Mohon tunggu...
Nur Amalia Fitri
Nur Amalia Fitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM Angkatan 2019

Pertama, cintai diri sendiri. Kedua, jangan berharap kepada manusia, Ketiga, bahagia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sudah Bisa Mendengarkan

20 Januari 2022   21:57 Diperbarui: 20 Januari 2022   22:31 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ini catatan keinginan kalian semua toh, itu simbah yang minta dituliskan, biar ndak lupa pas berdoa.", jawab Ibu.

"Ada catatan piutang juga?"

"Ibu juga kaget ternyata banyak yang pinjam uang ke simbah, udah sering Ibu larang karena sering kena tipu, tapi ya tetep dipinjemi uangnya.", Ibu geleng-geleng.

Aku tahu betul, simbah sudah tidak handal pendengarannya. Aku pun sering emosi ketika berbicara dengannya, lelah sekali berucap berkali-kali, menjelaskan dengan sepenuh hati, namun respon tidak sesuai dengan apa yang ingin ku terima. Kalau aku bisa bercerita dengan hujan, sudah tentu ia akan bersedia menyirami rumah persemayamannya dengan bahagia, membasahi di keringnya cuaca. Lalu, mengapa simbah mau mendengarkan? Bagaimana pula ia berusaha mendengarkan kami? 

Tak lain, ia setia duduk di samping aku sebagai salah satu cucunya yang sering cerita kepada ibu dan juga bapak, hanya sepersekian saja ia mendengar obrolan kami, tapi itulah dayanya. 

Ternyata media komunikasinya sudah sering beralih dengan tulisan. Apapun impian yang ingin diwujudkan, tak segan ia meminta tolong untuk dituliskan, sebab lupa dan rungu pendengaran sudah menyerang. Diterbangkanlah ingin-ingin kami kala pukul tiga pagi, sudah terbiasa pula bangun dengan tujuan memberi tenaga melalui doa-doanya. Untuk siapa kalau bukan untuk kami sekeluarga. 

Di sore yang sendu, aku dan Ibu duduk di depan rumah. Seperti tatapan wajahnya yang tidak pernah aku lihat di waktu sebelumnya, kini hilang dan kosong. Kehilangan Ibu sepertinya sama juga kehilangan separuh nadinya.

"Simbah itu orangnya seneng ngerawat ayam, sapi, kambing. Pecinta binatang. Waktu beliau masih sakit, berkali-kali nanya keadaan ayamnya yang pada saat itu kakinya pincang, dia jalan ke kandang dengan bantuan tongkat untuk ngasih makan.", berceritalah Ibu.

Aku tersenyum, seharian ini Ibu tidak lelah menceritakan simbah. Sepertinya beliau belum terima atas kepergiannya, rasanya masih ada di sekitar rumah ini dengan segala kepayahannya saat berjalan dan berbicara.

"Nanti kalau Ibu sudah tua, sering dijenguk ya, sering ditanya-tanya, tapi sabar nek ndak jelas mendengarnya.", ucap Ibu lagi.

"Iya, Bu. Nanti mau tinggal sama siapa? Sama Mas atau Adik?", aku berusaha menyertai tawa di wajahnya yang sudah ditetesi air mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun