"Setajam-tajamnya pisau, lebih tajam ucapan tanpa adab"
Peribahasa ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga lisan agar tidak melukai perasaan orang lain.Â
Di era digital, dakwah tak hanya hadir melalui mimbar atau majelis, tetapi juga merambah ke media sosial melalui video viral. Belakangan ini, perbedaan gaya dua penceramah populer, yakni Ning Umi Laila dan Gus Miftah dalam memperlakukan penjual es teh menarik perhatian publik. Kedua tokoh tersebut dikenal dengan gaya dakwah humoris mereka. Akan tetapi pendekatan yang kontras mengundang pertanyaan besar, apakah humor dalam dakwah dapat sejalan dengan prinsip menjaga adab?
Gus Miftah dan Candaan yang Viral
Pada 2024, Gus Miftah kembali menjadi sorotan setelah sebuah video viral di TikTok. Dalam video tersebut, Gus Miftah bercanda tentang seorang penjual es teh bernama Pak Sunhaji. Dengan gaya khas-nya, Gus Miftah berkata "Es teh mu akeh opo ora? Masih ada? ya dijual, goblok!".Â
Bagi sebagian penggemarnya, candaan tersebut adalah refleksi dari kepribadian Gus Miftah yang santai dan apa adanya. Namun, di mata sebagian orang, kata-kata tersebut dianggap kurang menghargai profesi Pak Suhaji sebagai pedagang.
Ning Umi Laila dan Sikapnya yang Viral
Satu tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 2023, Ning Umi Laila, seorang penceramah muda yang dekat dengan generasi z, memborong dagangan seorang penjual es teh yang hadir di pengajiannya. Dengan nada ringan, Ning Umi Laila menyemangati sang penjual dengan berkata "Ya Allah, penjual es ikut pengajian, semangat ya, Pak!"Â ungkap Ning Umi Laila yang di upload akun TikTok @m_azhari13.
Video ini mendapat pujian luas dari netizen. Tindakan Ning Umi Laila dianggap sebagai contoh bagaimana dakwah humoris tetap bisa menyentuh hati seseorang dengan tanpa kehilangan adabnya. Dengan mengedapankan empati, Ning Umi Laila bukan hanya membuat audiensnya tersenyum, tetapi juga memberi semangat dan penghargaan kepada sang penjual.Â
Humor vs Adab dalam Dakwah
Perbedaaan pendekatan antara Gus Miftah dan Ning Umi Laila menyoroti dinamika dakwah masa kini. Humor adalah alat yang kuat untuk menarik perhatian, terutama di tengah audiens muda. Namun, adab dan empati adalah esensi yang harus dijaga dalam setiap interaksi.Â
Sebagai seorang da'i, tugas utama bukan hanya menyampaikan pesan agama, tetapu juga memastikan pesan tersebut diterima dengan hati yang lapang. Humor tanpa batas bisa menyentuh banyak orang, tetapi adab yang terjaga akan meninggalkan kesan mendalam.Â
Pelajaran dari Dua Gaya Dakwah
Apa yang bisa kita pelajari dari dua gaya ini?
1. Humor harus bermakna
Humor yang baik bukan hanya tentang menghibur, tetapi juga memberikan pesan yang membangun. Humor tidak boleh menjadi alasan untuk merendahkan atau menyakiti pihak lain.
2. Empati adalah kunci
Seperti yang ditunjukkan Ning Umi Laila, gestur sederhana yang disertai empati bisa memberikan dampak besar besar, baik bagi penerima pesan maupun masyarakat luas.Â
3. Adab menjaga dakwah tetap bermartabat
Dalam Islam, menjaga perasaan orang lain adalah bagian dari akhlak yang mulia. Humor yang diimbangi dengan adab akan menghasilkan dakwah yang tidak hanya diterima, tetapi juga dihormati.
Kisah Ning Umi Laila dan Gus Miftah memberikan refleksi penting bagi dunia dakwah. Humor bisa menjadi alat yang ampuh untuk menyampaikan pesan agama. Namun, jika humor dilakukan dengan tanpa adab, pesan tersebut berisiko kehilangan esensinya.
Jadi, apakah humor dalam dakwah dapat sejalan dengan prinsip menjaga adab? jawabannya ada di tangan para da'i dan audiensnya. Semoga setiap dakwah, baik humoris maupun serius, selalu menjadi jalan untuk menyebarkan kebaikan dan kasih sayang yang sesuai dengan ajaran Agama Islam.Â
Penulis : Muhammad Kemal Nurhuda & Nurani Febrika PrasetyaÂ
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H