Mohon tunggu...
NUR NABILA
NUR NABILA Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

Hobi saya meliputi membaca, memotret,dan menyanyi. Saya senang berinteraksi dengan orang-orang dan menyajikan informasi yang bermanfaat. Topik konten favorit saya meliputi ekonomi, politik.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Apakah Kenaikan PPN 12% Akan Membuat Ekonomi Indonesia Mengalami Krisis?

19 Desember 2024   21:28 Diperbarui: 19 Desember 2024   21:28 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah kita benar-benar siap menghadapi dampak dari PPN 12% yang akan meningkatkan beban keuangan masyarakat dan memperburuk daya beli? Kebijakan ini mungkin terlihat sebagai langkah kritis untuk meningkatkan pendapatan negara, tetapi jika tidak dikelola dengan bijak, kebijakan ini bisa menjadi bumerang yang merugikan, terutama di tengah pemulihan ekonomi pascapandemi. Dalam artikel ini, saya akan memaparkan argumen bahwa penerapan PPN 12% dapat memberikan dampak negatif terhadap daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi, khususnya bagi usaha kecil dan menengah.

Penerapan PPN 12% berpotensi menurunkan daya beli masyarakat, memperburuk kondisi ekonomi domestik, dan melemahkan usaha kecil dan menengah. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia (2022) menunjukkan bahwa kenaikan pajak secara langsung berkontribusi terhadap inflasi, yang akan menurunkan daya beli masyarakat. Dengan kondisi ekonomi yang masih tidak stabil, kebijakan ini memerlukan perhatian yang khusus dan strategi mitigasi yang tepat.

Sejak kebijakan PPN 12% diumumkan, banyak masyarakat mulai merespons dengan kekhawatiran akan lonjakan harga barang. Naiknya harga barang kebutuhan pokok seperti beras, minyak goreng, dan sayuran sudah mampu diprediksi. Misalnya, harga satu paket sabun mandi yang sebelumnya Rp10.000, setelah PPN, diperkirakan akan meningkat menjadi Rp11.200. Kenaikan ini tidak hanya disebabkan oleh PPN, tetapi juga oleh lonjakan biaya produksi dan distribusi yang harus ditanggung oleh produsen.

Menurut informasi yang disampaikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi yang tinggi mampu menekan daya beli masyarakat dengan cukup signifikan (BPS, 2023). Dalam hal ini, pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% berpotensi untuk meningkatkan inflasi lebih lanjut, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan penurunan dalam konsumsi rumah tangga.

Penelitian dari Center of Economics and Law Studies (Celios) menunjukkan bahwa kenaikan tarif PPN 12% akan memicu peningkatan pengeluaran hingga Rp 354.293 tiap bulan atau Rp 4,2 juta tiap tahun bagi kelompok kelas menengah. Bahkan, keluarga miskin diprediksi akan menanggung kenaikan pengeluaran hingga Rp 101.880 per bulan atau Rp 1,2 juta per tahun, sementara kelompok rentan akan menghadapi penambahan pengeluaran sebesar Rp 153.871 per bulan (Marta,2024).

Eko Listyanto, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), juga mengemukakan bahwa naiknya PPN akan melemahkan daya beli masyarakat, sehingga memperlambat ekonomi. Ia menyatakan, "Kalau situasi perlambatan ekonomi terjadi, kemudian ditambah lagi dengan upaya dari pemerintah untuk menaikkan PPN, ya, otomatis secara umum nanti akan melemahkan pada konsumsi" (Eko,2024).

Sektor UKM adalah salah satu yang paling rentan terhadap perubahan kebijakan pajak. Di tengah krisis akibat pandemi, banyak UKM yang berjuang untuk bertahan hidup, dan PPN 12% bisa menjadi beban tambahan yang lebih berat. Sebagai contoh, seorang pemilik toko kelontong yang menjual komoditas kebutuhan pokok mungkin terpaksa menaikkan harga barangnya. Jika sebelumnya harga satu liter minyak goreng adalah Rp14.000, setelah dikenakan PPN, harganya bisa melonjak menjadi Rp15.680. Ahmad (2021) menekankan bahwa UKM adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Jika PPN ini tidak dipertimbangkan dengan matang, banyak UKM berpotensi tutup, yang tentunya akan berdampak pada lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi lokal.

Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, menyarankan penundaan terhadap kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 guna mencapai target pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Ia menjelaskan bahwa produk barang jadi seperti elektronik, perlengkapan rumah tangga, dan furnitur akan mengalami penurunan pembelian saat dikenakan PPN 12%, yang dominan dikonsumsi oleh masyarakat dari kelas menengah (Faisal,2024). Contohnya, jika suatu toko tekstil yang dulunya memiliki laba bersih Rp 200 juta per tahun hanya karena kenaikan PPN 12%. Biaya operasionalnya naik Rp 30 juta per tahun karena harus membayar PPN tambahan. Dengan demikian, laba bersihnya akan menurun menjadi Rp 170 juta per tahun. Hal ini akan membuat toko tersebut sulit untuk mempertahankan staf dan investasi, sehingga potensi PHK meningkat.

Selain itu, peneliti Indef, Ahmad Heri Firdaus, juga mengatakan bahwa kenaikan tarif PPN akan berdampak pada kenaikan biaya produksi. Prosesnya dimulai dari sektor industri yang membeli bahan baku untuk diolah menjadi bahan setengah jadi, kemudian bahan setengah jadi itu kembali dibeli oleh industri dengan PPN. Akibatnya, biaya produksinya akan meningkat, dan ini akan melemahkan daya beli masyarakat (Firdaus,2024).

Teori ekonomi makro, menunjukkan bahwa PPN 12% dapat dilihat sebagai alat untuk meningkatkan pendapatan negara. Namun, jika dilihat dari sudut pandang Keynesian, di mana permintaan agregat sangat berperan, PPN yang tinggi dapat mengurangi konsumsi dan investasi. Ketika masyarakat memiliki lebih sedikit uang untuk digunakan dalam konsumsi, maka permintaan agregat akan menurun, sehingga produksi dan pengusaha juga akan menurun. John Maynard Keynes berpendapat bahwa dalam situasi resesi(kemunduran), pemerintah harus berusaha untuk meningkatkan permintaan agregat agar ekonomi dapat pulih (Keynes, 1936). Dengan kata lain, saat daya beli masyarakat berkurang akibat PPN 12%, pemulihan ekonomi dapat terhambat.

Di era digital saat ini, banyak layanan berbasis aplikasi akan terkena dampak penerapan PPN sebesar 12%. Salah satu contohnya adalah layanan streaming seperti Netflix dan Spotify, yang turut mengalami kenaikan harga akibat pajak ini. Kenaikan harga ini tidak hanya berisiko mengurangi jumlah pelanggan, tetapi juga dapat mendorong masyarakat untuk beralih ke alternatif ilegal, yang pada gilirannya akan merugikan industri secara keseluruhan. Menurut data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), hampir 80% pengguna internet di Indonesia memanfaatkan layanan ini. Dengan kenaikan harga, terdapat kemungkinan besar penurunan jumlah pengguna, yang tentu saja dapat berdampak negatif bagi penyedia layanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun