Mohon tunggu...
Nur Ansar
Nur Ansar Mohon Tunggu... Administrasi - Pekerja lepas

Sesekali jalan-jalan dan baca buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Petani: Soal Tikus dan Keresahan Lainnya

5 Juli 2017   12:58 Diperbarui: 5 Juli 2017   13:01 1628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semakin banyaknya tikus di sawah, membuat petani benar-benar resah. Bukan pertama kalinya tikus menyerang dengan memotong batang padi. Sudah tiga musim berturut-turut. Sebelum tiga musim ini, memang tikus biasa datang, tapi tidak separah kali ini. Bukan hanya padi yang mereka serang, tapi jagung pun demikian.

Jagung yang ditanam di pematang sawah, habis sebelum tumbuh. Yang di kebun, jagung yang sudah berbuah, buahnya banyak yang sudah dimakan tikus. Akhirnya hasil panen jagung pun menurun. Upaya sudah dilakukan. Salah satunya adalah dengan menggunakan umpan seperti dedak padi yang sudah dicampur racun. Dedak tersebut akan di taruh di lubang-lubang tikus dengan harapan, tikus memakan dan mati. Tapi lagi-lagi gagal, karena hujan yang mengguyur membuat dedak tersebut hanyut. Budi bercerita sambil menggerutu dan mencari rokoknya.

Jagung yang saya jadikan umpan, hanyut terbawa air. Padahal saya sudah mencampurnya dengan racun. Usaha tersebut gagal. Saya sedang mencari tahu cara yang lain. Tikus-tikus itu terus saja datang. Musim tanam yang lalu tidak terlalu parah seperti sekarang. Kalau yang lalu memang banyak biji padi yang tidak berisi karena cuaca yang tidak menentu, ditambah lagi dengan serangan wereng. Tapi sekarang malah lebih parah, karena hujan terus mengguyur, tikus datang,dan juga  hama lain.  Ujar Jamal saat istirahat setelah membersihkan rumput liar dan batang padi yang patah akibat tikus.

Padi banyak yang pertumbuhannya terhambat. Padahal sudah dua kali pupuk. Padinya kerdil seperti kekurangan gizi. Seolah padi tersebut menjadi kerdil karena tidak dialiri air, padahal hujan terus mengguyur. Gulma pun semakin banyak.

Kondisi tanah di sekitaran dataran tinggi memang bagus. Hanya saja jika musim kemarau dan sudah terlanjur kering, maka air tidak akan tergenang, tetapi langsung meresap ke dalam tanah. Tanah menjadi keras. Akibatnya, jika menanam padi di musim kemarau, petani biasanya menyiram padinya saat malam hari dengan menngunakan air dari selang yang ada disekitaran sawah.

 Musim kemarau tahun lalu misalnya, saat malam tiba, saya dan bapak saya akan berangkat lagi ke sawah untuk menyiram padi. Karena jika tidak disiram, maka padi akan mati. Air irigasi tidak mencukupi untuk mengaliri semua sawah. Airnya sangat kecil, walaupun waktu pengairan dilakukan secara bergilir, tetap saja air tidak dapat mengairi sawah secara merata. Apalagi jika tanahnya sudah retak, pasti air tidak dapat tergenang lagi di sawah. Makanya saya dan bapak saya harus menyiramnya jika malam hari. Budi lanjut bercerita.

Belum lagi harga bibit yang setiap tahun naik, pupuk pun demikian. Dalam satu kali tanam, padi dipupuk sebanyak dua kali. Terkadang juga tiga kali jika diperlukan. Dengan kondisi seperti ini, maka petani akan menambah ongkos produksi. Hama yang menyerang, maka diperlukan racun pembasmi. Terkadang membeli racun pun sedemikian rupa, tergantung hama tersebut. Apakah sudah tidak ada atau berkurang. Tapi jika sudah disemprot dan masih tidak mempan, maka akan disemprot lagi, tentunya dengan racun yang berbeda. Jamal pun sudah ikut menyambung apa yang dibicarakan Budi.

Harga padi yang jika musim panen tiba yang selalu murah, membuat petani makin resah. Padi sudah rusak, tidak banyak yang bijinya berisi. Semakin membuat petani kebingungan. Apalagi bagi petani penggarap. Yang hasil panennya harus dibagi dengan pemilik sawah. dialah yang paling resah.

Sekarang memang zaman yang membingungkan. Saya kira sekarang sudah musim kemarau, tapi malah masih hujan. Dulu penyakit padi tidak separah yang sekarang. Yang dulu walaupun padi tidak dipupuk, tetap akan tumbuh dan berbuah, kualitasnya juga bagus. Sekarang sudah beda. Tikus yang menyerang tidak separah sekarang. Padahal sekarang saya sudah menghabiskan banyak uang untuk ongkos merawat padi. Mulai dari bibit, pupuk, dan racun. Saya benar-benar pusing dibuatnya. Mana lagi uang yang saya gunakan adalah uang yang saya pinjam. Jadi jika panen kali ini padi banyak yang rusak, berarti saya akan kesusahan untuk membayar utang.  Samhadi bercerita saat mereka bertiga asik di rumah-rumah milik bapaknya Budi.

Tak lama kemudian, hujan mulai datang. Mereka memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Mereka membereskan peralatannya, lalu berangakat. Belum jauh mereka berjalan, hujan sudah makin deras. Akhirnya mereka pulang dengan membawa keresahan terhadap tanamannya di sawah. Dan tentu saja di perjalanan mereka diguyur hujan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun