Ilustrasi - pekerja kantoran (Shutterstock)
Terantuk saya pada tulisan Gapey Sandy, Sebuah Tamparan untuk Blogger. Tidak ingin berkomentar tetapi rasanya cukup ingin berbagi dan menambahkan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman pribadi.
***
Setelah kurang lebih berkutat di dunia penerbitan (buku) selama 10 tahunan lebih, saya memilih “pensiun dini” pada profesi yang basic-nya, hemat saya, ada di kemampuan menulis. Sebab, tanpa kemampuan ini mana mungkin saya bisa melakukan penyuntingan, penyuntingan ulang, memindahkan format naskah dalam bentuk lay out buku, menganatomikan naskah menjadi buku, dan benar-benar “mengemas” buku menjadi buku yang layak baca.
Kadang di profesi ini saya harus rewriting (menulis ulang) naskah penulis menjadi naskah yang lebih sistemik agar layak menjadi buku. Kadang pula di profesi ini saya menemukan yang menulis (buku) pun tidak begitu paham bagaimana mengolah tulisan layak baca menjadi “layak buku”.
Akan tetapi, sudahlah. Itu profesi lama. Passion yang kini coba saya sepikan karena jalan dunia penerbitan (buku) hemat saya adalah “jalan sepi”. Karenanya, saya coba akan jelaskan maksud judul tulisan saya di atas.
***
Ini cerita lawas. Ceritanya, di masa lalu ada seorang wartawan mengajukan pinjaman pada sebuah bank karena bank itu konon membuka permintaan untuk pinjaman pada kelompok profesi. Karena wartawan itu adalah “profesi” maka dengan pedenya wartawan ini pun berupaya mengajukan pinjaman.
Cerita berlanjut. Hasilnya, wartawan ini ‘gatot’ alias gagal total untuk mendapatkan pinjaman bank. Kata pegawai banknya waktu itu, “Maaf, profesi yang kami maksud di sini adalah dokter, pengacara, dan dosen.” Seketika itu juga, lemaslah wartawan itu mendengar jawaban orang bank tersebut. Berharap dengan profesinya ia mendapat pinjaman, namun tak bakal ada satu pinjaman (uang) pun masuk ke sakunya.
Di lain cerita, kalau tidak salah ini cerita saya dapatkan dari tivi namun saya lupa akan detailnya. Ceritanya ada seorang presenter berita wanita terkenal di Jepang tiba-tiba diturunkan pangkatnya. Oleh kantornya ia di minta untuk membuat peliputan langsung. Presenter ini jelas kelabakan karena sedikit pun ia tidak memiliki pengalaman liputan langsung berita. Namun, demi tidak kehilangan pekerjaan, mau tak mau ia harus melakukannya. Dan, singkat cerita, ia memang mampu melakukannya. Hanya saja, seiring berjalannya waktu, hasil-hasil liputannya kian tak berterima oleh tempatnnya kerja. Alasan kantornya, seperti, liputannya tidak sesuai dengan kehendak kantor, materi liputannya terlalu ringan, dan sebagainya dan sebagainya. Singkat cerita, setelah mengalami beberapa kali konflik dengan tempat kerjanya itu, presenter ini akhirnya memilih mengundurkan diri dari kantor yang sudah membesarkan namanya sebagai presenter berita top negeri Sakura itu.
Pensiun dini. Stres karena konflik kantor, membuat wanita ini menanggalkan profesinya sebagai news anchor. Padahal passion-nya ada di sana dan tetap hidup. Meski kembali jadi rakyat biasa lama kelamaan ia akhirnya dapat bangkit kembali.
Ending cerita ini adalah bahwa perempuan Jepang itu lalu membuat tivi lokal yang fenomenal. Padahal liputannya kebanyakan dari warga-warga terdekat. Liputan tentang kehidupan sehari-hari serta polemik-polemik dan kisruh-kisruh kecil yang muncul di masyarakat sekitar. Kalau di tilik, bukan benar-benar liputan yang hebat, sebabnya karena ia pernah nama besar dan mencoba berikhtiar lagi meliput ulang hal-hal yang tampak sepele di depan mata. Ia menemukan apa yang disebut kini, passion.
***
Berhenti di situ. Kira-kira, sudah paham apa artinya profesi? Saya kutipkan arti profesi menurut Herry Muhammad dalam buku lawasnya, Jurnalisme Muslim: Tanggungjawab Moral Wartawan Muslim (1992: 11). Profesi adalah sebuah keahlian khusus, punya standar moral/etika atau kode etik, berguna untuk masyarakat banyak, dilaksanakan dengan penuh keyakinan diri, punya otonomi, dan biasaya ada perhimpunannya. Saya tambahkan lagi di sini penjelasannya: “… orang yang profesional adalah orang yang mempunyai keahlian khusus, dikerjakan dengan penuh kesungguhan dan optimal, serta hidup dari pekerjaannya itu”.
***
Secara letterlijk kata guyub memang saya ambil dari kata paguyuban. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dua kata ini memiliki maknanya masing-masing. Sebagai kata dasar, ‘guyub’ berarti rukun; sedangkan ‘paguyuban’ (dalam KBBI di tulis peguyuban) berarti masyarakat atau kelompok yang ikatan sosialnya di dasari oleh ikatan perseorangan yang kuat. Berdasarkan pengalaman, kata paguyuban kadang disamakan dengan kata ‘ikatan’, ‘asosiasi’, sampai ke ‘perkumpulan sosial’ atau ‘perkumpulan profesi’ tertentu. Namun hemat saya, dari sekian ‘ikatan’, ‘asosiasi’, atau apalah namanya yang mengumpulkan banyak orang dalam satu organisasi kiranya makna ‘paguyuban’ adalah makna yang mempunyai nilai dan juga peran sosial yang lebih besar bahkan terdengar fleksibel.
Ini pemikiran saya. Bahwa makna kata ‘paguyuban’ itu lebih dari sekedar kata ‘ikatan’ seperti IDI (Ikatan Dokter Indonesia) atau Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) karena tekanan makna asal kata ‘guyub’ serasa mewajibkan orang-orang yang berada di bawah ‘paguyuban’ itu harus rukun, harus “lebih sosial”, harus “merasa sebagai bagian dari sebuah keluarga”. Mungkin kalau saya bilang bahwa paguyuban itu seperti level RT/RW, seperti rukun tetangga atau rukun warga yang mengharuskan orang-orang yang ada di dalamnya saling menjaga harmoni bahkan memperhatikan satu sama lain alias saling peduli. Bukankah ini berarti ‘guyub’ atau ‘paguyuban’ memiliki titik tekan “saling menjaga satu sama lain”? Pun lewat guyub pula kita bisa lebih santai tanpa harus mengembel-embeli diri sebagai profesional?
“Kerja yang profesional, dong!” Kalimat itu kembali terulang lagi di telinga saya. Dan kata-kata itu lalu menjadi cambuk, pelecut diri agar menuntaskan pekerjaan sesegera mungkin, sementara saya kala itu merasa seperti sekrup industri belaka yang tak punya nilai apa-apa hanya sebagai pelengkap penderita. Makanya, kadang saya memaknai mereka-mereka yang mengaku “profesional” tak lebih dan tak kurang adalah bagian dari sebuah “budaya industri” yang mengusung progresivitas masif tanpa mempedulikan arti bahwa para profesional itu sebenarnya manusia-manusia juga, manusia yang punya akal dan hati. Lebih dari itu, manusia-manusia ini adalah makhluk sosial, makhluk yang perlu (dan harus) membumi agar ia dapat “bersosialisasi” – bersosialisasi di sini saya artikan dalam bentuk suatu aktivitas budaya.
Salah satu aktivitas budaya adalah belajar.
Pernah dengar istilah ‘pembelajar’? Hemat saya, manusia pembelajar adalah manusia-manusia yang berani berkembang “melampaui” profesinya. Misalnya, seorang pimpinan redaktur majalah terkemuka suatu waktu mau beralih ‘profesi’ sebagai petani (ini misalnya), mengapa tidak? Atau seorang dokter memilih jadi fotografer, padahal ia sudah punya izin membuka praktik.
Atau mau tipikal anak-anak muda sekarang? Yang lebih memilih berwirausaha, asyik dengan gadget-nya dan tidak ingin terikat dengan nama satu perusahaan? Memilih bekerja lepas. Memilih lebih sosial? Itulah yang kini banyak terkembang. Lalu sebutan mereka profesional? Wallahu a’lam. Saya lebih suka memaknainya guyub karena titik tekan tadi di atas, mereka bersosialisasi (meski mungkin di sosial media), mereka bebas menjadi pembelajar (karena tempat kerja mereka ya tempat mereka bermain, tempat yang mereka ciptakan sendiri). Karenanya, jangan heran kalau ada yang mengaku diri wanna be dengan sematan traveler blogger atau profesi blogger yang lainnya yang mereka dapatkan hanya karena belajar mandiri (autodidak). Pun mereka besar karena adanya komunitas meski itu bukan komunitas profesi atau profesional, cuma komunitas tempat kongkow-kongkow, tempat ngopi-ngopi. Namun jangan salah, justru di komunitas-komunitas ini justru muncul banyak passion yang tidak dibatasi oleh tembok industri, tidak dibatasi oleh kondisi profesional, tidak mengharuskan ini-itu.
Dan mereka-mereka yang mengaku diri profesional kadang ternganga-nganga dengan capaian para wanna be ini. Suatu pencapaian yang tak biasa dan dapat terjadi di zaman di mana semua memang dapat terjadi secara instan hanya karena tersambung dengan internet. Justru di sinilah banyak tersemai benih-benih kreativitas daripada jadi profesional yang jumud, yang tak mau terbuka terhadap perubahan cepat yang kini secara budayawi sangat akseleratif, tidak dalam hitungan bulan, minggu, atau hari. Bisa jadi terjadi seketika, sepersekian detik. Dan… . Jadi, pilih profesional atau ... . Terserah pilihan Anda. Yang tua maupun yang muda.
Wallahu a’lam, ada saja kejadian-kejadian di era sosial media ini yang membuat kita melongo. Jadi, jangan sampai ketinggalan kereta ya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H