Dua tahun kemudian, Lucy berjalan pincang sementara Luke semakin kaya. Tapi saat psikolog memanggil mereka untuk studi lanjutan, keduanya ternyata memberikan jawaban yang sama dengan yang diberikan pada pagi hari itu.
Mengapa?
Karena seiring perjalanan waktu, plafon ekspektasi Lucy menurun, sementara Luke meningkat.
Bukankah para nabi yang diberi wahyu sudah menegaskan ribuan tahun silam bahwa merasa puas dengan apa yang dimiliki itu jauh lebih penting daripada meraih keinginan yang belum dimiliki?
Jadi, ingin lebih mudah bahagia? Rendahkan ekspektasi. Banyak-banyak berlatih bersyukur dengan apa yang dimiliki.
Masuk akal, bukan?
Penyedot Kebahagiaan Manusia Modern
Kembali ke pertanyaan andai-andai di awal.
Dengan berbagai penemuan modern (obat pereda sakit dan aspirin yang mudah didapat), maka ekspektasi kita terhadap rasa senang dan kenyamanan, sekaligus ambang toleransi kita terhadap ketidaknyamanan, telah berubah sebegitu rupa sehingga kita lebih tidak sanggup menahan rasa sakit daripada leluhur kita.
Jikalau kebahagiaan kita ditentukan oleh ekspektasi diri kita, maka dua pilar masyarakat saat ini---yakni media massa dan periklanan---akan menguras tingkat kepuasan diri kita. Â Kalau kamu seorang remaja berusia 18 tahun yang tinggal di sebuah desa ratusan tahun silam, kamu mungkin akan menganggap dirimu ganteng karena cuma ada 50 pemuda lain di kampung dan sebagian besar dari mereka entah sudah tua, keriput dan bopengan, atau masih bocah kecil.
Namun menjadi remaja di masa kini, kemungkinan untuk merasa insecure amat tinggi. Walaupun teman-teman sebayamu di sekolah bopeng dan jerawatan, tapi kau toh tidak membandingkan dirimu dengan mereka. Tidak. Kau akan membandingkan diri dengan model, atlet, dan bintang film yang kau saksikan setiap hari lewat layar kaca, papan reklame di jalan, bahkan gawai yang kau gunakan sekian jam setiap harinya.