Matahari kian merambat naik, langit berwarna putih bersih. Udara terasa semakin panas, apalagi seperti kampung Cijati yang letaknya 1 kilometer dari sungai Cibuni. Cinta datang tanpa diduga. Tak pernah ada yang tahu kapan dia akan datang dan kepada siapa panah asmara itu akan tertambat. Begitupun dia, pertama kali dalam hidupnya, dia merasa jatuh cinta pada pandangan pertama.
Aku kembali tersentak dengan lanjutan ceritanya, ”dari sana aku sudah memikirkan cara agar dapat menikahimu,” katamu tersenyum lebar. “Kenapa kau ingin membeli rumah ibuku sekaligus menikahiku?”“Karena aku mencintaimu dan mencintai kampung halamanku. Tidak ada yang berani membeli rumah di daerah yang selalu kebanjiran kalau Sungai Cibuni meluap, apalagi bila rumah tersebut adalah rumah tua.” “Iya…” Kataku. “Aku juga memikirkan hal itu ketika menerima lamaran pernikahanmu. Tapi sebelumnya aku menyewa detektif untuk mengamatimu. ”Aroma air aren telah berbau kentalan gula merah. Harum dan manis.
Gula merah sebagai simbol manis dan legitnya. Aroma manis terus menguat, air beningpun telah menggumpal coklat mengental. Dengan cekatan ibuku mencetaknya pada potongan-potongan bambu. Sepotong gula merah telah terhidang dengan sajian singkong bakar yang mengepul. Sayup dan riang kegembiraan dalam pesta perayaan panen. Gerak dedaunan bak ikut bergoyang, pohon-pohon besar pengukuh pondasi alam turut berbahagia, burung-burung bernyanyi riang di atas dahan, terbebas dari angkara dan serakah manusia. Luapan sungai dengan amarah alamnya, sawah, masyarakat dan pohon, terselamatkan atas kuasa Tuhan Yang Maha Esa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H