Mohon tunggu...
Nuraini Mastura
Nuraini Mastura Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga

Suka baca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

[Ulasan] Perkumpulan Anak Luar Nikah

22 September 2024   09:06 Diperbarui: 22 September 2024   09:24 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepintas, Martha adalah seorang ibu rumah tangga biasa bersuamikan dosen. WNI yang kini bermukim di Singapura, kehidupan nyamannya mendadak porak-poranda ketika akun twitter anonim asuhannya---yang rutin menguliti aktor politik di tanah air---terbongkar. Semestinya itu bukanlah perkara besar andaikan tak ada sebuah rahasia besar menyangkut identitas dirinya. Ternyata, Martha pernah memalsukan dokumen negara--akta lahirnya sendiri---demi meraih beasiswa asing sebagai sponsor pendidikannya. 

Di sebuah negara yang begitu ketat menegakkan aturan, Martha terancam dibui. Ronny, sang suami, pun turut terseret oleh kasusnya. Ia berisiko dipecat dari karier mengajarnya. Bayangkan, reputasi yang dibangun selama ini, bisa hancur lebur hanya gara-gara sebuah kesalahan sepele sang istri di masa silam. Tetapi benarkah sesepele itu? Mengapa Martha sampai harus memalsukan dokumen?

Meski diakui sebagai karya fiksi, Perkumpulan Anak Luar Nikah (PALN) mengungkap sebuah fakta kelam yang pernah mencoreng sejarah tanah air. Sebuah fakta penting yang menimpa kaum minoritas---warga Indonesia keturunan Tionghoa--yang sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini tak pernah tahu.  

Luka dan Bopeng Warisan Kolonial

Saat Hindia Belanda hengkang dan Indonesia meraih kemerdekaannya, banyak sekali PR yang harus dibereskan. Kebijakan-kebijakan rasis pemerintah kolonial meninggalkan banyak luka warisan. Salah satu dosa pemerintah kolonial Belanda kala itu, adalah memberlakukan sistem pembagian kelas berdasarkan ras. Berbeda dengan kaum bumiputera, warga Tionghoa dimasukkan ke dalam kelompok Timur Asing. Pengelompokan ras ini mencakup pemberlakuan aturan di segala aspek kehidupan warga, termasuk area hunian dan hak berdagang. 

Aturan yang makin menyulitkan proses asimilasi bagi pendatang dari RRT (Republik Rakyat Tiongkok). Kendati faktanya, warga yang dikatakan pribumi pun sejatinya orang-orang yang bermigrasi dari provinsi Yunnan, daratan Cina, ribuan tahun silam.

Sebagai negara yang baru merdeka, Republik Indonesia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mematangkan proses politiknya. Alhasil gonjang-ganjing politik di luar dan dalam negeri mengakibatkan bentuk pemerintahan yang sering berganti, kabinet bongkar-pasang, dan produk hukum yang ambigu.

Kisah Perkumpulan Anak Luar Nikah mengangkat salah satu kasus keruwetan aturan pemerintah yang menimpa kelompok warga keturunan Tionghoa yang bermigrasi dari RRT lebih belakangan.

Korban Kemelut Politik   

Di tahun 1955, Perjanjian Dwi Kewarganegaraan antara RRT dan Indonesia ditandatangani. Ini karena ada klaim dari Mao Zedong---presiden Tiongkok kala itu---bahwa RRT menganut asas ius sanguinis. Barangsiapa yang lahir membawa marga Tionghoa (keturunan dari laki-laki Tionghoa) maka ia otomatis menjadi warga negara Tiongkok.

Akan tetapi pada tahun 1958,  dikeluarkan UU yang menegaskan bahwa orang Tionghoa di Indonesia harus memilih satu kewarganegaraan---RRT atau RI. Batas waktu pemilihan ditetapkan sampai tahun 1962.

Sayangnya, buntut perubahan aturan yang tidak tersosialisasi dengan baik, sampai batas pendaftaran pada 1962, dari 900 ribu lebih orang Tionghoa yang eligible, hanya 32 ribu yang mendapat status WNI. Sisanya, berakhir stateless. Mereka disebut sebagai WNA, tetapi sebenarnya tidak punya negara. Nama mereka tidak tercantum di RRT. Sebagian besar dari mereka bahkan tak pernah menginjakkan kaki di sana. Nah, anak-anak keturunan mereka inilah yang di akta lahir tercantum sebagai "Anak Luar Nikah". Nama ayah mereka tidak pernah tertera di akta lahir anak.

Dalam kisah PALN, Martha hanyalah satu di antara banyak korban pemegang akta lahir demikian. Hingga suatu saat, sebuah kejadian di hidupnya memicunya untuk melakukan aksi nekat. Sebuah kejahatan yang tak terampuni.

Memasukkan nama ayahnya ke dalam akta lahirnya.

sumber instagram penulis
sumber instagram penulis
Menorehkan Keresahan 

Pembaca bukan hanya akan mengikuti pergulatan batin Martha. Cerita Perkumpulan Anak Luar Nikah ini memuat banyak karakter lain, seperti Yuni (sepupu Martha), Linda dan Fanny (sahabat Martha yang juga memegang akta lahir serupa Martha), juga Ronny (sang suami). Masing-masing membawa luka sendiri dalam perjalanan pencarian identitas sebagai warga Indonesia. Namun benang merahnya, adalah momen kerusuhan yang melanda di tahun 1998. Ketika aksi kerusuhan rasial mendorong sebagian warga keturunan Tionghoa ini kembali melakukan diaspora keluar dari Indonesia.

Kisah ini akan membawa kita melihat kehidupan dari sudut pandang beberapa warga Indonesia keturunan Tionghoa lintas generasi. Menarik mengetahui bahwa di kalangan Tionghoa sendiri, ada banyak subkultur. Mungkin tak jauh berbeda seperti berbagai suku yang menghuni Indonesia. Diteropong dari jauh, warna mereka satu--sama-sama merah puth, sama-sama Indonesia. Namun saat diamati lebih dekat, ada perbedaan lokal di antara suku-suku tersebut. Beda bahasa, keyakinan, kebiasaan.  

Saya merasa kisah ini begitu hidup karena selain kepiawaiannya menulis dengan luwes, Grace Tioso (sang penulis) tengah menumpahkan apa yang menjadi kerisauannya selama ini. Pergulatan batin Martha mungkin mewakili kegundahan banyak warga Indonesia keturunan yang lain. Dari ras manapun.

"Setelah perlakuan diskriminatif yang diterima selama ini, pantaskah jika saya masih mencintai tanah kelahiran saya? Bukankah Indonesia telah menjadi bagian dari identitas diri saya? Apakah saya harus membuktikan berulang kali akan jiwa nasionalisme saya? Apakah negara saya sendiri pernah mencintai diri saya, memperlakukan diri saya dengan penuh martabat dan menjadi rumah yang aman bagi diri dan keluarga?"

Jawaban itu mungkin akan ditemui di penghujung cerita. Atau mungkin malah membuahkan pertanyaan-pertanyaan baru yang juga patut direnungkan---sebagaimana yang lazim dimunculkan oleh setiap karya fiksi berbobot.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun