Mohon tunggu...
Ria Astuti
Ria Astuti Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menikmati Perjalanan :)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Melumpuhkan, Sunyi...

9 September 2012   20:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:42 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_204877" align="aligncenter" width="560" caption="ilustrasi : FB Megaphoto"][/caption]

Aku selalu butuh sudut sunyi, sudut di mana tak ada yang mampu memaknaiku, sudut yang menjadi tempatku melumpuhkan indera. Lumpuh mata, telinga, tangan, kaki dan segala perangkatNya, kecuali hati nurani. Ketika inderaku lumpuh, entah mengapa hati menjadi begitu hidup, dengannya aku melihat, mendengar, berjalan, berlari, menggenggam segala yang telah terlepas….

Aku selalu menyukai ruang sunyi, entah karena realitasnya yang memang sunyi atau karena telinga yang telah sempurna lumpuh. Bagiku sunyipun terkadang begitu berisik, sunyi berbicara lebih banyak, tentang apa-apa yang sulit disampaikan lisan-lisan yang penuh liur dusta. Tidak mudah menemukan ruang sunyi yang steril dari suara-suara, karena sejatinya telinga lebih peka mendengar jika telah menyatu dalam lubuk hati.

Sunyi berproses, progress nya senantiasa berubah. Terkadang aku terperangkap sunyi di tengah keramaian siang yang jalang. Telingaku tuli mendengar erang kelaparan makhluk-makhluk kecil di bawah kolong kemiskinan. Mataku buta demi melihat kriminalitas mental terhadap benih jiwa-jiwa yang masih suci, anak-anak kecil itu terpaksa menjaga emosi negatif lingkungan sosial dalam dirinya, dipanggulnya bekal itu menuju masa depan. Mereka disakiti, yang menyakiti tidak menyadari, karena pesakitan tidak terlihat pada fisiknya. Tanganku kebas, tak mampu menggenggam apapun, karena terlalu banyak kotoran di atas tanganku. Kakiku tak sanggup melangkah, tak pernah tahu di mana rumah ibadah yang penuh dengan jamaah, kakiku hilang arah. Sunyi ini menjadi tak berguna, karenanya hati ikut lumpuh bersama indera…

Terkadang akupun terpenjara dalam selimut kegelapan yang sempurna menjubahi malam sunyi. Jika dunia adalah penjara, maka penuh keikhlasan kuminum racun yang membawaku kepada kebakaan. Tentu tidaklah santun menikmati madu dalam penjara, jadi mari kuteguk racun serela hati. Sunyi malam adalah ruang luas, tanpa batas menjelma realitas kehadiran Yang Maha Tak Terbatas. Semula aku ingin membunuh karakter dalam diriku, meludahi waktu dengan ego kerdil, namun malam selalu datang dengan pengampunanNya, aku juga manusia… yang menginginkan kedamaian.

Kepada pemilik kesunyian, kusampaikan rahasia yang telah menjadi berita umum, bahwa kerinduan akan kedamaian telah menghuni hati kami. Kami manusia-manusia lumpuh yang tak lagi memahami makna kedamaian.

_____________

Sebuah catatan sederhana dari ruang sunyi…

Salam cinta perdamaian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun