sebentar lagi turun hujan. Tapi akhirnya perkiraan saya buyar, dengan mendengar perkataan kawan saya, yang saat itu bersama saya di bandara. Jakarta sekarang memang sudah penuh dengan polusi,katanya. Setiap hari jika ingin jalan kaki, harus pakai masker, kalau tidak, siap-siap sesak nafas. Tapi saya yang tak mudah percaya tanpa bukti, menghiraukan itu.
Saya keluar dari bandara, menunggu mobil yang akan menjemput. Maksudnya mobil pesan online itu. Mata saya melihat sekeliling. Tampak gedung-gedung agak buram dilihat, terhalang kabut polusi. Mobil sudah datang. Saya berangkat ke tempat tujuan.
Jarak dari bandara ke tempat tujuan saya di Jl. Ketang-ketang, lumayan jauh. 30-an kilo meterlah jauhnya. Itu kalau jalan kaki sesuai arahan dari om gugel maps, bisa sampai tujuh jam. Saya belum hitung berapa menit antri beli rokok, beli makanan, dan beli-beli lainnya. Dan juga belum memasukkan berapa waktu yang dihabiskan untuk salah jalan.
Dari dalam mobil, saya menghabiskan waktu untuk melihat-lihat ke luar. Terlihat gedung-gedung berjejer. Apartemen di mana-mana, dan tentunya barisan kendaraan. Langit tak tampak, terhalang awan. Ah entahlah, itu benar awan, atau polusi yang makin tebal.
Berkat bantuan gugel maps yang digunakan pak sopir, sampailah saya ke tempat tujuan. Walaupun bayarannya membuat saya sedikit tak ikhlas karena lumayan banyak. Itu kalau saya beli makan di warung pinggir jalan bisa tiga kali, rokok lima bungkus. Tapi ah sudahlah, yang penting saya sampai. Uang bisa dicari, tapi dapatnya susah.
Istirahat sambil ngopi, di rumah baru. Atau lebih tepatnya tempat numpang. Sambil bercerita tentang keadaan di kampung saya. Tentu kalimat pembukanya adalah soal perjalanan dari bandara. Apakah nyasar atau gimana. Tapi Tuhan menunjukkan saya jalan yang benar, dengan melalui perantaranya di bumi. Dengan memberikan ilmu kepada pembuat gugel maps.
Jakarta keren yah, dari siang hingga sore, terus berkabut. Kata saya. Kawan saya tertawa dan lanjut dengan kalimat, itu mah polusi bung, jangan samakan dengan desa lah. Akhirnya keraguan saya untuk mengatakan bahwa yang menyelimuti Jakarta adalah polusi, menjadi hilang. Jadilah saya seyakin-yakinnya, bahwa polusi melimpah ruah di Jakarta. Semoga ke depannya tercipta alat yang bisa merubah polusi menjadi listrik.
Karena saya ke Jakarta untuk kuliah, tentu saya masih harus menyiapkan hal-hal yang dibutuhkan. Sialnya, pemberitahuan untuk menggunakan kemeja putih, saya terima saat malam hari. Maka saya harus berkeliling lagi untuk mencari.
Berangkatlah saya untuk mencari kemeja. Dengan ditemani oleh kawan yang cukup menghafal jalan. Karena menjunjung tinggi kata pepatah, "hemat pangkal kaya", maka berangkat dengan jalan kaki. Menyusuri jalan Tenggiri hingga berkeliling Rawamangun. Untuk satu tujuan, kemeja putih.
Sungguh pencarian yang sia-sia. Sepanjang perjalanan, tak satupun yang menjual. Mungkin saja ada, tapi saya mencarinya sudah malam. Jadi saya tak dapat baju. Perjalanan dengan tugas mulia ini tak berhasil. Sangat berbeda dengan perjalanan Sun Go Kong menuju barat.
Jalan yang penuh dengan kendaraan. Membuat saya menjadi sesak nafas. Ditambah lagi dengan bau tak sedap dari selokan. Sempat membuat saya muntah sekali. Nah, yang membuat saya agak risih, karena saya muntah di pinggir jalan. Kalau ada yang liat, pasti fikirannya akan aneh-aneh. Padahal saya ini orang baik-baik loh.
Saya kembali ke rumah tanpa membawa baju kemeja. Berfikir dan berfikir, bagaimana cara agar mendapatkan itu, padahal sudah malam hari. Tapi tak dapat-dapat juga. Maka saya putuskan untuk menghubungi panitia penerimaan mahasiswa. Berharap untuk dimaklumi.
Ternyata benar, saya diperbolehkan untuk menggunakan pakaian lain. Yang jelas rapih. Ternyata, saya diminta untuk memakai kemeja putih, karena harus bikin foto untuk kartu nelayan. Eh maksud saya kartu mahasiswa.
Ke esokan harinya, saya berangkat ke kampus. Masih tetap bersama dengan kawan saya. Kami berangkat dengan kereta. Dari Klender menuju Sudirman. Jadwal yang saya terima adalah jam 9.00 pagi. Tapi saya tiba di kampus jam 9 lewat. Untung waktunya di undur ke jam 10 pagi. Maka saya datang sebelum dimulai.
Saat pulang, saya dan kawan saya tetap menggunakan kereta. Awalnya akan jalan kaki ke Stasiun Sudirman, tapi diganti dengan angkot. Karena siang hari cuaca panas, dan langit sudah penuh lagi dengan asap polusi.
Tak langsung menuju Klender, saya dan kawan saya menuju Universitas Indonesia untuk bertemu beberapa kawan lain. Dalam kereta, penumpang masih kurang. Karena masih siang hari. Jadi masih bisa duduk.
Kembali ke rumah saat malam hari, dengan menggunakan kereta. Di situlah kumpulan massa memenuhi peron. Berdesak-desakan masuk ke kereta. Walaupun sudah berdesakan dan tak bisa bergerak di dalam kereta, mereka tetap masuk. Bodo amat, yang penting pintunya bisa tertutup.
Sungguh perkenalan pertama yang tak menyenangkan. Sudah penuh polusi, orang-orangnya pun padat. Beda dengan di desa saya. Masih sejuk, dan belum macet kayak di ibu kota yang sekarang.
 Jadi selama beberapa tahun ke depan, saya harus membiasakan diri dengan semua ini. Kalau ada yang masih percaya bahwa untuk mencapai sukses, maka ke Jakarta lah. Tolong didiskusikan lagi. Jangan sampai keliru. Lah ibu kota saja mau dipindahkan kok. Pasti mereka bosan, makanya harus dipindahkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI