Mohon tunggu...
Muhammad Nur Amien
Muhammad Nur Amien Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Bebas Bersahaja

Hobi menulis dan membaca semua bidang ilmu dan pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Cerpen) Wajah Lelah di Balik Temaram Rembulan

25 November 2024   08:05 Diperbarui: 25 November 2024   09:04 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Satpam Shif Malam (Sumber: My Creation with Ideogram.ai)

Wajah Lelah di Balik Temaram Rembulan

Cahaya remang lampu jalan menerpa wajah lelah Pak Ronggo. Kerutan-kerutan halus mulai menari di sudut matanya, mengikuti irama langkahnya yang gontai. Jam dinding di pos jaga menunjukkan pukul tiga dini hari. Udara malam terasa menusuk tulang, namun tak setajam duri yang menusuk hatinya.

Sudah hampir dua dekade ia menjalani profesi sebagai satpam. Setiap malam, ia berjaga di kompleks perumahan elit, menyaksikan dari kejauhan gemerlap kehidupan yang tak pernah ia sentuh. Sementara itu, di rumahnya, istrinya berjuang keras membesarkan anak-anak mereka dengan penghasilan pas-pasan.

Dulu, saat anak-anaknya masih kecil, ia seringkali berjanji akan membelikan mereka mainan baru, atau mengajak mereka pergi ke taman hiburan. Namun, janji itu seakan menjadi utang yang tak kunjung lunas. Harga-harga kebutuhan pokok terus merangkak naik, sementara gajinya tetap stagnan.

Setiap pagi, sebelum berangkat kerja, Pak Ronggo selalu berusaha tersenyum kepada anak-anaknya. Ia ingin mereka merasa bahagia meski keadaan ekonomi keluarga sedang sulit. Namun, di balik senyumnya, tersimpan kekhawatiran yang mendalam.

Di tempat kerja, Pak Ronggo dikenal sebagai sosok yang pendiam dan pekerja keras. Ia seringkali menjadi tempat curhat para satpam junior. Meski begitu, ia jarang sekali menceritakan masalah pribadinya. Ia takut membebani teman-temannya.

Suatu hari, saat sedang berjaga malam, Pak Ronggo bertemu dengan Pak Ahmad, tetangganya yang juga bekerja sebagai satpam di kompleks perumahan yang berbeda. Mereka berdua seringkali bertukar cerita tentang kehidupan sehari-hari. Pak Ahmad yang sudah lebih lama bekerja sebagai satpam, memberikan semangat kepada Pak Ronggo.

"Sabar ya, Pak. Semua pasti ada jalan keluarnya. Yang penting kita terus berusaha," kata Pak Ahmad sambil menepuk pundak Pak Ronggo.

Mendengar kata-kata itu, Pak Ronggo merasa sedikit terhibur. Ia merasa tidak sendiri dalam menghadapi kesulitan hidup.

Di rumah, Pak Ronggo berusaha menciptakan suasana yang harmonis. Ia seringkali membantu istrinya mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan bermain dengan anak-anaknya. Namun, terkadang ia merasa bersalah karena tidak bisa memberikan kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya.

Suatu sore, saat sedang duduk di teras rumah, Pak Ronggo melihat anak sulungnya yang sekolah di SMA sedang menangis. Ia menghampiri anaknya dan bertanya apa yang terjadi.

"Pak, aku ingin punya sepeda seperti teman-teman di sekolah," kata anaknya sambil terisak.

Hati Pak Ronggo tersayat mendengar permintaan anaknya. Ia ingin sekali membelikan sepeda  untuk anaknya, tetapi ia tahu bahwa itu sangat sulit baginya saat ini. Gaji bulanannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok ditambah penghasilan dari istri yang tidak seberapa sebagai asisten rumah tangga setengah hari di perumahan elit yang dia jaga.

"Sabar ya, Nak. Nanti kalau Bapak dapat uang tambahan, Bapak belikan sepeda baru untukmu," janji Pak Ronggo sambil mengelus rambut anaknya.

Anaknya mengangguk pelan. Meski begitu, Pak Ronggo tahu bahwa anaknya pasti kecewa.

Beban hidup yang semakin berat membuatnya seringkali termenung di pos jaga. Ia memikirkan masa depan anak-anaknya, apakah mereka bisa hidup lebih layak darinya? Apakah mereka bisa meraih pendidikan yang tinggi? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, membuatnya semakin gelisah.

Suara dering telepon genggam membuyarkan lamunannya. Istrinya menelepon, suaranya terdengar lemah. "Pak, uang untuk bayar listrik sudah habis. Bagaimana ini?" tanya istrinya lirih.

Hati Pak Ronggo mencelos. Ia menghela napas panjang. "Sabar ya, Bu. Nanti Bapak carikan jalan. Mungkin Bapak bisa lembur lagi," jawabnya berusaha menenangkan.

Padahal, ia sendiri sudah merasa sangat lelah. Tubuhnya seringkali terasa sakit, namun ia tak berani mengeluh. Ia harus tetap bekerja keras demi keluarganya.

Saat fajar mulai menyingsing, Pak Ronggo kembali ke rumah kontrakannya. Ia menyaksikan matahari terbit dari balik jendela kamarnya. Cahayanya yang hangat seolah ingin membakar segala kepedihan yang ia rasakan. Namun, ia tahu bahwa perjuangannya belum berakhir. Ia harus terus berjuang, meski badannya lelah dan hatinya terluka.

Di balik wajah lelahnya, tersimpan sejuta harapan. Harapan untuk bisa memberikan kehidupan yang lebih baik bagi anak -- anak dan istrinya. Harapan untuk bisa melihat anak-anak dan istrinya tersenyum bahagia.

Dan demikianlah kehidupan terus berputar tetapi kehidupan layak yang diharapkan oleh pak Ronggo dan teman-teman sejawatnya jauh dari kenyataan bagaikan mata melihat kapal di seberang lautan yang semakin kecil karena terus menjauh. Gaji mereka naik tidak seberapa tetapi kenaikan harga kebutuhan pokok lebih kencang dari jangkauan akal sehat mereka. Hanyalah kesabaran dan kesabaran yang harus dibesarkan supaya mental tetap terjaga kewarasannya sampai akhir nafas terhenti menuju keabadian bertemu sang Pencipta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun