Mohon tunggu...
Nur Laila Sofiatun
Nur Laila Sofiatun Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penulis

Perempuan yang ingin bermanfaat bagi keluarga, agama, bangsa dan negara

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Covid-19, Omicron, dan Pendidikan di Negeri Ini

10 Februari 2022   21:19 Diperbarui: 13 Februari 2022   07:12 1206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini sekolah tempat saya mengajar kembali mengadakan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTM T) setelah kurang lebih selama satu bulan kami mengadakan Pembelajaran penuh. Hal ini menindak lanjuti surat dari dinas pendidikan setempat. Entah mengapa, rasanya mendengar kabar ini ada rasa sedih dan gerah dengan proses pembelajaran yang tidak menentu akhir-akhir ini.

Sudah 2 tahun lebih, proses pembelajaran di negeri ini memang tidak kondusif. Pembelajaran dengan berbagai pola sudah dicoba guna untuk menyiasati permasalahan yang terjadi akibat adanya virus covid-19. Entah benar atau tidak, selama ini menurut pengamatan saya (sebagai guru) kasus akan meningkat, ketika sebelumnya sudah diwacanakan akan ada pembelajaran tatap muka. 

Entah ini hanya sebuah kebetulan atau memang sengaja dilakukan, yang jelas menurut pengamatan saya itu yang terjadi. Seperti yang kita alami saat ini. Ketika kemarin sudah digaung-gaungkan sekolah akan mulai normal kembali, tiba-tiba ada pelonjakan kasus covid-19, lebih khususnya varian baru (baca Omicron).

Tujuan Pendidikan Nasional

Mengapa tadi di awal saya mengatakan sedih ketika mendengar berita adanya PTM-T, bahkan di sekolah/daerah lain sudah ada yang menerapkan full online, karena bagaimanapun pembelajaran online (tidak langsung) tidak bisa sebanding dengan pembelajaran offline (langsung). 

Meskipun banyak media atau berita yang mengatakan bahwa pembelajaran online bisa menggantikan pembelajaran offline, karena memang sudah zamannya. 

Banyak juga yang mengatakan pembelajaran online bisa lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran offline, dan masih banyak lagi pemberitaan yang mengatakan kelebihan pembelajaran online. Tetapi sebagai seorang pendidik, saya mengatakan pembelajaran offline tetap lebih baik dari pada pembelajaran online.

Berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidik merupakan tenaga profesioanal yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. 

Pendidik - seperti yang dulu dosen saya katakan ketika perkuliahan- tidak hanya bertugas memberikan transfer ilmu pengetahuan saja kepada peserta didik, tetapi lebih dari itu pendidik harus bisa membimbing karakter peserta didik agar tujuan pendidikan nasional bisa tercapai. 

Tujuan pendidikan nasional sendiri adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Kondisi Pembelajaran Online di Sekitar Kita (baca: Saya)

Berdasarkan pengalaman yang saya alami dan sharing dengan teman sesama guru, pembelajaran online masih belum efektif untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Banyak hal yang tidak sesuai harapan terjadi pada pembelajaran online. Apalagi, bagi masyarakat di pedesaan, kebetulan saya tinggal di desa yang jika saya sebutkan mesti banyak yang tidak tahu dimana desa berada.

Berikut ini beberapa hal yang terjadi pada pembelajaran online.

1. Sebagian orang tua tidak memiliki HP yang memadai

Mungkin ini terdengar seperti alasan klasik bagi sebagian orang, tapi pada kenyataannya memang seperti itulah yang terjadi. Di tempat saya tinggal sebagian orang belum memiliki HP android, bahkan ada juga anak kecil yang tinggal bersama dengan kakek-neneknya, dimana kakek-neneknya tidak paham penggunaan HP android. Di tempat saya yang tidak terlalu pelosok saja ada yang tidak punya HP android, bagaimana dengan kondisi di pelosok sana? Selain itu, kuota juga menjadi salah satu permasalahan lain. Bagaimana mereka beli kuota, kadang untuk beli makan sehari-hari aja masih susah.

2. Orangtua yang mengerjakan tugas

klikdokter.com
klikdokter.com

Kasus kedua ini banyak terjadi pada anak di jenjang sekolah dasar (SD). Banyak sekali kasus dimana akhirnya orang tua yang mengerjakan tugas anaknya. Hal ini sebabkan beberapa faktor, di antaranya (a) anak tidak paham dengan tugas yang diberikan dan ibunya sudah lelah bolak-balik menjelaskan dan anak masih belum paham (b) sudah hampir deadline pengumpulan tugas, anak masih belum mau mengerjakan tugas (c) orangtua tidak tega melihat anaknya mengerjakan tugas yang banyak. Pun jika bukan orangtuanya yang mengerjakan, biasanya guru lesnya yang akan mengerjakan.

3. HP lebih banyak digunakan untuk bermain

m.riau1.com
m.riau1.com

Kebanyakan ketika anak dipegangi HP, mereka cenderung akan mencari apa-apa yang mereka sukai. Apalagi bagi anak yang tidak diawasi ketika memegang HP. Biasanya mereka hanya akan memantau grup/tugas pembelajaran maksimal 30 menit. Setelah itu mereka akan menggunakannya untuk hal yang mereka sukai, seperti main YouTube, tiktok, game, instagram, dan lainnya.

4. Transfer ilmu tidak maksimal

Meskipun sebagian golongan mengatakan bahwa melalui pembelajaran online, siswa dapat memperoleh ilmu seperti pembelajaran offline, bagi saya seorang guru - yang sudah mengalami secara langsung - hal itu sangat sulit tercapai. Hal ini dikarenakan melalui pembelajaran online, guru tidak bisa memberikan treatment yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan siswa. 

Biasanya dalam pembelajaran offline, guru akan memberikan treatment tertentu agar muridnya paham. Misalnya dengan penekanan ucapan, pengulangan penjelasan, penunjukkan spontan, cara penulisan, urutan penulisan, dan lain sebagainya. 

5. Guru tidak bisa mengajarkan karakter dengan maksimal

Pembelajaran karakter akan lebih mudah diajarkan dan ditiru jika diucapkan dan dilakukan secara langsung di depan siswa. Selain itu pembelajaran karakter perlu pengawasan secara ketat dalam praktek pelaksanaannya. Misalnya saja karakter tanggung jawab, dalam pembelajaran online kita hanya bisa memberikan definisi dan contoh tindakannya. Akan tetapi, pada pembelajaran offline, selain definisi dan contoh, kita bisa terus melakukan pengawasan terhadap prakteknya di pembelajaran. Misalnya anak diberi tugas piket membersihkan kelas, mengembalikan buku ke perpustakaan, tanggung jawab dalam kelompok belajar, dan lain sebagainya.

6. Tidak bisa mengukur kemampuan siswa secara akurat

Jika pembelajaran dilakukan secara online, penilaiannya pun dilakukan secara online. Pada kasus penilaian online, banyak sekali terjadi kecurangan yang menyebabkan nilai yang didapatkan tidak sesuai dengan kemampuan siswa. 

Kecurangan-kecurangan tersebut antara lain (a) siswa mengerjakan dengan mencari jawaban melalui google, lebih parahnya lagi bahkan kadang mereka tidak tahu soalnya apa, tinggal copas (copie paste) soal ke google, muncul jawaban lalu mereka langsung copas jawaban ke form soal online. Jadi boro-boro mereka paham, tahu soal dan jawabannya saja tidak, (b) soal penilaian dikerjakan oleh guru les/orangtua. Hal ini juga pernah terjadi di sekolah saya, anak yang sejatinya memiliki kemampuan kurang, ketika pembelajaran online berlangsung selalu menempati posisi nilai tertinggi. Setelah ditelusuri ternyata yang mengerjakan adalah orang tuanya. (c) paling parah, siswa tidak mengerjakan penilaian karena alasan ketiduran atau sedang ada kerja sambilan. 

Demikian tadi beberapa hal yang terjadi pada kasus pembelajaran online. Sebagai pendidik (baca:guru) saya sangat tidak setuju jika pembelajaran online dikatakan sebanding dengan pembelajaran offline. Hal ini terutama, pada pendidikan jenjang sekolah dasar, dimana peran guru masih sangat dibutuhkan dalam hal siswa memahami suatu ilmu.

Pada jenjang tingkat menengah atas ataupun perguruan tinggi, mungkin pembelajaran online dan offline bisa hampir memiliki kesebandingan, meskipun tetap tidak sebanding, tetapi setidaknya efeknya lebih kecil.

Jadi terkait adanya berita tentang meningkatnya kasus covid - 19 : Omicron, yang menyebabkan pembelajaran akan dilakukan secara online, membuat saya sebagai guru (kemungkinan besar mewakili perasaan guru lainnya) merasa khawatir dengan nasib pendidikan kota di masa ke depan. Terutama nasib peserta didiknya.

Harapannya pemerintah bisa memberikan solusi terbaik terhadap kejadian ini. Toh, meskipun mereka tidak berangkat sekolah, mereka pergi bermain bersama teman-temannya, bahkan beberapa pergi ke tempat liburan, pasar-pasar juga masih dibuka, mall dibuka, dan lain sebagainya. 

Jika lainnya bisa dibuka kenapa sekolah tidak? Toh, guru-gurunya sudah divaksin, murid-muridnya juga kemarin sudah divaksin. Jadi kenapa harus dilakukan pembelajaran online? Lalu apa bedanya dengan ketika anak-anak belum divaksin? Atau jangan-jangan vaksin tidak memiliki efek kekebalan imun apapun? Entahlah, saya juga tidak paham. Karena saya bukan ahli kesehatan, saya hanya seorang guru yang berharap bisa membagikan ilmu. Bukan membagikan resep obat atau jamu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun