Cerita ini berasal dari sebuah Desa Tipu di negara Bemerse. Dikisahkan bahwa negara Bemerse akan segera mengadakan pesta demokrasi berupa pemilihan umum (pemilu) untuk menentukan siapa yang akan memimpin di negeri tersebut.
Pemilu tidak hanya berlangsung di pemerintahan pusat untuk memilih Presiden. Akan tetapi juga akan diadakan pemilihan Walikota dan Bupati secara serentak. Bahkan di Desa Tipu juga akan diadakan pemilihan Kepala Desa (Kades).
Desa Tipu sendiri merupakan bagian ujung selatan Bemerse. Berbatasan dengan negara tetangga yang dikenal dengan nama Indonesia. Meskipun terletak di perbatasan Desa, Desa Tipu ini amat kaya sumber daya alam (SDA). Hal ini dikarenakan Desa Tipu memiliki tambang emas yang dikelola oleh perusahaan milik pemerintah desa setempat.Â
Meskipun Desa Tipu kaya, akan tetapi hal ini berbanding terbalik dengan sebagian rakyatnya. Sebagian rakyat Tipu memiliki taraf kehidupan yang rendah. Mereka adalah para mantan pemilik lahan perusahaan yang sekarang berubah menjadi buruh di perusahaan tersebut. Sebagian lainnya hanya bekerja sebagai petani dengan lahan kecil.
Banyak orang di desa Tipu di setiap pemilu yang ingin menduduki posisi Kepala Desa. Karena selain mendapatkan gaji dari pemerintah, Kepala Desa juga akan mendapatkan hibah dana dari perusahaan emas. Ada juga yang mengatakan ingin menjadi Kades untuk memperbaiki perekonomian di Desa Tipu, agar terjadi keadilan bagi rakyat kecil yang masih kekurangan.
Pada pemilu kali ini Desa Tipu memiliki 4 calon yang akan maju di pemilu Kades. Berbagai cara dilakukan para calon kandidat agar mendapatkan simpati dari rakyat.
Ada yang membagi-bagikan emas kepada para kadernya. Ada yang membagikan voucher kuota internet tak terbatas sampai 1 tahun, ada yang membagikan baju, dan ada pula yang membagikan sembako.
Pion, sebagai salah satu kandidat Kades pun tak mau ketinggalan. Ia membagika sembako kepada rakyat kurang mampu. Ia menyuruh tim suksesnya untuk menyiapkan acara pembagian paket sembako kepada 1.000 rakyat kurang mampu.
Timnya dengan sigap segera menyusun rencana pembagian paket sembako tersebut. Mulai dari belanja barang, mengatur jadwal, sasaran, dan tak lupa menyiapkan skenario untuk membuat video dan foto sebagai sumber kampanye nantinya.
Setelah semuanya dipersiapkan secara matang, hari-H pun akhirnya datang. Tim membuat skenario Mba Pion akan membagikan paket sembako dan kemudian ikut makan di salah satu rumah warga.Â
Rumah Mbah Minah adalah rumah yang nantinya akan dikunjungi Mba Pion. Pemilihan rumah Mbah Minah sudah melalui pemilihan yang ketat.Â
Alasan kenapa dipilih rumah Mba Minah adalah karena Mbah Minah adalah pekerja paling tua di perusahaan emas. Di usianya yang sudah mencapai kepala enam, ia masih bekerja sebagai cleaning servis di perusahaan. Selain itu, ia juga hanya tinggal dengan cucu semata wayangnya yang tahun kemarin menjuarai juara siswa teladan tingkat Kecamatan.Â
Acara diadakan saat hari libur perusahaan di lapangan desa. Beberapa tim sukses terlihat sudah siap sejak dini hari, bahkan ada yang sudah menginap dari hari sebelumnya.
Pukul 08.00 pagi Mba Pion sudah terlihat memasuki lapangan desa. Dengan kaos berwarna merah delima dan celana warna putih tulang ia berjalan dengan tegap tanpa keraguan. Ia naik panggung dan segera melambaikan tangan kepada seluruh calon penerima bantuan. Terlihat kamera dimana-mana. Mengambil gambar dengan seksama, agar semuanya terlihat nyata dan dapat menyakinkan para calon pemilih ketika melihatnya.
Setelah melakukan orasi dan membagikan sembako, sesuai dengan rencana Mba Pion bergegas menuju rumah Mbah Minah. Mobil warna merah sudah terparkir rapi di pintu keluar lapangan. Seorang ajudan membukakan pintu ketika Mba Pion sudah berada dekat dengan Mobil.
"Permisi, apakah benar ini rumah Mbah Minah?" Ucap Mba Pion sesampainya di rumah berdinding kayu dengan cat warna ungu.
"Iya, Mba. Mangga mlebet mawon Mba"
Mba Pion pun memasuki rumah tersebut diikuti dengan ajudannya yang membawakan paket sembako. Paket sembako tersebut terlihat lebih besar dibandingkan dengan paket sembako yang dibagi di lapangan. Terlihat dua orang fotografer ikut memasuki rumah Mbah Minah.
"Mangga lenggah Mba. Ngapunten, kursine boten empuk."Â
"Tidak apa-apa Mbah. Saya juga biasa duduk di kursi kayu kok Mbah."Â
Krieeeet...Â
Terdengar suara rintihan kayu lapuk saat Mbah Pion menduduki kursi.Â
"Wah, kursinya keras sekali. Mana sudah reyot pula." batin Mba Pion.
"Mba Pion dhahar mriki nggih. Kula mpun masak istimewa nggo Mba Pion." ucap Mbah Minah mengagetkan Mba Pion yang sedang tertegun.
"Ohya Mba, ngapunten Kula ora teyeng ngomong Bahasa Bemerse. Maklum biyen ora tahu sekolah". imbuh Mbah Minah
"Tidak apa-apa Mbah".
Terlihat makanan sudah siap di meja. Ada nasi putih yang warnanya tidak terlalu putih, oseng kangkung, dan ikan pindang.
"Mangga Mba Pion" Mbah Minah menawarkan sembari mengambilkan piring dan sendok dan diberikan kepada Mbah Pion.
Mbah Pion mengambil sedikit nasi dan sayur kangkung. Ia terlihat tak berselera dengan makanan di hadapannya.Â
"Mba nambah maning, masa Maene sithik banget. Mengko ya boten wareg Mba."
"Sudah cukup Mbah, terima kasih."
Setelah melantunkan doa dengan khyusuk, Mba Pion segera menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Para fotografer dengan sigap mengambil gambar Mba Pion saat berdoa dan akan memulai makan.
Uweeek...
Reflek Mba Pion memuntahkan makanannya. Ia merasakan makanan tersebut sangat asin. Selain itu tidak terasa bumbu di dalam makanan tersebut. Hanya asin yang berlebihan yang Pion rasakan.
"Pripun Mba" tanya Mbah Minah khawatir.
(bersambung)
Cerita belum selesai, tapi sudah ingin istirahat. Saya lanjut besok insya Allah.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H