Awalnya ini adalah jalan-jalan biasa untuk melihat suku kajang tapi kemudian berubah jadi wisata belajar kehidupan, kesederhanaan, dan bagaimana harusnya kita memperlakukan alam secara baik dan bijak.
Tidak ada yang bisa mengingkari kenyataan bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang sangat kaya akan keanekaragaman budaya dan sumber daya alam yang terbentang dari sabang sampai merauke. Selain itu juga bahwa Indonesia dikenal sebagai Negara yang bermulti etnik dan tentu saja masing-masing etnik tersebut memiliki ciri khas dan adat istiadat yang berbeda-beda pula.
Salah satu wujud kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia adalah hutan yang membentang sepanjang zamrud katulistiwa. Ini menjadikan hutan Indonesia sebagai salah satu paru-paru dunia yang menopang keseimbangan dan kelangsungan hidup manusia di atas bumi.
Melihat realitas yang ada sekarang, dari tahun ke tahun salah satu paru-paru dunia itu ibarat terkena kanker ganas. Ini akibat dari pada pengelolaan hutan yang sangat tidak bijak, mengeksploitasi hutan dengan semena-mena demi kepentingan pribadi baik itu secara legal maupun illegal. Hutan tidak dipandang lagi sebagai ibu pertiwi yang harus dijaga dan dilestarikan melainkan menjadi suatu komoditi yang sangat menguntungkan bagi segelintir orang yang sangat rakus akan kekayaan.
Di tengah maraknya eksploitasi hutan yang tidak bijak, hal menarik melihat praktek masyarakat sebagai kearifan lokal suku Kajang di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan masih memberikan secercah harapan akan suatu lingkungan yang lestari. Meskipun tanpa pengetahuan formal, mereka tahu bagaimana cara berinteraksi dengan lingkungan hidup. Lingkungan diperlakukannya tidak sebagai hal yang patut dieksploitasi, melainkan sebagai pendamping hidup dalam kehidupan sehari-hari mereka. Oleh karenanya tidak mengherankan jika hutan yang berada di sekitar areal tersebut hingga hari ini masih terjaga kelestariaannya.
Daerah suku Kajang ini secara wilayah berada di kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Perjalanan dari Kota Makassar menempuh waktu kurang lebih 4 jam melewati jalur trans sulawesi Gowa-Takalar-Jeneponto-Bantaeng-Bulukumba. Teman-teman yang akan melakukan traveling atau ingin berkunjung ke daerah suku kajang sebaiknya menyiapkan pakaian serba hitam untuk menghormati tradisi setempat. Warna hitam bagi masyarakat kajang sebagai bentuk persamaan segala hal termasuk kesamaan dalam hal kesederhanaan. Warna hitam menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di depan sang pencipta. Kesamaan dalam bentuk lahir, menyikapi keadaan lingkungan, utamanya kelestarian hutan yang harus dijaga sebagai sumber kehidupan.
Dalam melaksanakan ajarannya, masyarakat adat suku kajang berpegang pada pasang yang diturunkan oleh Turiarakna (Tuhan). Terkait dengan kearifan suku kajang dalam menjaga kelestarian hutan sampai hari ini tidak terlepas dengan prinsip tallase kamase-mase yang mereka jalankan.Tallase kamase-mase sendiri adalah suatu pasang yang mengajarkan masyarakat adat ammatoa atau suku kajang untuk berperilaku dan menjalankan hidup secara sederhana dalam kesehariannya sehingga keinginan untuk hidup berlebih-lebihan dalam mengambil hasil hutan dapat dihindari.
Hidup sederhana bagi masyarakat Kajang adalah semacam ideologi yang berfungsi sebagai pemandu dan rujukan nilai dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Secara lebih jelas tallase kamase-mase ini tercermin dalam pasang sebagai berikut:
1. Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu kamase-mase, a’dakkako nu kamase-mase, a’meako nu kamase-mase artinya; berdiri engkau sederhana, duduk engkau sederhana, melangkah engkau sederhana, dan berbicara engkau sederhana.
2. Anre kalumannyang kalupepeang, rie kamase-masea, angnganre na rie, care-care na rie, pammalli juku na rie, koko na rie, bola situju-tuju. Artinya; tidak ada kekayaan yang kekal, yang ada hanya kesederhanaan, makan secukupnya, pakaian secukupnya, membeli ikan secukupnya, kebun secukupnya, rumah seadanya.