Hate speech (ujaran kebencian) dianggap berhasil jika berhasil menghasut orang lain untuk melakukan kekerasan atau menyakiti individu atau kelompok lain. Menurut Surat Edaran POLRI tahun 2015, hate speech dapat dikategorikan sebagai hate crime dan diatur dalam Surat Edaran Nomor 6/IX/2015 tentang Penanganan Hate Speech.Â
Hate speech dapat berupa hinaan, fitnah, provokasi, dan penyebaran informasi bohong, yang sering kali terjadi secara online. Ekspresi ini bertujuan untuk merugikan kelompok sosial tertentu dan bisa memicu konflik serta memperburuk kondisi ruang publik. Hate speech dapat berdampak buruk pada korban, menyebabkan kecemasan dan ketakutan, serta menormalkan (merasa itu normal saja) perilaku negatif tersebut di masyarakat.
Di negara-negara Eropa, hate speech (ujaran kebencian) didefinisikan sebagai pesan publik yang menghasut, mempromosikan, atau membenarkan kebencian, diskriminasi, atau permusuhan terhadap individu atau kelompok berdasarkan atribut seperti ras, etnis, agama, disabilitas, usia, atau jenis kelamin.Â
Menurut Kamus Cambridge, hate speech adalah ujaran publik yang mengekspresikan kebencian atau mendorong kekerasan terhadap orang atau kelompok berdasarkan ras, agama, jenis kelamin, atau orientasi seksual.Â
Ujaran kebencian sering dipicu oleh emosi negatif, di mana kebencian mendominasi perasaan seseorang, mengabaikan segala bentuk kebaikan terhadap pihak yang menjadi target. Ini mencerminkan suasana hati yang buruk dan afeksi yang sangat negatif. Pelaku ujaran kebencian (hate speech) sering disebut Hater kalau satu orang atau Haters kalau sekelompok orang.
Haters adalah individu atau kelompok yang tumbuh dengan kebencian dan cenderung aktif serta agresif dalam mengkritik di media sosial. Mereka sering membuat komentar kasar dan provokatif, menganggap perilaku tersebut sebagai bentuk ekspresi diri atau kritik yang lumrah.Â
Sikap negatif ini menciptakan lingkungan online yang beracun, merusak hubungan sosial, dan dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan kesejahteraan emosional korban yang menjadi target mereka.Â
Secara psikologis, tanpa disadari oleh pelaku ujaran kebencian (hate speech) bahwa korban atau taget ujaran kebencian sangat mungkin mengalami trauma, frustrasi, hingga menyebabkan korban membuat keputusan bunuh diri.
Pada saat mendekati pemilihan legislatif, kepala daerah, presiden, dan wakil presiden, frekuensi ujaran kebencian meningkat di Indonesia. Motif hate speech biasanya adalah menyerang pihak lawan untuk membuat orang lain membenci pihak lawan juga. Namun, di situs online dan media sosial yang ada di Indonesia, kasus ujaran kebencian (hate speech) ini juga merambah ke masalah SARA selain masalah politik.
Menurut data yang dirilis oleh Situs Aliansi Jurnalis Independen (AJI) (https://aji.or.id/hate-speech-monitoring) menunjukkan data hate speech menjelang pemilu serentak 2024 periode 1 September 2023 - 27 Maret 2024 menunjukkan fenomena sebagai berikut:
Platform yang dianalisis adalah Facebooks (56,83 persen), Instagram (6,6 persen), Twitter (X) (36,35 persen) dan Artikel (0,22 persen), belum termasuk platform youtube dan lainnya.
Hasil analisis menunjukkan ujaran kebencian (Hate Speech) dengan nada hinaan 33,7 persen, serangan pada identitas 37,6 persen, kata-kata kotor 13,8 persen, ancaman/hasutan 11,5 persen, seksual/vulgar 1,5 persen dan ujaran lainnya 1,8 persen.
Kalau kita lihat lebih detail untuk tiap - tiap platform:
- Facebooks: Total unggahan hate speech 58 Ribu, terdapat 45 Ribu orang yang menshare, dan 19 Ribu yang memberikan komentar. Sedangkan yang memberikan tanda emoji persetujuan terhadap unggahan hate speech 87,04 persen atau 2,28 juta orang (likes 1.321.834, love 870.223, Haha 84.059, Wow 174.569) dan tanda emoji tidak setuju terhadap unggahan hate speech 6,28 persen atau 164.173 orang (sedih 153.625 dan marah 10.548).
- Twitter (X): Total tweet hate speech 140 ribu, total impressions 2 milyar, total reach 518 juta, total likes 3 juta, total replies 153 ribu dan total retweet 1 juta
- Instagram: Total unggahan hate speech 2.452, total komentar 457 ribu, total likes 8 juta
Kesimpulan bahwa ujaran kebencian/hate speech yang dilancarkan oleh Haters baik yang mengunggah langsung dan audiens yang memberi komentar sebagian besar memberikan narasi ujaran kebencian berupa hinaan, menyerang identitas, kata-kata kotor bahkan ada narasi ancaman/hasutan 11,5 persen.
Dari ketiga platform media sosial yang biasa digunakan dalam mengunggah hate speech, twitter (X) paling banyak percakapan hate speech mencapai 140 ribu dan begitu banyak yang membaca dan memberikan reaksi balik, yang menyetujui unggahan hate speech tersebut, begitu juga yang terjadi pada platform facebook dan instagram.Â
Dampak hate speech yang dilancarkan oleh haters sangat besar terhadap audiens yang akhirnya menyetujui dan menganggap normal narasi tersebut. Dan yang memberikan emoji dan komentar penolakan terhadap hate speech jauh lebih sedikit. Dan tentu saja bagi korban hate speech yang menjadi sasaran ujaran kebencian merasa sangat terganggu apalagi kalau sampai viral, membuat  ada rasa takut dan was was untuk berinteraksi sosial dengan orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H