Latar Belakang Kasus Suku Moi
Sebelumnya Bupati Sorong, yaitu Johny Kamuru pada 27 April tahun 2021 resmi mencabut izin lokasi, izin lingkungan dan izin usaha  empat perusahaan di Sorong, salah satunya yaitu PT Sorong Agro Sawitindo (SAS), Tindakan ini merupakan tindak lanjut bupati dalam kajian dan evaluasi perizinan usaha perkebunan kelapa sawit bersama tim strategi nasional, yaitu KPK dsn KLHK. Pencabutan dilakukan karena Perusahaan tidak memenuhi ketentuan prosedur dan tidak memenuhi kewajiban Izin Usaha Perkebunan (IUP). Disampaikan juga oleh bupati sorong pada 24/08/2021 bahwasannya "pencabutan izin ini sesuai prosedur yang ada. Demi rasa keadilan dan kenyataan di lapangan. Sesuai dengan kondisi lingkungan hidup disana, sesuai dengan hak-hak masyarakat adat kita disana. Dari semua segi perusahaannya sudah melanggar dan tidak bisa lagi kita toleransi. Sehingga kita cabut izinnya." Setelah mencabutnya Bupati akan menyerahkan lahan tersebut kepada masyrakat adat sehingga disambut baik oleh masyarakat Suku Moi.
Perlawanan Suku Moi dengan PT Sorong Agro Sawitindo
Tiga dari empat Perusahaan melakukan perlawanan dengan menggugat bupati sorong, salah satunya PT SAS. Perusahaan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) sebelumnya pemegang konsensi perkebunan kelapa sawit seluas 40.000 ribu hektar yang terletak di Kabupaten Sorong, Papua Barat. Awal tahun 2022 melalui SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2012 pemerintah mencabut izin pelepasan kawasan hutan yang dipegang PT SAS. BKPM kemudian mencabut izin usaha PT SAS melalui keputusan Nomor : 20221227-21-0006 tanggal 22 Desember 2022. Perusahaan tidak terima atas keputusan tersebut lalu mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta dengan perkara 368/G/2023/PTUN.JKT meminta pembatalan. Akan tetapi dalam gugatan tersebut dimenangkan oleh pihak Perusahaan. Sehingga Suku Moi memutuskan melawan gugatan PT SAS, dengan mengajukan permohonan intervensi ke PTUN Jakarta, dalam perkara 368/G/2023/PTUN/JKT, yang meminta pembatalan pencabutan izin pelepasan kawasan hutan dan pencabutan izin usaha perkebunan (IUP). Permohonan intervensi itu dilakukan perwakilan masyarakat adat Suku Moi pada Desember 2023. Masyarakat Suku Moi khawatir jika perusahaan memenangkan gugatan, maka hak-hak mereka akan hilang dan sumber kehidupan yang bergantung pada hutan, tanah, dan sungai akan terancam. Hutan bagi Suku Moi bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga sumber makanan, obat-obatan tradisional, dan bahan baku kehidupan sehari-hari untuk keberlangsungan hidup mereka. Masyarakat juga mengkhawatirkan dampak negatif dari aktivitas perkebunan kelapa sawit terhadap lingkungan, termasuk potensi kerusakan ekosistem sebab adanya deforestasi. Tetapi permohonan intervensi Suku Moi di PTUN Jakarta tersebut Hakim menolak gugatannya. Kemudian pada 3 Mei 2024 masyarakat Suku Moi mengajukan kasasi di Mahkamah Agung. Mereka menggantungkan harapan kepada Mahkamah Agung untuk mempertahankan hutan adat yang sudah menjadi warisan leluhur dan menghidupi mereka turun-temurun. Bahkan Transparency International Indonesia mendesak MA untuk mencabut izin korporasi dengan mempertimbangkan aspek keadilan lingkungan, dan pemenuhan HAM dalam setiap kebijakan pembangunan, sehingga majelis hakim bukan sekadar mempertimbangkan legalitas dari negara berupa kepemilikan izin kelayakan lingkungan perusahaan.
Siapa Suku Moi itu?
Suku Moi adalah Orang Asli Papua yang mewarisi, menguasai dan memiliki tanah dan hutan adat sudah sejak turun temurun hingga saat ini. Keberadaan Suku Moi telah diakui Pemerintah melalui Peraturan Daerah (perda) Kabupaten Sorong Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong, sebagaimana termuat dalam Pasal (2) yang berbunyi: "Dengan Peraturan Daerah ini Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong memberikan Pengakuan dan Perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong". Sehingga sudah jelas Lembaga pemerintah, seperti KLHK dan pemerintah daerah harus bertindak sesuai dengan aturan yang ada. Bahkan dijelaskan juga pada pasal 18B UUD 1945 bahwa negara menghormati dan mengakui hukum adat serta hak-hak masyarakat hukum adat. Ini memberikan dasar konstitusional untuk pengakuan hukum adat. Namun dalam realitanya tidak sesuai dengan aturan yang ada.
Masyarakat adat Suku Moi kebanyakan belum tau kalau wilayah adatnya mereka dibebani izin oleh Perusahaan-perusahaan perkebuanan kelapa sawit, baru mengetahuinya setelah adanya evaluasi dan pencabutan izin Perusahaan pada 2021. Disebutkan data dari Center For Internasional Forestry (CIFOR) antara tahun 2020 dan 2019, sekitar 168.471 hektare hutan di Provinsi Papua telah diubah menjadi Perkebunan. Pada tahun 2020, Papua kehilangan 17,8 juta hectare hutan primer dari total 24,5 juta hectare (angka tahun 2021,Global Forest Watch) atau setara dengan 14,5 juta emisi CO.
Tanah adat merupakan kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, di mana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. (Chomsah, Ali Achmad,. Hukum Pertanahan (Pemberi Hak Atas Tanah Negara) Cetakan I, Prestasi Pustaka. Yogyakarta, 2002 hal 76)
Kegagalan pemerintah dalam tata kelola hutan di Papua ini menjadi ancaman bagi masyarakat adat, dampak besarnya mereka akan kehilangan sumber-sumber penghidupan mereka, karena hutan dan sumber daya alam di Papua merupakan satu kesatuan utuh dari ruang hidup mereka. Jika kemudian hutannya dirusak, sumber daya alamnya dikeruk, hak tersebut akan berpengaruh secara signifikan terhadap ruang hidup meraka dan dapat berdampak juga bagi selain masyarakat adat Papua, sebab hampir 50% hutan di Indonesia berasal dan tertinggal di Papua. Sehingga berdampak pada identitas Indonesia sebagai negara hutan hujan dan akan memperparah krisis iklim untuk kedepannya. Seharusnya pemerintah dalam memberikan izin kepada Perusahaan-perusahaan seharusnya memberikan ruang sosisalisasi kepada masyrakat adat secara komprehensif mengenai hal tersebut, bukan malah dengan keputusan sepihak atau kepentingan beberapa oknum saja.