Mohon tunggu...
Nurani Soyomukti
Nurani Soyomukti Mohon Tunggu... -

Penulis Lepas, Pekerja Sosial dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Saya Tidak Takut/Malu Dituduh Sombong Hanya Karena Memilih Berbeda!

27 Agustus 2011   11:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:26 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1407900085299225135

[Dan Ajakan Berpikir Kritis, serta Pentingnya Menjadi Manusia Otentik]

Oleh: Nurani Soyomukti,

anggota jaringan Serikat Muda Intelektual Nusantara (SaMIN) wilayah Mataraman Jawa Timur

Banyak orang yang lebih suka membayar orang lain untuk mewakili mereka berpikir. Kita telah menjadi sebuah masyarakat yang bergantung… Jagad di mana kita diizinkan untuk bermain, menghibur, dan mempertanyakan berbagai macam misteri setiap hari telah menyempit.”

—Michael R. LeGault—

Kalau Anda salah paham pada saya, terutama tentang tulisan saya kali ini, saya takut anda akan mengira saya sombong. Saya mohon kerendahan hatinya untuk tidak menganggap saya sombong hanya karena mengungkapkan bagaimana saya mengajak kita memaknai hidup. Saya kadang tidak begitu peduli dengan siapakah yang akan membaca tulisan-tulisan saya. Mohon dipahami bahwa kenakalan-kenakalan dan nada-nada satire yang kadang terkesan ’sombong’ dalam tulisan saya adalah sejenis sentimentalitas individu saya.

Saya ingin mengatakan bahwa sebaiknya ini harus Anda anggap sebagai tipikalitas (tulisan) saya, dan saya lebih senang untuk mengatakan bahwa ini adalah cara saya beradaptasi dengan kehidupan yang tengah bermutasi secara lambat dalam geraknya yang kadang cepat. Anda boleh mengatakan bahwa ini cara picik untuk merespon kehidupan, tetapi saya dan beberapa teman yang mendukung cara ini lebih pas untuk mengatakan bahwa ini adalah cara saya ber-eksistensi. Eksistensi  biasanya disandarkan oleh pengalaman psikologis dan sampiran kognitif (pengetahuan dan pemahaman) yang ada dalam tubuh-jiwanya seseorang.

Saya berani menanggung beban psikologis dari disalahpahami, meskipun saya juga punya daya dan karsa untuk selalu untuk merehabilitasi citra saya ketika disalahpahami. Tetapi kekuatan yang lebih besar yang saya miliki sebenarnya adalah bahwa saya tak bisa untuk memanipulasi gaya bicara, cara melihat  kehidupan dari diri saya sendiri, yang dalam hal ini juga saya lontarkan pada orang-orang dekat saya, saya tegaskan lagi pada istri saya pada saat saat itu saya melamarnya, teman-teman dan saudara-saudara dekat saya, juga para membaca buku-buku, esai, opini, dan sekedar catatan dari saya—atau yang mendengarkan ucapan mulut saya di acara diskusi baik resmi maupun tidak resmi.

Saya heran ketika menjumpai tak sedikit orang yang kadang bisa beradaptasi dengan berbagai lingkungan dan kondisi dengan cara merubah cara pandang dan gayanya. Kadang mereka beralasan bahwa itu taktik untuk memenangkan hati banyak orang, sehingga kita harus ikut-ikutan pada orang tersebut. Saya pernah dirayu juga untuk seperti itu. Tetapi ternyata saya bisa menunjukkan bahwa pada akhirnya orang seperti itu memang telah kehilangan jati dirinya dan pada akhirnya ikut-ikutan. Saya berpandangan bahwa orang yang  punya prinsip bahwa pandangannya secara kuat lebih bermakna dan benar, maka dia tak boleh membebek pada kesadaran orang lain yang rendah, tetapi justru secara konsisten harus merubah kesadaran orang lain tersebut.

Dan pada kenyataannya, kita melihat bahwa orang yang tak mau bertahan secara konsisten pada akhirnya juga mirip orang biasa yang berkesadaran rendah. Masyarakat Jawa mungkin selalu terngiang oleh adagium Ronggo Warsito: ”Jaman edan, yen ra edan gak melu keduman” (Jaman sudah gila, kalau tidak ikut-ikutan gila tak akan mendapatkan jatah). Ini adalah filsafat paling parah yang menunjukkan bahwa kita tak perlu punya sikap dan prinsip di tengah kehidupan yang berkualitas rendah yang berisi orang-orang yang bahkan mengaku enjoy menjalani kegilaan (hidup dengan selera rendah, makna rendahan, karena yang ada hanyalah orang ikut-ikutan trend dan mengalir sesuai dengan bagaimana sistem kekuasaan yang menindas [kekuasaan semacam inilah yang biasanya membalikkan nilai-nilai dan prinsip] membentuknya).

Saya seringkali dianggap tidak normal, bahkan ada sedikit orang yang menganggap saya sok—termasuk sombong itu tadi. Ingat, saya masih ingat dulu waktu kuliah. Saat di sebuah rumah kontrakan teman-teman menawari segelas  minuman keras, dan saya mengatakan ”Tidak” [bukan atas dasar moral dan agama, tetapi alasan kesehatan], tentu saya dianggap sombong karena tidak mau. Yang lucu juga ketika saya tidak merokok di antara 6 orang teman saya saat berkumpul, saya juga dianggap sombong. Saya dianggap ”laki-laki tidak normal”. (Catatan: sejak tahun 2006 ketika di Jakarta, setelah lulus kuliah, saya sudah minum bir bintang yang seringkali saya lakukan di rumah kos saya, bersama teman sekamar. Tetapi sejak 2009 saya sudah berhenti melakukannya. Dan hingga saat ini belum pernah merokok).

Cerita itu hanya untuk menunjukkan bahwa seringkali kita dianggap sombong bukan karena kita melakukan kegiatan aktif untuk memamerkan siapa diri kita di hadapan orang lain, tetapi hanya karena berbeda pilihan, seperti pilihan tidak ikut melakukan kegiatan. Dari contoh tersebut, kita tahu bahwa yang tidak normal itu seringkali bukan masalah benar atau tidaknya, juga bukan masalah bermakna atau tidak sesuatu yang dianggap normal atau tidak itu. Tetapi hanya karena memilih berbeda.

Saya selalu teringat dengan seorang guru besar yang sangat berwibawa tentang makna kegilaan. Beliau berkata: ”Vonis atas ketidaknormalan dan kegilaan itu lebih banyak ditentukan oleh kesepakatan massa. Jadi jangan kawatir, kalau kamu berbeda dengan orang banyak, bukan berarti kamu tidak normal. Malah, bisa jadi ada orang yang memandang bahwa kamu berpikir unik. Unik itu berbeda dan tidak sama dengan yang lain, kan?”

Ucapan guru besar itu memberikan keyakinan pada kita, jangan takut berbeda. Hidup tak harus ikut arus, tak harus pula ikut-ikutan trend. Itu juga motivasi besar bagi kita agar kita menemukan makna yang dalam dalam hidup kita. Alhamdulillah, saya menemukan kutipan kata yang bagus dari Nietzsche lewat Zarathustra:

“Engkau belum lagi mencari dirimu sendiri tatkala engkau temukan aku. Begitu pula semua orang yang percaya; maka seluruh kepercayaan kecil artinya. Kini biarlah engkau kehilangan aku dan menemukan dirimu sendiri, dan hanya ketika engkau telah menyangkal aku maka aku akan kembali padamu….”

Memandang  wajah pemuda yang tegang semacam itu kadang membuat hati kita kecut…

Ada cerita aneh juga, ada anak muda yang kadang sms saya dan bertemu langsung menanyakan lowongan pekerjaan pada saya… Aduh, saya dikira agen tenaga kerja! Ada lagi yang minta sumbangan dan ada juga yang pinjam uang. Saya harus jujur bahwa hidup saya tidak terlalu berkecukupan. Masalahnya, ada orang yang menganggap bahwa saya adalah orang yang sukses, beberapa memuji. Tetapi yang paling celaka lagi adalah bahwa saya adalah orang yang sukses secara ekonomi. Mungkin lebih celaka lagi kalau cara pandang mereka mengenai saya dalam kaitannya dengan ekonomi disamakan dengan orang lain. Siapa yang tidak ingin kaya? Tetapi apakah kaya itu hanyalah masalah banyak uang, barang, dan materi?

Saya kawatir, Anda tak akan mewariskan kekayaan pengetahuan dan prinsip kemanusiaan pada anak-cucu Anda, hanya mewariskan materi kekayaan yang membuat anak-cucu Anda menganggap bahwa materi adalah segalanya, dan mereka tetap menjadi makhluk individualis-egois yang sayangnya materi kehidupan tidak dimaknai dengan pendalaman berpikir dan merasa tetapi hanya ikut-ikutan.

Pada para remaja dan pemuda yang dekat dengan saya, saya katakan begini: Teman-teman, kita diserang terus  oleh pemahaman bahwa tubuh cantik, seksi, ganteng, dan macho itu adalah keutamaan yang bisa dipamerkan. Saya katakan: “Tetapi jangan lupa bahwa, organ tubuh yang paling seksi itu bukanlah bibir, pantat, payudara, bentuk tubuh, atau kaki”.

“Lalu apa?”, Tanya mereka.

“Kok bisa?”

”Sebab otak itu tidak bisa dimanipulasi jika ia berfungsi dengan baik. Sementara kalau orang lain tertarik padamu hanya melihat tubuhmu, biasanya ia akan melupakan bahwa kamu adalah manusia yang punya otak. Dan bisa jadi untuk mendapatkan tubuhmu, mereka akan membuat otakmu bodoh”.

Perlu saya beritahukan pada Anda: otak manusia rata-rata masih digunakan 3%. Otak orang paling pintar di dunia saja (seperti Michelangelo, Thomas Alfa Edison, Einstein, dll) otaknya masih digunakan 7%. Saya yakin, otak kosong itulah yang membuat manusia begitu mudahnya dimanipulasi oleh kepentingan kekuasaan yang menindas yang kadang dilakukan dengan rayuan-rayuan agar kita diam hanya pasrah. Saya masih yakin, masyarakat pembelajar itu harus kita ciptakan. Anak-anak muda harus diajak untuk berpikir objektif, kritis, dan kreatif. Agar mereka tak keblinger karena pikiran-pikiran sempit! []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun