Mohon tunggu...
Nur Azziatun Shalehah
Nur Azziatun Shalehah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Pendidikan

Sedang menempuh ilmu pendidikan dengan konsentrasi ilmu pendidikan anak usia dini

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perjalanan Pendidikan Nasional

12 November 2022   06:17 Diperbarui: 12 November 2022   06:23 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum kemerdekaan dicapai Indonesia, pendidikan pada zaman kolonial Belanda sama sekali tidak memperhatikan tentang pendidikan kebudayaan. Mereka hanya mementingkan pengajaran dan berfokus pada pendidikan intelektualitas. Hal tersebut tidak mutlak salah. Namun, sebagai bangsa yang kaya akan budaya, menurut Ki Hadjar Dewantara anak-anak Indonesia harus diajarkan tentang kebudayaan bangsa karena itulah jiwa rakyat Indonesia dan adat istiadat menjadi petunjuk yang berharga bagi bangsa Indoensia. Cinta kasih, semangat tolong-menolong, dan bertanggungjawab merupakan budi pekerti yang harus ditanamkan melalui pendidikan Indonesia. 

Pada zaman kolonial, pendidikan dan pengajaran diserahkan sepenuhnya kepada para pendeta Kristen, keterampilan yang diajarkan pada saat itu adalah berhitung, membaca dan menulis sederhana dengan tujuan untuk membantu administrasi level rendah pemerintah Belanda. Namun, pada 1920 muncullah cita-cita baru untuk perubahan radikal dalam pendidikan Indonesia, pada tahun 1922 lahir Taman Siswa sebagai gerbang jiwa rakyat untuk merdeka dan bebas setelah kemerdekaan bangsa Indonesia. Taman siswa dikemas atas dasar-dasar kebutuhan yang sejajar dengan masyarakat Indonesia. Artinya, pendidikan oleh Taman Siswa tidak ditujukan untuk golongan tertentu saja, tetapi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Tujuan pokok yang hendak dicapai adalah terlaksananya pendidikan dan pengajaran secara merata, sekaligus menanamkan nilai-nilai persatuan di atas perbedaan.

Pendidikan Nasional harus mengedepankan garis-garis bangsanya (kultural nasional) dan ditujukan untuk keperluan peri kehidupan. Pendidikan budi pekerti harus dituangkan dalam pendidikan nasional sebagai ruh kebangsaan, menuju ke arah keluhuran dan kesucian hidup batin, serta ketertiban dan kedamaian hidup lahir. Menurut Ki Hadjar Dewantara, keinginan untuk merdeka harus dimulai dengan mempersiapkan individu yang bebas, mandiri dan pekerja keras. 

Konsep pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam pendidikan mengedepankan pada kodrat alam dan kemerdekaan. Kodrat alam adalah suatu batas perkembangan potensi kodrati yang dimiliki anak dalam perkembangan kepribadiannya yang dapat dituntun untuk dikembangkan. Sedangkan, kemerdekaan mengandung arti kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri dengan syarat tertib damai dalam bermasyarakat. Anak diberikan kebebasan berpikir untuk mengembangkan kemampuan berpikir, kreatifitas, dan bakat yang ada dalam dirinya dan tidak terhambat oleh orang lain.  

Pendidikan harus dapat menjembatani individu untuk dapat berkembang sesuai potensinya. Kemerdekaan dalam pendidikan artinya pendidikan memberikan materi atau kebutuhan individu dari yang esensial dan bersifat fleksibel sesuai minat, kebutuhan dan karakteristik individu. Pendidikan merdeka menurut Ki Hadjar Dewantara tidak mematikan potensi siswa, tidak ada paksaan untuk siswa harus melakukan sesuatu. Namun, siswa dapat melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diminatinya dengan diimbangi arahan dan bimbingan dari seorang pendidik.

Konsep pemikiran Ki Hadajr Dewantara merupakan buah pikiran yang berkaitan dengan model pendidikan modern yang mengadopsi konsep-konsep pendidikan dari Montessori, Frobel dan tokoh lainnya. Sebagai elite intelektual modern, dengan pengalaman yang cukup lama di negeri Belanda, Ki Hadjar Dewantara mengenal sistem pendidikan Barat. 

Meskipun demikian, setelah kembali ke Indonesia, Dewantara tidak langsung mengembangkan sistem pendidikan tersebut di Indonesia secara mentah, tetapi justru menggali gagasan-gagasannya, kemudian disesuaikan dengan kultur budaya masyarakat Indonesia. Beliau memanfaatkan pengalamannya sebagai relasi oposisi sehingga lebih mematangkan konsep-kosep asli yang berhasil digalinya tersebut. Kenyataan menunjukkan bahwa konsep-konsep tersebut masih relevan sampai sekarang dalam pendidikan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun