Mohon tunggu...
Nur Laila Sofiatun
Nur Laila Sofiatun Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penulis

Perempuan yang ingin bermanfaat bagi keluarga, agama, bangsa dan negara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mbah, Merakyat Oraa Teyeng Digawe-gawe (part 2)

2 Oktober 2022   06:18 Diperbarui: 2 Oktober 2022   06:41 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita sebelumnya (baca part 1)

Uweeek....

Reflek Mba Pion memuntahkan makanannya. Ia merasakan makanan tersebut sangat asin. Selain itu tidak terasa bumbu di dalam makanan tersebut. Hanya asin yang berlebihan yang Pion rasakan.

Cerita berlanjut...

Melihat Mba Pion muntah, Mbah Minah sigap mengambilkan kain lap dan memberikannya kepada Mba Pion. Bukannya menerima Mba Pion justru mengambil tisu di dalam tasnya.

"Pripun Mba?" tanya Mbah Minah dengan wajah pucat dan khawatir.

Baca juga: Pancasila Sakti

"Tidak apa-apa Mbah, perut saya sedang tidak enak saja." Mba Pion ngeles.

"Kula padoske obat nopo, Mba?"

"Tidak usah, Mbah"

Mba Pion melanjutkan makannya dengan ekspresi senyum terpaksa mengarah ke kamera. Akan tetapi kali ini ia hanya menyuapkan nasi tanpa lauk dan sayur.

Di sudut lain tepatnya di pintu menuju dapur rumah cat ungu tersebut, terlihat sepasang mata sedang mengawasi mereka. Mata yang berbinar dan penasaran tersebut sudah mengamati sejak tadi, saat pertama kali Mba Pion melangkahkan kaki memasuki rumah Mbah Minah.

Setelah melakukan foto bersama, Mba Pion pamit undur diri. Ia mencium tangan Mbah Minah, fotografer pun sigap mengambil gambar.

"Pak, nanti kita mampir Rumah Makan di desa sebelah ya. Saya lapar. Kegiatan tadi benar-benar menguras energi." ucap Pion sesampainya di mobil merah yang dari tadi terpakir di depan halaman Mbah Minah.

"Bukannya Mba Pion tadi sudah makan?"

"Sudahlah, jangan banyak tanya.Jalankan saja tugas Bapak."

"Baik Mba!"

***

Setelah Mba Pion keluar dari rumah Mbah Minah dan kemudian melambaikan tangan, seorang anak usia belasan memasuki ruang tamu. Ia dengan matanya yang masih penasaran segera menyerbu neneknya.

"Mbah, tadi itu Mba Pion ya?"

"Iya, Nang"

"Kok beda ya Mbah sama yang difoto-foto."

"Beda pripun, Nang?"

"Kalau difoto-foto kelihatan lebih muda dan cantik. Selain itu, kalau difoto kelihatannya baik Mbah. Tapi tadi..." remaja tadi menggantung perkataannya. Takut kalau ia akan salah bicara.

"Tadi pripun, Nang?"

"Emm..." ia masih takut melanjutkan perkataannya.

"Ora Popo Nang, Mbah ga bakal crita-crita karo liyane. Ra bakal Mbah omongke karo Mba Pion."

"Mau Mba Pion ketok lewih tuwa. Selain kuwe Mba Pion ketoke ra seneng melbu omah kene. Kabehan kaya terpaksa Mba Pion lakukan nang kene Mbah."

"Ga lah Nang, jarene Mba Pion lagi sakit. Makane mau ketoke ngono."

Mbah, merakyat ora bisa digawe-gawe Mbah.

Mbah Minah berhenti tak menimpali, ia mengingat kejadian tadi. Ia pun masih mengingat raut muka Mba Pion. Sebenarnya Mbah Minah juga melihat ekspresi ketidaknyamanan dari wajah Mba Pion. Tapi ia coba tak pikirkan, dan hanya berusaha untuk positif thinking.

"Mbah, angger wong ncen merakyat biasane ya pada karo rakyat. Istilahe iso ngrasake lan iso duduk sama rata Karo dewek Mbah. Nek jare guru nek wong merakyat bakalane yo iso ngrasake apa sing dialami rakyat lan nglakoni apa sing sing dilakoni rakyat."

Mbah Minah hanya manggut-manggut mendengar penjelasan cucunya.

"Misale kayak mau Mbah. Nek misale Mba Pion tenanan merakyat seharuse Mba Pion iso ngrasake nikmat saat maem masakane Mbah. Jenenge be panganane rakyat cilik ya kayak ngono. Asin kan kurang bumbu. Soale Ben iso diawet-awet. Lah wong lawuhe langka. Ora iso dipadak-padakke karo masakan restoran sing didagangke."

Mbah Minah pun merasa miris dengan kejadian tadi. Bukan karena masakannya yang dipandang sebelah mata oleh Mba Pion. Akan tetapi ia miris membayangkan jika Mba Pion yang jadi Kades nanti. Bukankah ia akan sering melihat kepura-puraan di pemerintahan desa? Atau lebih parahnya setelah menjadi Kades ia akan memperlihatkan wujud aslinya.

Entahlah, Mbah Minah hanya bisa membatin. Toh ia hanya rakyat kecil. Pemikiran tak akan mempengaruhi pemerintah desa, batinnya.

"Ohya Mbah, mau pas Rizky maca nang sosmed wong-wong pada ngomongna negarane dewek Mbah. Nama negarane dewek digawekke kepanjangane."

"Lah kepanjangane apa Nang?"

"Jarene Bemerse singkatan sekang Belum Merdeka Seutuhnya."

Mendengarkan perkataan cucunya Mbah Minah pun hanya tertawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun