Mohon tunggu...
Nur Amalia Fitri
Nur Amalia Fitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM Angkatan 2019

Pertama, cintai diri sendiri. Kedua, jangan berharap kepada manusia, Ketiga, bahagia.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Beauty Standard: Produk Kapitalis?

31 Maret 2021   09:13 Diperbarui: 31 Maret 2021   09:39 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Intensitas manusia berkecimpung dengan media sosial tidak jarang menemukan berbagai isu, salah satu isu yang menggerogoti kepercayaan diri para perempuan adalah isu beauty standard. Sebuah term yang tidak jelas ketegasan hukumnya, namun cukup ampuh membuat para perempuan melakukan banyak usaha untuk mencapai gelar cantik sesuai standar sosial.

Lucu ya, sebuah nilai relatif namun seringkali digeneralisasi menjadi nilai yang absolut atau bahkan universal. Jika berbicara mengenai nilai apalagi nilai estetika jadi teringat kalimat “de gustibus non disputandum” yang artinya nilai memang memainkan selera yang pastinya tidak bisa diperdebatkan kecuali untuk etika dan relijiusitas. Mengenai penilaian cantik, sebetulnya cukup kompleks nan rumit sebab selera manusia sulit untuk dipadu-padankan, berhubung banyaknya keberagaman gaya kecantikan itu sendiri.

Berbicara standar kecantikan tentunya tidak lepas dengan serangkaian produk perawatan yang ujung-ujungnya mengharuskan kita mengeluarkan uang. Standar kecantikan bisa dikaitkan dengan kapitalisme, sebuah mahzab ekonomi dimana cita-cita dari sebuah kegiatan ekonomi adalah mendapat untung sebanyak-banyaknya, paham ini akan menjadi baik jika diolah orang yang baik, namun akan berbeda jika pemegang mahzab ini memang benar-benar mendewakan uang. Lalu kaitannya apa standar kecantikan dengan kapitalisme?

Kita semua tahu bahwa standar kecantikan telah membuat sakit hati dan rendah diri bagi mereka yang merasa tidak masuk dalam kategori tersebut. Rasa sakit hati tersebut dimanfaatkan oleh para kapitalis dengan menawarkan produk dan sedikit janji manis sebagai jalan keluar. Tindakan persuasif ini diperkuat dengan adanya model dalam iklan produk mereka yang dipilih melalui suatu ajang pencarian model cantik yang menurutku juri dalam kontes tersebut adalah sekumpulan orang kurang kerjaan yang menilai rupa fisik perempuan. Hal ini didukung dengan cacatnya media yang tidak utuh menggambarkan tekstur kulit yang berpori di dalam layar ponsel atau televisi kita sehingga otak kita mencatat bahwa wanita berjerawat, berpori, dan berkulit kusam adalah wanita terkutuk. Lebay, ah.

Tidak berhenti di situ, dewasa ini media sosial setiap hari dipenuhi konten sampah yang menayangkan berbagai produk kecantikan dengan menyewa artis media sosial untuk mempromosikan produk tersebut, padahal kedua belah pihak bukan berlatar belakang kesehatan kulit atau jika ingin berdagang produk kecantikan setidaknya tahu mengenai detail kandungan dari produk kecantikan yang dipromosikan.

Cerita lama tentang standar kecantikan salah satunya ialah drakula yang haus akan darah. Dikisahkan ada seorang ratu yang selalu mencari darah gadis perempuan untuk diminum agar senantiasa awet muda dan cantik. Hm, isu standar kecantikan memang sudah lama terpupuk, menguntungkan bagi yang berkepentingan namun di sisi lain muncul banyak merugikan.

Standar kecantikan ini juga bermula dari kebudayaan berbagai daerah. Pada suku Kayan di Myanmar misalnya, memiliki standar cantik jika wanita itu memakai banyak kalung sehingga menumpuk di leher dan menjadikan leher panjang, di Tiongkok dengan lotusfin (kaki dibentuk sedemikian hingga sehingga bisa memakai sepatu kecil), atau di Ethiopia dengan memasang piring lebar di bibirnya, dan di Vietnam dengan gigi hitam, serta standar kecantikan daerah lainnya. Ini membuktikan bahwa lingkungan memengaruhi paradigma pikir kita dalam menentukan standar kecantikan.

Di masa modern kontemporer, standar kecantikan dipengaruhi oleh dunia global yang diperluas dengan maniaknya media sosial. Semakin berkembang ilmu pengetahuan, berkembang pula cara mudah untuk menjadi cantik misalnya melalui jalan operasi. Pilihan ini memerlukan uang dan tentunya terbatas pada orang yang memiliki uang saja yang sanggup membayarnya, pun sebetulnya hal ini masih menjadi tabu untuk negara kita. Operasi untuk memancungkan hidung, mengisi bibir agar lebih berisi, atau meniruskan wajah, merupakan serangkaian tindakan yang menyakiti tubuh sendiri sekaligu mengubah ciptaan dari Maha Pembuat Keindahan.

Mari menghela nafas, pelan-pelan bertanya, untuk apa?

Pikiran yang perlu dibangun dalam diri kita jika membeli produk ialah bertujuan untuk menjadi sehat luar dalam dan mengembalikan warna kulit kita yang asli sekaligus bentuk rasa syukur kita telah diberi rupa yang begitu eloknya.

Cantik dari dalam juga perlu dipupuk dengan serius dimulai dengan menjadi pendengar yang baik, berakhlak yang santun dan elegan, saling menguatkan sesama perempuan, sikap terbuka kepada banyak suara, serta memiliki pilihan untuk menjadi diri sendiri, dari hal tersebut perlahan akan muncul rasa percaya diri. Seperti itulah yang harus kita definisikan sebagai perempuan cantik, yang berdedikasi dari dalam dan luar, yang membawa nilai positif kepada sekitarnya, dan banyak hal lagi yang sebetulnya kamu sudah lakukan.

Jadi, tips cantik. Pertama, terima dan cintai dirimu sendiri. Selebihnya bersyukur dan rawat dengan sewajarnya.

Wahai aku, aku mencintai aku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun