Tulisan ini dibuat untuk mengikuti kompetisi menulis di acara Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia. Sesuai judul, Dugong atau yang memiliki nama ilmiah Dugong dugon merupakan spesies mamalia laut dari ordo Sirenia yang terancam punah sehingga perlu upaya konservasi. Ancaman kepunahan dugong dibuktikan dari penurunan populasinya setiap tahun akibat berbagai faktor. Dugong atau sebutan populernya duyung dalam legenda digambarkan sebagai seorang manusia cantik dengan tubuh bagian bawah menyerupai ekor ikan.Â
Berawal dari niat untuk menyelamatkan satwa legendaris ini. Sebuah perjalanan penyelamatan kami rencanakan dengan perbekalan memadai. Lokasi penelitian yang kami pilih adalah pesisir perairan Alor yang menjadi rumah si dugong. Laut alor merupakan salah satu lautan di Indonesia yang memiliki padang lamun sebagai habitat dari dugong. Dugong mendiami laut-laut di Indonesia yang memiliki luas ekosistem lamun cukup besar. Berangkat saat fajar baru saja menyongsong, kami pun lepas landas dari Jakarta menuju kabupaten Alor, provinsi Nusa Tenggara Timur.Â
Baru saja tiba di lokasi pemantauan, jejak langkah saya terhenti ketika merasakan halusnya butiran pasir putih teluk Pantai Kabola, Alor. Pantai dengan air laut yang biru dan ombak yang cukup tenang. Teluk pantai Kabola, Kota Kalabahi, Kabupaten Alor termasuk salah satu lokasi yang menjadi habitat dari dugong di perairan Indonesia. Catatan-catatan perjumpaan dengan satwa ini sering kali terjadi meskipun belum ada survei yang secara berkala memantau keberadaan spesiesnya. Suasana pantai kala siang itu cukup ramai dengan berbagai aktivitas. Nelayan-nelayan diatas perahunya, penjual ikan maupun orang yang sekadar berlalu lalang. Setelah bertemu dengan para tetuah setempat kami diijinkan untuk menetap dan melakukan penelitian di pantai Kabola.
Lamun adalah sumber pangan bagi dugong yang wilayahnya terletak di dasar pesisir pantai. Penelusuran kami dimulai keesokan paginya dengan ditemani seorang nelayan dari penduduk setempat. Kami dibawa oleh beliau menaiki perahu untuk bertemu dugong alias "duyung". Gemercik air sesekali memasuki perahu yang kami tumpangi saat salah satu sampan yang kami gunakan terlalu laju untuk mendayung. Saat hampir satu jam mengapung di air, kami mulai melihat dari kejauhan keluar wujud makhluk besar dari dalam air. BOOM itulah yang kami tunggu-tunggu, dugong mulai naik ke permukaan untuk menghirup udara bebas sekaligus me-lamun (memakan lamun) di pesisir pantai.
Dugong sebenarnya bukanlah ikan melainkan tergolong mamalia yang memiliki kekerabatan dengan gajah. Habitat dugong yang berada di wilayah pesisir dan sangat dekat dengan aktivitas manusia seringkali menyebabkan berbagai ancaman bagi dirinya sendiri. Hal tersebut dikarenakan penglihatan dugong tidak terlalu tajam dan dugong termasuk perenang yang lamban. Kondisi tersebutlah yang mengakibatkan dugong sering tertabrak oleh kapal atau perahu yang melintas di dekat padang lamun. Habitat dugong berupa padang lamun juga menghadapi ancaman akibat dari polusi pencemaran maupun pembangunan di wilayah pesisir.Â
Peran ekosistem lamun sangat besar tidak hanya bagi dugong tetapi juga biota laut lainnya. Ekosistem lamun merupakan penyedia sumber pangan dan tempat untuk meletakkan telur bagi hewan laut. Besarnya manfaat lamun apabila tidak diimbangi dengan pemanfaatan yang tepat maka lama kelamaan akan rusak, berkurang, bahkan musnah. Sejalan dengan yang disampaikan oleh Bapak Prof. Satyawan Pudyatmoko dalam acara KEHATI bahwa: "keanekaragaman hayati kian terancam akibat berbagai faktor seperti degradasi habitat dan perburuan liar".
Dugong, duyung, lembu laut, sapi laut atau apa saja anak-anak sini biasa menyebutnya. Satwa yang terancam punah ini sudah harus sesegera mungkin diselamatkan dengan penanganan yang tepat. Upaya konservasi mulai kami lakukan sejak tiba di pantai Kabola dimulai dari melakukan sosialisasi, membersihkan pesisir pantai, memasang spanduk peringatan dan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum setempat. Sosialisasi yang kami lakukan menyasar kepada penduduk lokal sebagai bagian yang paling "akrab" dengan si dugong. Peran penduduk untuk ikut serta menjaga ekosistem lamun dan memantau populasi dugong yang sudah terancam punah. Selain masyarakat lokal tim kami juga melibatkan peran akademisi dari universitas-universitas di Alor. Akademisi diharapkan lebih paham tentang konservasi dan dapat menjalankan program pemantauan secara lebih terstruktural.Â
Aturan dibuat untuk ditaati. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi oknum kejahatan atau pemburu liar di luar sana. Untuk menyiasati hal tersebut kami juga meminta peran dan bantuan dari aparat penegak hukum untuk melindungi hewan yang terancam punah ini. Langkah yang kami lakukan ini sebenarnya bukanlah langkah baru melainkan hanya melanjutkan upaya konservasi pemerintah seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. PP No 7 dengan tegas melarang segala bentuk pemanfaatan fisik dari dugong yang sudah masuk kategori satwa dilindungi.
Tim kami mendapatkan kesempatan untuk menyelami perairan Alor. Berbekal alat selam lengkap saya dan tim dapat merasakan indahnya dunia bawah laut. Menyusuri seluk beluk terumbu karang sambil sesekali melihat ikan-ikan kecil yang sedang bersembunyi, dan merasakan betapa indahnya flora dan fauna perairan Alor. Sesekali saya merasakan tubuh kedinginan saat menyelam semakin dalam. Semoga pemandangan bawah laut ini masih terus bisa kita nikmati tidak hanya saat ini tetapi seterusnya.Â
Berbagai kisah pilu mengenai dugong selalu terjadi setiap tahunnya di berbagai belahan dunia. Dugong yang ditemukan terdampar dalam kondisi terluka, dugong yang mati kelaparan, kasus penyelundupan dugong yang hidup atau mati, rusaknya habitat dugong dan banyak permasalahan lagi. Sayangnya hal tersebut masih belum mampu menggugah kesadaran masyarakat akan kewajibannya untuk turut serta melindungi hewan langka ini.Â
Rutinitas tim kami di kala pagi hingga petang adalah menyaksikan dugong naik ke permukaan dan mengunyah lamun. Mengamati dari kejauhan, sambil melihat aktivitas apa saja yang terjadi di sekelilingnya. Perahu-perahu nelayan terparkir di bibir pantai. Kala petang, di saat waktu pemantauan sudah selesai dan mengharuskan kami untuk pulang. Saya selalu membayangkan, bagaimana jika suatu ketika pemandangan kehidupan satwa laut ini sudah tidak bisa disaksikan lagi. Sebuah ancaman yang bukan tanpa sebab, sedangkan setiap tahunnya saja jumlahnya selalu berkurang drastis.Â