Mohon tunggu...
Nur Ajizah
Nur Ajizah Mohon Tunggu... Lainnya - -

Bismillah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Bapak Pulang

12 November 2020   17:48 Diperbarui: 12 November 2020   18:22 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepanjang perjalanan pulang mereka bertukar cerita. Menceritakan bagaimana Ajizah disekolah, cerita tentang bagaimana Ibu pernah bekerja dulu, cerita tentang dua bayi kecil dan lainnya. Hingga tak terasa sudah setengah perjalanan ditempuh. Ditengah jalan ada suara yang memanggil.
"Hei, cepat jalannya. Jalannya kok lambat sekali". Teriak orang itu dengan melambaikan tangan.

Setelah dilihat ternyata itu Bapak. Beliau pulang naik ojeg dengan gerobak yang diikat ke belakang motor. Alasannya naik ojeg karena selain lelah setelah berdagang, kaki nya tak akan bila harus mendorong gerobak ditanjakan Citra, ditambah penyakit TBC Bapak yang sudah sebulan terasa.
Ajizah tertawa melihat tingkah Bapaknya.

Begitulah sikap Bapak, humoris. Mereka terus memandanginya sampai motor itu berbelok, tidak terlihat. Raut wajah lelah Ibu kini diganti dengan tawa. Ajizah pun tersenyum bahagia. Selain bahagia karena melihat wajah Ibu, Ajizah juga senang Bapak sudah pulang, karena sebelum solat Jumat Bapak berencana mengantarnya memotong rambut. Mungkin sikap Ajizah itu seperti anak kecil, kemana mana harus diantar Bapak, tapi baginya bersama Bapak itu momen yang menyenangkan. Bapak selalu bercerita, berbagi pengalaman, memberikan ilmu dan melontarkan lelucon yang menggelikan.

Beberapa menit setelah itu mereka tiba dirumah. Ajizah mengedarkan pandangan, rumah begitu sepi, kakak kakaknya sedang menemani anaknya dikamar, tidak ada gerobak Bapak. Padahal seharusnya gerobak Bapak sudah terparkir didepan rumah.
"Teh, Bapak mana? Bapak belum pulang? Padahal tadi Bapak pulang duluan naik ojeg." Kata Ajizah. Teteh adalah panggilan untuk kakak perempuan.
"Bapak belum pulang. Mungkin Bapak masih dijalan, ngobrol dulu sama tetangga." Jawabnya. Ajizahpun berpikir begitu.
Semuanya berkumpul ditengah rumah, menyantap batagor yang tadi dibeli sambil menunggu Bapak pulang.
Beberapa menit kemudian seorang tamu datang kerumahnya, ternyata itu adalah sodaranya, Mang Maman. Kerutan diujung mata dan dahinya sudah terlihat, mungkin umurnya sekitar 35 tahun. Memakai kaos putih yang dipadukan dengan celana jeans biru pudar. Wajahnya yang biasa dihiasi senyuman, waktu itu diganti dengan wajah serius. Entah informasi apa yang dia sampaikan sampai membuat wajahnya seserius itu.
"Eh Jang, sini masuk kedalam. Tumben kesini, ada apa?" Tanya Ibu. Ibu memanggilnya dengan sebutan Ujang, karena beliau lebih muda dari Ibu.
"Bi, jangan panik ya. Bibi tenang dulu. Bibi harus tetap diam disini." Jawabnya. Membuat semua orang bingung, apa maksud dari ucapannya itu.
"Mang jatuh". Lanjutnya. Mang yang beliau maksud adalah bapak ku.
Mendengar ucapannya itu. Ibupun panik dan menangis. "Astaghfirullah, jatuh dimana?" Ibu yang tadi nya duduk kini berdiri. Ajizah pun ikut menangis. Dalam pikirannya terbayang Bapak jatuh dan harus segera dilarikan ke rumah sakit.
"Bibi tenang dulu, Mang sedang dibawa kesini". Beliau mengusap pundak Ibu, mencoba menenangkan. Tapi Ibu ku tak bisa tenang, beliau berlari keluar rumah, semuanya langsung menyusul.
Bagai petir disiang bolong, baru saja keluar beberapa langkah dari rumah, terlihat sebuah keranda yang dibawa oleh empat orang pemuda menuju rumah Ajizah. Tangis pecah, badannya lemas hingga terjatuh ke tanah, tak percaya dengan apa yang  dilihat.
"BAPAK..." Ajizah berteriak, kakinya menendang nendang, tangannya memukul tanah, tak terima dengan kenyataan ini. "BAPAK..."
Ibu menangis histeris, badannya lemas hingga saudara Ajizah harus menahan badan Ibu. Semua orang keluar rumah, kakaknya histeris menangis, berteriak tidak terima sambil menggendong bayi nya, adik adik juga begitu. Semua orang yang mendengar jeritan dan tangisan segera keluar rumah, lalu ikut menangis. Ajizah tetap berteriak, berteriak sekencang kencangnya memanggil Bapak yang kini ada dalam keranda mayat, berharap beliau bisa mendengar dan bangun kembali. Tangisan terus mengalir dipipinya seperti air sungai.
Keranda itu sudah masuk kedalam rumah. Dua orang bapak bapak menyiapkan karpet dan yang lainnya mengangkat bapak dan menidurkan dikarpet itu. Ibu dituntun mendekati Bapak, Ajizah diangkat agar bisa mendekati Bapak. Semuanya berkumpul, memegang bapak.
Baju Bapak sudah dibuka, hanya tersisa celana pendek selutut yang Bapak kenakan. Terlihat badannya yang kurus, wajahnya tenang dan badannya yang masih panas. Mungkin suhu tubuhnya masih tinggi karena beliau baru pulang berdagang, kelelahan.
Tangisan tak terbendung, rumah mulai penuh oleh para warga. Ibu masih tidak terima dengan kenyataan, beliau memegang tangan Bapak. "Pak, bangun Pak. Ini Ibu Pak. Ayo bangun Pak.. hiks hiks hiks..." Kemudian kedua tangan Ibu memegang pipi Bapak. "Pak bangun Pak, kalau Bapak sayang sama Ibu, Bapak harus bangun. Pak bangun Pak. Hiks hiks hiks... Kalau gak ada Bapak, Ibu mau gimana? Pak, bangun Pak." Lanjutnya. Semakin sakit Ajizah rasakan saat melihat Ibunya seperti itu.
Semuanya pun sama, mencoba membangunkan Bapak, berharap ada keajaiban. Hingga seorang bapak bapak mengambil kain untuk menutupi Bapak, melihat hal itu Ajizah tidak terima, berkali kali dia tepis kain itu agar tidak menutupi Bapaknya. "BAPAK BELUM MATI, JANGAN TUTUPI DIA, BAPAK BELUM MATI... Hiks hiks hiks.." Ajizah berteriak.
Dalam hati dia mencoba meyakinkan diri kalau Bapak belum meninggal, meskipun nyata nya Bapak tak jua bangun lagi.
"Neng yang sabar neng, harus ikhlas harus terima." Bapak itu mencoba menenangkannya dan mencoba menutupi tubuh Bapak yang kini sudah terbaring kaku. Lalu ibu juga mencoba menepisnya.
"Neng telpon aa, telpon juga dokter. Kita bawa Bapak ke rumah sakit." Ibu memerintahnya,  dengan nada sedikit tinggi. Aa yang dimaksud adalah kakak Ajizah yang pertama, Abdul Rahman.
Dengan tangan gemetar, Ajizah membuka handphone dan menelpon kakaknya. Tapi tidak diangkat juga, lalu menelpon ke kakak iparnya, istri dari kakak pertama, Trisna. Telpon nya diangkat.
"Halo, teh..Hiks hiks hiks.... " Tangisnya terus mengalir, tak sanggup mengatakannya. "Teh.. Bapak... Bapak...Hiks hiks hiks.."
"Bapak kenapa? Kenapa kamu nangis".
"Teh Bapak... Bapak meninggal... Cepet kesini teh, sama aa..". Tangis semakin pecah. Ajizah berteriak lagi, terus berteriak. Dua orang warga berusaha menenangkan, mengelus pundak. Ajizah melihat Azam, adiknya yang bungsu menangis, hatinya makin teriris. Ialu memeluknya, menenangkannya.
"Teh Bapak.. Bapak... Meninggal.. Hiks hiks hiks.." Ucap Azam, membuat Ajizah memeluknya semakin erat.
Kakak pertamanya datang, dia langsung menangis didekat Bapak dan memeluk Ibu. "A telpon dokter. Bawa Bapak ke rumah sakit." Ucap Ibu. Tanpa berlama lama, ia segera pergi mencari dokter yang paling dekat. Beberapa menit kemudian, dokter datang memeriksa Bapak dan hasilnya Bapak memang sudah meninggal.
Ibu semakin menjerit mendengarnya, Ibu terus memanggil manggil Bapak dan berusaha membangunkannya. Lalu sebagian warga sibuk menyiapkan pemandian dan pemakaman Bapak. Kakak pertama begitu tegar, dia mengurus semuanya dan berusaha menahan tangisnya. Kakaknya yang lain menelpon suaminya yang bekerja, dua bayi pun menangis digendong oleh tetangga. Ajizah masih dengan tangis dan tangan gemetar, berusaha menghubungi saudara yang lain dan memberikan pesan pada temannya.
Warga datang silih berganti, keluarga yang jauh mulai berdatangan. Persiapan pemandian sudah selesai, kemudian Bapak dimandikan dan dikafani. Selama proses itu, tak henti hentinya Ibu dan kakak kakaknya menangis. Ajizah berusaha menyudahi tangisan itu dan menyiapkan bunga untuk dipemakaman nanti, tapi nyatanya ia tak bisa. Air matanya terus mengalir, tidak bisa dikontrol. Orang yang beberapa jam lalu dilihatnya kini sudah terbaring kaku, tidak bangun lagi. Tawa yang lalu, diganti tangisan tak berkesudahan.
Aktifitas pengurusan jenazah dihentikan, semua laki laki pergi untuk solat jumat. Solat jenazah dilaksanakan setelah solat jumat, banyak orang yang menyolatkan. Makam sudah selesai digali, jenazah Bapak sudah berada didalam keranda yang diangkat empat pemuda, siap membawa jenazah ke peristirahatan terakhirnya. Ibu semakin tak kuat melihatnya, badannya lemas, beliau dituntun oleh dua orang tetangga yang lain. Ajizah pun menangis bersama adiknya. Tak disangka hari itu ia mengantarkan Bapaknya ke tempat peristirahatan terakhir.
Proses pemakaman sudah selesai, lantunan doa sudah dibacakan dan bunga sudah ditaburkan. Orang orang mulai berangsur pergi meninggalkan pemakaman. Ibu masih menangis, mengucap selamat tinggal. Ajizah masih tak percaya, dibawah gundukan tanah merah ini terbaring sosok Bapak yang ia sayangi.
Pulang kerumah, masih ada sebagian keluarga yang diam menangis. Ajizah melihat Ibu seperti tak berselera hidup. Dia tidak mau makan, tidak mau minum, tidak mau apapun. Air matanya mengalir. Hingga kakak kedua membawa sepiring nasi, mencoba membujuk Ibu untuk makan.
"Bu, makan yah. Supaya Ibu gak sakit". Katanya. Tapi Ibu menggelengkan kepala dengan perlahan. Ia tidak mau. "Bu, kalau Ibu sayang sama anak Ibu, Ibu harus makan." Lanjutnya sambil menangis. Ajizah pun menangis juga. Akhirnya adiknya yang bungsu mengambil sendok untuk menyuapi Ibu. "Bu, makan ya." Sambil menangis. Akhirnya semuanya menangis lagi. Hati siapa yang tak teriris ditinggal oleh seorang Bapak dan kini melihat Ibunya begitu sedih. Sungguh hal itu menyakitkan.
Setelah beberapa hari Bapak meninggal, Ibu tidak mau makan, Ibu tidak banyak bicara, Ibu hanya melamun dan menangis. Ajizahpun begitu, tapi ia selalu menyembunyikan tangis. Tangisnya pecah di setiap malam, disaat semua tertidur. Bukan ingin dilihat tegar dimata orang lain, tapi ia tidak ingin keluarganya melihat dia menangis yang pada akhirnya Ibu akan semakin terpuruk.
Tepat seminggu setelah Bapak meninggal. Ibu mengajak Ajizah ke makam Bapak, berziarah. Karena makamnya tidak terlalu jauh dari rumah, mereka pergi berjalan kaki. Tiba disana, mereka berdoa, menaburkan bunga dan membersihkan makamnya. Lalu pulang kerumah.
Ditengah perjalanan pulang, Ibu dan Ajizah bertemu dengan saudara yang waktu itu datang kerumah memberi kabar tentang kematian Bapak. Beliau menceritakan awal dia mengetahui keadaan Bapak.
Waktu itu Bapak turun dari ojeg dan membereskan gerobaknya. Beliau hendak membenarkan kompornya yang agak rusak, waktu itu posisinya jongkok. Entah kenapa Bapak langsung berdiri, sepertinya Bapak merasakan sakit. Badannya limbung dan terjatuh. Para warga yang melihatnya langsung membawa ke halaman rumah warga yang terdekat. Lalu Mang Maman datang melihat kerumunan warga dan mendekatinya. Beliau terkejut melihat Bapak tidak sadar.
"Mang, Mang, ini Maman... Sadar Mang." Ucapnya. Bapak menjawabnya dengan bergumam.
"Mang, ulangi kata kata saya ya... Laa ilaa ha illallah.. Laa ilaa ha illallah."
"Laa... Ilaa... Ha illallah." Jawab Bapak, kemudian menghembuskan nafas terakhir.
Mang Maman menghembuskan nafas pasrah. Tanpa pikir panjang, ia mencoba menggendong Bapak membawa ke rumah. Tapi kata warga tidak usah, biarkan warga disini yang mengurusnya. Mang Maman segera pergi ke rumah, memberitahu tentang kabar ini.
Sebenarnya waktu itu Mang Maman ingin langsung mengatakan keadaan yang sebenarnya, tapi ia tak kuasa mengatakannya. Jadi ia hanya berkata "Mang jatuh."
Setelah mendengar cerita itu, Ibu terdiam bisu dan air matanya mengalir lagi. Ajizah segera membawanya pulang.
Dimalam harinya, Ajizah menangis. Tangisan rindu dan kehilangan. Membayangkan cerita kematian Bapak. Tapi bibirnya tersenyum. Ia tersenyum karena ternyata Bapaknya meninggal dalam keadaan baik. Beliau masih bisa mengatakan lafadz Tauhid dan beliau meninggal dihari Jumat, dimana hari itu disebut raja nya hari dan yang meninggal dihari itu tidak akan disiksa dikuburnya. Juga beliau meninggal saat mencari nafkah, bukankah orang yang mencari nafkah itu sama dengan sedang berjihad? Ajizah tersenyum lagi, Bapaknya pergi sebagai mujahid. Ia sendiri belum tentu meninggal dalam keadaan seperti itu.
Hingga tak terasa satu bulan berlalu, kesedihan mulai berkurang. Meski disetiap sehabis solat Ibu masih tetap menangis. Dan sebulan itu pula mental Ajizah down.
Bulan bulan berikutnya bergulir begitu cepat, semuanya terlihat seperti biasa lagi. Ibu mulai terhibur oleh cucu cucu nya yang menggemaskan. Kakak kakaknya pun selalu menyempatkan waktu untuk mampir ke rumah melihat kondisi Ibu. Hanya satu hal yang tidak boleh dilakukan saat bersama Ibu, yaitu jangan mengungkit hal hal yang berkaitan dengan bapak.  Karena setelah itu, pasti Ibu akan menangis.
Hikmah yang ambil dari kejadian itu, kini pemikiran Ajizah lebih dewasa. Ia harus berusaha menjadi kakak yang baik bagi adik adikku, dia harus menjadi anak yang baik bagi ibunya, dia harus menggantikan peran Bapak membimbing adiknya belajar, ia harus menjadi tempat bercerita dan tempat berkeluh kesah ibunya. Ajizah harus kuat demi keluarganya.
Meskipun kadang ia merindukan sosok bapak. Ajizah ingin bercerita tentang masa SMA nya, ia ingin dibimbing lagi olehnya, ia ingin mendengar kisah dan leluconnya, ia butuh kasih sayang bapak, ia ingin dihari kelulusannya nanti dengan bangga akan berteriak. "PAK, ANAKMU INI TELAH LULUS SMA, SEPERTI APA YANG BAPAK INGINKAN".
Tapi semua itu harus ia pendam dan menyampaikan rindunya lewat doa.

Nur a.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun