Mohon tunggu...
Nuraini Mastura
Nuraini Mastura Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga

Suka baca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Horor

Rumah Nene

26 Juni 2024   18:42 Diperbarui: 26 Juni 2024   19:15 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Horor. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Mystic Art Design

Aku yakin tidak sedang berhalusinasi kemarin. Tetapi aku tumbuh besar dengan memercayai bahwa sosok gaib takkan bisa membahayakan orang yang hidup. Apapun yang kulihat itu hanyalah sisa-sisa getaran dari masa yang berbeda. Tak usah kukhawatirkan.

Pagi hari kami menyambangi rumah ketua desa. Hendak menyampaikan maksud kedatangan kami sekaligus meminta izin darinya karena akan menjadi tamunya di desa selama beberapa waktu. Aku cukup kaget ketika memasuki rumahnya. Dalam pengamatanku, penampakan sang ketua desa tak ubahnya seorang dukun. Di beberapa sudut rumahnya—yang lebih menyerupai gubuk—tampak cawan-cawan dupa. Menguarkan asap dan bebauan yang membuat pening.

Usia sang kepala desa mungkin sudah seabad. Kulit tubuhnya yang kerempeng sudah begitu kisut, kedua matanya terselubungi katarak, dan beberapa ruas jemarinya tidak utuh, seperti terpotong. Pada dirinya, kusaksikan sisa-sisa dari wabah lepra yang pernah mengganas.

Pria tua itu tak bicara. Alih-alih, seorang wanita yang duduk di sisinya mengambil peran sebagai penyambung lidahnya. Wanita itu berwajah cantik, tetapi aku tak bisa menerka usianya. Umurnya bisa saja hanya beberapa tahun di atasku. Bisa juga menjelang akhir 30-an. Kurasa itu karena penampilannya yang tidak tersentuh oleh tren busana di kota. Dia mengenakan kain jarik sedikit di atas betis dan kebaya berwarna cokelat pudar. Rambutnya disanggul longgar. Beberapa helai rambut tergerai menutupi telinga dan tengkuknya. Wanita di desa memang memiliki keayuan yang tak terjamah. Dia memperkenalkan namanya sebagai Bulan.

“Eh, Mbak Bulan,” ucap Rendi. Mungkin ragu hendak menyematkan sapaan Bu, Mbak, atau Kak. Sama sepertiku, dia pun bingung menerka usianya. “Sungguh besar harapan kami, Anda bersedia membimbing kami selama bertugas di sini.” Yoga menyikutku, seraya terkekeh pelan. Entah Rendi tengah melancarkan orasi biasanya atau hanya gugup di hadapan kecantikan Mbak Bulan.

“Ini Nada dan Ami.” Ia menunjuk ke arah kami. “Saya Rendi, dan ini...Yoga.” 

Wanita itu menatap kami dengan senyum yang seperti dipaksakan. Bola matanya melirik penuh arti seakan menakar diri kami satu-satu.

Dari dialah, kami mengetahui kebenaran ucapan Pak Awang. Bahwa dahulu pernah datang perwakilan dari pemdes dan sekelompok mahasiswa hendak membangun jembatan yang akan menghubungkan desa ini dengan desa sebelah yang terdekat. Namun sebelum pengerjaannya tuntas, jembatan itu sudah dirusak oleh warga. Kepala desa sebelah enggan untuk bertanggung jawab dan melaporkan nama-nama warganya yang bersalah. Fakta itu saja sudah cukup memberitahukan pada kami bahwa aksi perusakan jembatan itu merupakan tindakan bersama yang direstui kepala desa tetangga. Pengisolasian sudah dibuka sejak lama, tetapi warga di luar tetap menolak untuk membuka hubungan dan mengakui keberadaan warga desa sini.

“Sepertinya memang perlu kampanye edukasi secara bertahap,” ucap Rendi, menatap kami. Semangat dan idealismenya tak pernah surut.

Namun aku juga ingat ucapan Pak Awang, yang mengawal kami memasuki desa ini, beberapa saat sebelum meninggalkan kami. “Warga desa sini memiliki kepercayaan yang aneh. Mereka berbeda dari kita. Berhati-hatilah.” Ia seakan bukan hanya membicarakan tentang penyakit yang leluhur desa ini pernah derita.

Entah apa yang dimaksudnya, tetapi menyaksikan ruangan kepala desa ini, perutku agak melilit. Di satu sisi ruangan tampak beberapa kerangka kepala hewan yang dikeringkan. Kelelawar, musang, babi hutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun