Dalam bukunya, Sapiens, Yuval Noah Harari berandai-andai.
Semakin majunya pengetahuan dan beragam inovasi, apakah manusia modern di abad ke-21 lebih merasakan bahagia ketimbang petani dan buruh di abad ke-16, atau bahkan ketimbang manusia prasejarah? Apakah orang yang lebih kaya dan berkuasa sudah pasti lebih bahagia daripada orang yang hidup lebih pas-pasan? Apakah orang yang segar bugar lebih bahagia daripada mereka yang sakit?
Jawabannya, tidak juga.
Ah, masa' iya? Bukankah penemuan vaksin dan ilmu pengobatan modern telah berhasil menurunkan angka kematian anak akibat wabah? Bukankah berbagai inovasi modern telah terbukti memudahkan hidup manusia berkali lipat? Misalnya, pipa ledeng dalam rumah yang mampu menggantikan sumur timba untuk mendapatkan air.
Jawabannya tetap. Tidak juga.
Mengapa?
Ekspektasi Subjektif vs Kondisi Objektif
Menurut pakar psikologi, rumusan bahagia adalah ketika ekspektasi kita klop dengan kondisi objektif. Ekspektasi subjektif inilah yang relatif. Sekaligus kunci dari kebahagiaan yang dirasakan.
Penyakit memang menurunkan taraf kebahagiaan dalam jangka pendek. Namun orang yang menderita penyakit kronis seperti diabetes sekalipun biasanya akan depresi beberapa saat saja. Tetapi jika penyakit itu tidak memburuk dengan cepat, mereka kemudian akan menyesuaikan diri dengan kondisi baru mereka dan merasakan kadar kebahagiaan yang sama tingginya sebagaimana orang-orang sehat.
Ada sebuah contoh kasus yang juga menarik. Lucy dan Luke adalah dua saudara kembar dari golongan kelas menengah, yang menyetujui untuk ikut serta dalam penelitian terkait "ekspektasi subjektif". Di tengah perjalanan pulang, mobil Lucy tertabrak bus sehingga ia mengalami kerusakan kaki permanen. Pada saat regu penyelamat berusaha mengevakuasi dirinya dari puing-puing kendaraannya, telepon berdering dan Luke berseru girang bahwa dirinya baru saja memenangi tiket lotere. Â