Ketenagakerjaan di Indonesia pasca putusan MK
Sidang putusan perkara nomor 168/PUU-XXI/2023 Â telah dibacakan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (31/10/2024). Para pemohon yang hadir dalam pembacaan putusan perkara ini adalah Partai Buruh yang diwakili Agus Supriyadi dan Ferry Nuzarli, FSPMI diwakili Riden Hatam Aziz dan Sabilar Rosyad, KSPSI diwakili Fredy Sembiring dan Mustopo, KPBI diwakili Ilhamsyah dan Damar Panca Mulya, serta KSPI diwakili Agus Sarjanto dan Ramidi.
Dalam amar putusan MK ini, memuat 21 poin penting dalam amar putusan, MK menyatakan 20 pasal dalam UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 bersyarat dan 1 pasal yakni kata "dapat" dalam Pasal 79 ayat (5) dalam Pasal 81 angka 25 Lampiran UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perkara nomor 168/PUU-XXI/2023, MK menerima sebagian gugatan yang diajukan oleh Partai Buruh dan beberapa serikat pekerja mengenai UU Cipta Kerja. Amar putusan MK mencakup beberapa poin utama terkait ketenagakerjaan yaitu:
- Pembatasan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT): Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 UU 6/2023 tidak berlaku dan MK menetapkan bahwa PKWT hanya berlaku maksimal lima tahun, termasuk perpanjangan. Hal ini penting untuk memastikan pekerja tidak terjebak dalam kontrak tanpa batas waktu yang jelas. Ketentuan ini dimaksudkan agar pekerja dapat memperoleh status pekerjaan yang lebih aman setelah lima tahun yaitu menjadi pegawai tetap.
- Penggunaan Bahasa Indonesia: Pasal 57 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 13 UU 6/2023 tidak berlaku dan MK menetapkan bahwa "Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin". Hal ini dinilai penting untuk memastikan pemahaman yang jelas antara pekerja dan pengusaha  agar perjanjian dapat dipahami sepenuhnya oleh pekerja.
- Pembatasan istirahat 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu:Â Pasal 79 ayat (2) huruf b dalam Pasal 81 angka 25 tidak berlaku mutlak dan MK menetapkan menambah frasa "atau 2 hari istirahat untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu". Hal ini penting agar perusahaan/pengusaha juga bisa menerapkan istirahat mingguan 2 hari istirahat.
- Pengupahan atas penghidupan yang layak bagi pekerja: Pasal 88 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 tidak berlaku dan MK menetapkan penjelasan penghidupan yang layak adalah "termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya, sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua."
- Kompensasi untuk Pekerja:Â Pasal 156 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 47 UU 6/2023, tidak berlaku kecuali mencantumkan frasa "paling sedikit" dan MK memutuskan agar aturan terkait pesangon atau kompensasi bagi pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) disesuaikan dengan masa kerja ditambahkan frasa "paling sedikit", hal ini lebih memperhatikan hak-hak pekerja.
- Penolakan Beberapa Poin Gugatan:Â MK menolak sebagian permohonan yang dianggap prematur atau tidak cukup beralasan, termasuk ketentuan tentang upah minimum yang dianggap belum memiliki landasan hukum yang memadai.
- Pemisahan UU Ketenagakerjaan:Â Salah satu poin utama dalam putusan ini adalah perintah kepada pembentuk undang-undang untuk memisahkan kembali ketentuan mengenai ketenagakerjaan dari Undang-Undang Cipta Kerja menjadi UU tersendiri. Hal ini dilakukan karena dianggap perlu adanya pengaturan yang lebih spesifik dan komprehensif terkait hubungan pekerja dan industrial.
Alasan putusan ini diambil untuk menyeimbangkan kepentingan pekerja dan pengusaha serta menciptakan keadilan bagi pihak yang berada dalam posisi yang lebih lemah, yaitu pekerja.
Implementasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) di Lapangan
Implementasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pasal-pasal ketenagakerjaan Undang-Undang Cipta Kerja memang tidak semudah yang dibayangkan. Terdapat beberapa kendala yang dihadapi dalam proses ini, antara lain:
- Tekanan Politik:
- Kepentingan kelompok: Adanya berbagai kelompok kepentingan yang memiliki kepentingan berbeda-beda terhadap UU Cipta Kerja dapat menyebabkan tarik-menarik dalam proses implementasi.
- Tekanan dari pengusaha:Â Pengusaha mungkin merasa dirugikan dengan beberapa perubahan yang dilakukan oleh MK, sehingga mereka dapat melakukan lobi untuk memperlambat atau menghambat proses implementasi.
- Sumber Daya yang Terbatas:Â
- Keterbatasan anggaran: Pemerintah mungkin menghadapi kendala anggaran dalam melaksanakan program-program yang diperlukan untuk mengimplementasikan putusan MK.
- Keterbatasan SDM:Â Tidak semua lembaga pemerintah memiliki sumber daya manusia yang cukup kompeten untuk melaksanakan tugas-tugas yang terkait dengan implementasi putusan MK.
- Hambatan Birokrasi:
- Birokrasi yang rumit: Prosedur birokrasi yang panjang dan berbelit-belit dapat menghambat proses pembuatan peraturan pelaksana dan perubahan kebijakan yang diperlukan dalam implementasi putusan MK.
- Koordinasi antar lembaga: Koordinasi yang kurang baik antar lembaga pemerintah dapat menghambat proses implementasi putusan MK.
- Perbedaan Interpretasi:Â
- Penafsiran yang berbeda-beda:Â Terdapat perbedaan penafsiran terhadap amar putusan MK di antara berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengusaha, dan serikat pekerja.
- Ketidakjelasan dalam putusan:Â Beberapa bagian dalam putusan MK mungkin kurang jelas atau menimbulkan multitafsir, sehingga membutuhkan penafsiran lebih lanjut.
Tanggapan Serikat Buruh atas Amar Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023
Secara umum,konfederasi serikat buruh terutama yang mengajukan yudicial review atas UU Cipta Kerja terutama terkait ketenagakerjaan menyambut positif dan gembira atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian besar gugatan mereka terhadap Undang-Undang Cipta Kerja. Putusan ini dianggap sebagai kemenangan bagi kaum pekerja dan buruh, karena beberapa pasal yang dianggap merugikan hak-hak pekerja dan buruh telah dibatalkan atau direvisi.
Seperti yang dikatakan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani dalam konferensi pers, Jakarta, Kamis (31/10/2024) bahwa Putusan MK kali ini sangat luar biasa menurutnya keberhasilan serikat buruh/serikat pekerja karena hampir 70 persen substansi yang digugat dikabulkan oleh Mahkamah Konsitusi (MK). Antara lain substansi gugatan yang dikabulkan adalah penghitungan upah minimum, upah sektoral dikembalikan, mekanisme alih daya, dan soal tenaga kerja asing. Ini merupakan sejarah yang luar biasa bagi perjuangan buruh Indonesia. Kemenangan ini bukan hanya untuk KSPSI, melainkan seluruh konfederasi walaupun tidak ikut menggugat," ujarnya.
Beberapa poin penting tanggapan serikat buruh yang disampaikan:
- Apresiasi terhadap MK: Serikat buruh mengapresiasi keberanian MK dalam mengambil keputusan yang berpihak pada kepentingan pekerja/buruh.
- Perbaikan terhadap UU Cipta Kerja: Putusan MK dinilai telah memperbaiki beberapa kelemahan dalam UU Cipta Kerja terutama terkait pasal 81 tentang ketenagakerjaan yang sebelumnya merugikan pekerja.
- Tuntutan agar pemerintah segera melaksanakan putusan: Serikat buruh mendesak pemerintah untuk segera melaksanakan putusan MK dan melakukan revisi terhadap UU Cipta Kerja sesuai dengan amar putusan.
- Perjuangan belum selesai:Â Meskipun ada kemajuan, serikat buruh menyadari bahwa perjuangan untuk mendapatkan hak-hak pekerja yang lebih baik masih panjang. Mereka akan terus mengawal implementasi putusan MK dan memperjuangkan perbaikan-perbaikan lainnya.
Secara keseluruhan, putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 telah memberikan harapan baru bagi kaum buruh di Indonesia. Namun, untuk memastikan bahwa putusan ini benar-benar memberikan manfaat bagi pekerja, diperlukan pengawasan yang ketat terhadap proses implementasinya oleh pengusaha atau perusahaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H