"Mba, anakke Rika beda karo kanca-kancane. Tok saranna mending Andi disekolahna nang SLB bae."
"Ora lah, anakku normal kok. Ora meh tok sekolahna nang SLB. Nang sekolah umum bae pada karo kanca-kancane"
(Mba, anakmu berbeda dengan teman-temannya. Saya sarankan sebaiknya Andi  (bukan nama asli) disekolahkan di SLB saja)
(Ga lah, anakku normal kok. Tidak akan saya sekolahkan di SLB. Di sekolah umum saja sama dengan teman-temannya.)
Percakapan itu aku dapati dari obrolan tetangga di kampung. Kejadian itu sudah bertahun-tahun lamanya. Tak sekali dua kali percakapan itu terjadi. Tapi Mba Ani (bukan nama asli) tetap tidak mau menyekolahkan putranya di Sekolah Luar Biasa (SLB). Entah apa alasannya, tapi mungkin rasa malu memiliki anak yang berbeda menjadi faktor utama.
Dengan keterbatasan yang Andi miliki, kini akhirnya ia tidak sekolah. Kegiatannya hanya kluntang-kluntung dengan sepeda motornya setiap hari. Dilihat sekilas tidak ada yang berbeda dari penampilannya. Seperti remaja seusianya, ia suka bermain dan berkumpul di perempatan jalan untuk tongkrongan.
Sebenarnya sejak kecil, Andi sudah terlihat berbeda dengan teman-temannya. Ia mengalami pertumbuhan yang lambat. Usia 2 tahun ia baru mulai bisa bicara dan berjalan. Sedangkan batita lainnya biasanya di usia 1 tahun mereka sudah mulai bisa berbicara dan berjalan.
Seiring dengan perkembangan usianya, Andi bisa berbicara akan tetapi tidak sejelas ucapan teman-teman di usianya. Saat memasuki usia sekolah, ibunya tetap menyekolahkan Andi di sekolah umum. Akan tetapi, bagaimanapun karena berbeda Andi tidak bisa mengikuti pembelajaran yang di adakan di sekolahnya.
Beberapa guru dan rekan maupun tetangga memberikan saran kepada Bu Ani untuk menyekolahkan Andi di SLB saja. Akan tetapi, banyaknya saran dan masukan tak Bu Ani dengarkan. Hingga akhirnya Andi hanya menamatkan sekolah jenjang sekolah dasar saja. Seandainya Andi dimasukkan ke SLB yang memahami situasi yang Andi miliki, kemungkinan besar ia masih bersekolah saat ini.
Kejadian Andi dialami Andi tidak hanya ditemui di kampung saya. Di kampung-kampung lain pun, saya yakin banyak kejadian seperti itu. Hal ini dikarenakan anak berkebutuhan khusus (abk) masih belum dipahami sepenuhnya oleh masyarakat. Baik tentang apa itu abk dan bagiamana menangani anak abk agar ia bisa tumbuh dan berkembang sesuai dengan kebutuhannya.Â