Mohon tunggu...
Nur AnnisaPutri
Nur AnnisaPutri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di Universitas Airlangga

Interests in Policy, Politics, and Environment

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Nasib Pengungsi Rohingya di Indonesia

23 April 2023   00:35 Diperbarui: 23 April 2023   00:36 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh :

Nur Annisa Putri (072011233002)

Ketidakamanan menjadi salah satu alasan utama para pengungsi meninggalkan negaranya untuk mendapatkan nasib yang lebih baik. Terletak di titik persimpangan dunia, Indonesia seringkali menjadi destinasi pengungsi untuk singgah sebelum melanjutkan perjalanan ke negara tujuan. Perpindahan tersebut yang terjadi secara lintas batas membuat permasalahan pengungsi menjadi tanggung jawab komunitas internasional. 

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kemudian membentuk United Nations High Commissioner for Reffugees (UNHCR) guna mengakomodasi permasalahan pengungsi. Langkah pertama yang dilakukan UNHCR adalah dengan melakukan konvensi pengungsi pertama pada tahun 1951 dan memiliki perangkat protokol lain pada Protokol 1967 (Afriandi, 2013). Kedua hal tersebut menjadi basis utama bagi setiap negara di dunia untuk menangani pengungsi yang datang di negera mereka.

Namun, tak semua negara melakukan ratifikasi pada Konvensi 1951 dan Protokol 1967, salah satunya Indonesia. Dengan begitu belum diratifikasinya Konvensi 1951 dan Protokol 1967 membuat Indonesia tidak memiliki tanggung jawab untuk menangani para pengungsi.

Pada awal tahun 2023 ini, Indonesia didatangi oleh gelombang pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh. Terdapat 69 pengungsi Rohingya datang secara ilegal ke perairan Aceh tanpa izin di Desa Lampanah, Kecamatan Seulimeum (Zulkarnaini, 2023). Nyatanya, kedatangan pengungsi Rohingya bukan kali pertama saat itu. 

Sejak tahun 2011 para pengungsi terus berdatangan menggunakan kapal-kapal kayu di sepanjang garis pantai Aceh. Mereka yang datang memiliki berbagai alasan, seperti karena terombang-ambing di atas laut kemudian terdampar, transit menuju ke Malaysia, ataupun menghindari perdagangan manusia. Meskipun belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967, Indonesia telah memiliki peraturan yang mengatur tentang pengungsi dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Pengungsi dari Luar Negeri. Keterbatasan peraturan tersebut membuat banyaknya pengungsi Rohingya yang datang ke Indonesia tidak terakomodir dengan maksimal. Indonesia menangani pengungsi yang datang berlandaskan rasa kemanusiaan bukan karena bertanggung jawab. Oleh sebab itu, penanganan pengungsi di Indonesia banyak ditekankan pada bantuan UNHCR dan International Organization of Migrant (IOM).

Gelombang pertama pengungsi Rohingya yang datang melalui perairan Aceh dimulai pada 16 Februari 2011 sebanyak 129 orang (Zulkarnaini, 2023). Sedangkan tercatat sebanyak 18 kali sepanjang 2011 hingga 2023 pengungsi Rohingya berdatangan ke Indonesia.

Tanggal

Lokasi

Jumlah Pengungsi

16 Februari 2011

Aceh Besar

129

1 Februari 2012

Aceh Utara

54

28 Juli 2013

Aceh Jaya

68

27 Februari 2013

Kota Lhokseumawe

121

7 April 2013

Aceh Besar

80

28 Maret 2013

Aceh Timur

63

10 Mei 2015

Aceh Utara

500

4 Desember 2018

Aceh Timur

20

20 April 2018

Bireuen

76

24 Juni 2020

Aceh Utara

94

7 September 2020

Kota Lhokseumawe

297

5 Juni 2021

Aceh Timur

81

30 Desember 2021

Bireuen

105

6 Maret 2022

Bireuen

114

15 November 2022

Aceh Utara

110

16 November 2022

Aceh Utara

119

25 Desember 2022

Aceh Besar

57

16 Februari 2023

Aceh Besar

69

Total

2157

Banyaknya pengungsi Rohingya yang datang ke Indonesia menjadi tantangan tersendiri karena Indonesia harus menerima dan tidak dapat memaksa para pengungsi kembali ke negaranya. Hal ini sesuai dengan prinsip non-refoulement pada Konvensi 1951 yang membuat Indonesia tidak boleh mengembalikan para pengungsi ke negara semula (Susatyo, 2023). 

Indonesia bersama IOM lalu mencari solusi bagi kelangsungan hidup mereka. Namun, pada awal bulan Maret ini, IOM mengumumkan jika mereka kekurangan dana untuk memenuhi kebutuhan hidup pengungsi Rohingya di Aceh. Di sisi lain, Indonesia pun tidak banyak memiliki anggaran untuk memberi bantuan. Akibatnya mereka terpaksa memotong suplai kebutuhan para pengungsi. 

Selain itu, kehidupan pengungsi Rohingya pun banyak mendapatkan ancaman karena mereka banyak menjadi korban perdagangan manusia.

Siklus tersebut selalu berputar dan tak kunjung henti. Banyaknya pengungsi Rohingya yang datang, namun tak diimbangi dengan fasilitas yang ada membuat para pengungsi dalam kondisi yang memprihatinkan (Kurnia, 2022). Mereka yang ingin mengadu nasib pun terhalang dengan kesulitan untuk mendapatkan perlindungan, kesejahteraan, pekerjaan ataupun kewarganegaraan. 

Hal ini dapat dilihat pada pengungsi yang terdampar di Aceh Besar pada akhir tahun ini, hingga kini mereka masih belum memiliki status yang jelas tentang nasib mereka. UNHCR yang menaungi pengungsi pun secara implementatif masih belum menemukan solusi hingga hari ini (Lubis, 2022). 

Bahkan, ironi di lapangan mencuat fakta jika terdapat ratusan pengungsi Rohingya di kamp penampungan Kota Medan, Sumatera Utara. Di antaranya terdapat pengungsi yang telah berada di kamp tersebut lebih dari 10 tahun, mereka datang pada tahun 2011 dan hingga kini belum mendapatkan hak yang jelas.

Pengajuan untuk mendapatkan status pengungsi resmi kepada UNHCR pun sering berjalan tidak mulus, namun begitu mendapatkan status pengungsi pun mereka belum tentu mendapatkan negara penerima. Akhirnya mereka menjalani hidup tanpa kepastian dengan menunggu selama bertahun-tahun untuk dapat diterima di negara yang tujuan guna memiliki kewarganegaraan.

Persoalan pengungsi yang melalui batas negara membuat polemik ini melibatkan berbagai pihak internasional. Indonesia yang belum meratifikasi Konvensi 1951 pun tak dapat berbuat banyak pada perpindahan pengungsi, sehingga UNHCR memiliki andil yang besar dalam proses pengajuan perpindahan. Oleh karena itu, para pengungsi Rohingya hingga kini masih menunggu kabar baik yang dikeluarkan oleh UNHCR untuk mengatasi permasalahan mereka. 

Atas dasar kemanusiaan pula, pemerintah seharusnya lebih memperhatikan regulasi yang sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan. Karena pada kenyataannya regulasi yang ada pada Perpres Nomor 125 kurang konkret sehingga para petugas lapangan masih sering kebingungan untuk menangani pengungsi yang kemudian para pengungsi ini hanya bersandar pada kebijaksanaan UNHCR dan IOM.

Referensi

Afriandi, F., 2013. Kepentingan Indonesia Belum Meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 Mengenai Pengungsi Internasional dan Pencari Suaka, Riau: Universitas Riau.

Kurnia, T., 2022. Liputan6. [Online]
Available at: https://www.liputan6.com/global/read/5165840/nasib-rohingya-di-aceh-disorot-media-arab-saudi
[Accessed 24 March 2023].

Lubis, N. F., 2022. PILU! Nasib Ratusan Pengungsi Rohingya di Aceh Masih Belum Jelas [Interview] (31 Desember 2022).

Susatyo, H., 2023. Fakultas Hukum Universitas Indonesia. [Online]
Available at: https://law.ui.ac.id/dilema-mengelola-manusia-perahu-rohingya/
[Accessed 24 March 2023].

Zulkarnaini, 2023. Kompas.id. [Online]
Available at: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/02/17/pengungsi-rohingya-masuk-aceh-terus-bertambah
[Accessed 23 March 2023].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun