Pola Pangan Harapan (PPH) atau Desirable Dietary Pattern (DDP) adalah susunan keragaman pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama pada tingkat ketersediaan maupun konsumsi pangan. PPH merupakan instrumen untuk menilai situasi konsumsi pangan wilayah yang dapat digunakan untuk menyusun perencanaan kebutuhan konsumsi pangan ke depan, dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya dan preferensi konsumsi pangan masyarakat. Selain itu, PPH juga dapat dijadikan acuan untuk menentukan sasaran dalam perencanaan dan evaluasi penyediaan khususnya produksi pangan.
PPH pertama kali diperkenalkan oleh FAO-RAPA pada tahun 1988, yang kemudian dikembangkan oleh departemen pertanian Republik Indonesia melalui tahap workshop yang diselenggarakan Departemen Pertanian bekerja sama dengan FAO. Tujuan utama penyusunan PPH adalah untuk membuat suatu rasionalisasi pola konsumsi pangan yang dianjurkan, yang terdiri dari kombinasi aneka ragam pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan sesuai cita rasa.
Untuk pertama kali, PPH untuk kawasan Asia Pasifik dikembangkan berdasarkan data pola pangan (pola ketersediaan pangan) dari neraca bahan pangan karena bahan inilah yang mudah tersedia dan tersedia secara berkala setiap tahun. Sementara data konsumsi pangan dari berbagai negara di kawasan Asia Pasifik tidak tersedia secara terbuka.
Dengan pendekatan PPH, keadaan perencanaan penyediaan dan konsumsi pangan penduduk diharapkan tidak hanya dapat memenuhi kecukupan gizi (Nutritional Adequacy), tetapi sekaligus mempertimbangkan keseimbangan gizi (Nutritional Balance) yang didukung oleh cita rasa (Palatability), daya cerna (Digestability), daya terima masyarakat (Acceptability), kuantitas dan kemampuan daya beli (Affortability).
Pola konsumsi pangan penduduk Indonesia masih terdapat ketimpangan hal ini dikarenakan :
- Masih tingginya konsumsi padi-padian terutama beras.
- Masih rendahnya konsumsi pangan hewani, umbi-umbian, serta sayur dan buah.
- Pemanfaatan sumber-sumber pangan lokal seperti umbi, jagung, dan sagu masih rendah.
- Kualitas konsumsi pangan masyarakat yang ditunjukkan dengan skor Pola Pangan Harapan. (PPH) masih belum mencapai kondisi ideal.
- Diperlukan upaya untuk menganekaragamkan konsumsi pangan masyarakat menuju skor PPH yang ideal agar hidup sehat, aktif, dan produktif.
- Kebijakan terfokus pada peningkatan produksi dan belum mempertimbangkan kecukupan gizi (nutrition sensitive production system).
Penghitungan Skor PPH dimaksudkan untuk menganalisis pola konsumsi pangan suatu masyarakat terhadap pola konsumsi pangan yang ideal (Pola Pangan Harapan). Skor PPH ini berfungsi sebagai:
- Indikator mutu gizi dan keragaman konsumsi atau pangan.
- Baseline data untuk mengestimasi kebutuhan pangan ideal di suatu wilayah.
- Baseline data untuk menghitung proyeksi konsumsi dan penyediaan pangan ideal untuk suatu wilayah.
Berdasarkan Hasil Analisis Konsumsi Pangan pada Tahun 2022, kualitas konsumsi pangan masyarakat Provinsi Jawa Barat yang ditunjukkan oleh skor Pola Pangan Harapan, sudah cukup baik meskipun belum mencapai kondisi ideal. Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Jawa Barat mengalami kenaikan dalam tiga tahun. Pada tahun 2019 Skor PPH Jawa Barat sebesar 78,3, tahun 2020 sebesar 81 tahun 2021, dan pada tahun 2022 sebesar 84,3. Konsumsi Protein Per hari masyarakat Jawa Barat Tahun tahun 2020 sebesar 58,5 Gram/Kapita, pada tahun 2021 sebesar 60,5 Gram/Kapita, dan tahun 2022 sebesar 63,9. Secara agregat konsumsi protein masyarakat Jawa Barat telah memenuhi Angka Kecukupan Protein (AKP) yang direkomendasikan WNPG VIII  Tahun  2004  sebesar  52  gram/kapita/hari.
Peningkatan ini sejalan dengan peningkatan konsumsi energi dari tahun 2020 sebesar 2010,9 kkal/kapita/hari menjadi 2165,3 kkal/kapita/hari  tahun  2021, sedangkan pada tahun 2022 mengalami kenaikan menjadi 2260 kkal/kap/hari. Konsumsi energi ini diatas Angka Kecukupan Energi (AKE) yang direkomendasikan WNPG VIII Tahun 2004 sebesar 2000 kkal/kapita/hari. Namun secara kualitas kontribusi Angka Kecukupan Energi ini masih didominasi oleh kelompok pangan padi -- padian sebesar 62,8 %, dimana apabila mengacu kepada standar PPH ideal 100, kontribusi Angka Kecukupan Energi (AKE) untuk kelompok pangan padi- padian sebesar 50% dari total Angka Kecukupan Energi. Tingginya kontribusi AKE padi --padian ini salah satunya disebabkan oleh pola konsumsi masyarakat yang masih didominasi oleh beras.
Perlu kami informasikan juga bahwa konsumsi beras penduduk Jawa Barat pada tahun 2022 sebesar 87,48 atau mengalami kenaikan 0,78 Kg/Kap/Tahun dari tahun 2021 sebesar 86,7 Kg/Kap/Tahun.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) menggelar 'Pangan Murah', di 27 Kabupaten dan Kota di Jawa Barat Guna membantu pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat dengan harga di bawah pasaran serta Gelar Pangan Murah itu ditujukan untuk membantu upaya pemulihan ekonomi masyarakat.
Dalam Gelar Pangan Murah tersebut, Dinas Pangan dan Peternakan (Dispangtan) Pemprov Jabar bekerja sama dengan Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Peternakan di 27 Kabupaten dan Kota.Terdapat beragam produk pangan yang ditawarkan pada Gelar Pangan Murah tersebut, seperti beras, minyak, gula, cabai, telur, daging ayam dan daging sapi serta aneka sayuran lainnya.
Kegiatan ini mendukung penerapan pancasila Gotong royong adalah salah satu ciri khas yang masih melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Secara garis besar, gotong royong tertuang pada pancasila dalam sila ke tiga yang berbunyi Persatuan Indonesia.Â
Gotong royong yang merupakan bentuk kepribadian dan budaya bangsa yang berakar kuat dalam kehidupan dan tumbuh dari individu masing-masing orang hingga mengakar dalam masyarakat.
Rasa kebersamaan ini muncul dari sikap sosial tanpa pamrih dari setiap individu untuk meringankan beban yang sedang dipikul. Hal ini telah menjadi tradisi masyarakat setempat untuk menjunjung tinggi semangat gotong royong yang merupakan salah satu bentuk pelestarian nilai-nilai Pancasila dalam sejarah masyarakat Indonesia.
Menurut Sakjoyo dan Pujiwati Sakjoyo, Gotong Royong merupakan tradisi warga saling membantu dalam berbagai bidang kegiatan sosial, baik yang didasarkan pada hubungan praktis berbasis kinerja antara kerabat dan tetangga ataupun kegiatan gotong royong lainnya.
Gotong royong yang mengandung sikap persatuan merupakan salah satu contoh bentuk kehidupan yang memiliki nilai-nilai luhur sila ketiga Pancasila yang mengarah pada persatuan. Praktek gotong royong juga diyakini sebagai tradisi kehidupan bermasyarakat yang merupakan salah satu bentuk pengakaran nilai-nilai Pancasila di tanah air Indonesia, seperti yang tertera dalam Pancasila pada sila ketiga yaitu "Persatuan Indonesia".
Tujuan dari sila ketiga ini adalah mengutamakan persatuan atau kerukunan bagi seluruh rakyat Indonesia yang berbeda agama, suku, bahasa, budaya, dan agar nantinya menjadi satu kesatuan melalui sila ini.
Tujuannya jelas, yaitu meskipun berbeda tetapi tetap satu, atau bisa disebut Bhineka Tunggal Ika. Persatuan Indonesia mengutamakan kepentingan dan keamanan negara, bukan kepentingan individu atau kelompok seperti partai, ras, agama dan golongan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H